Logo Header Antaranews Jateng

Pandemi virus memang goro-goro?

Jumat, 22 Mei 2020 12:35 WIB
Image Print
Ilustrasi - Salah satu adegan pentas wayang orang sakral di Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor di kawasan Gunung Merapi Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. ANTARA/Hari Atmoko
Magelang (ANTARA) - Semestinya semua orang bungah melihat atau bahkan berada di tengah keramaian pasar tradisional dan toko modern setiap menjelang Lebaran. Berbelanja aneka kebutuhan untuk menghadapi Hari Raya menjadi milik setiap orang, kalangan mana pun.

Begitu tunjangan hari raya atau apalah sebutannya, mungkin tali asih atau gaji ke-13 diterima, penerimanya bagaikan menjadi talang, tempat aliran air.

Ia bergegas mengguyurkan tunjangan itu ke pasar dan toko untuk belanja macam-macam kebutuhan dan keinginan, seperti makanan, minuman, pakaian, mebeler, kosmetik, kulkas, perabotan rumah tangga.

Baca juga: Tiga klaster penyebaran baru picu peningkatan COVID-19 di Semarang

Semua yang keluar pasar dan toko menenteng berbagai barang dengan senang dan lega hati. Mereka bagaikan mau mengangkut semua isi pasar dan toko ke rumah. Pedagang pun bersorak, barang jualannya ludes.

"Laris manis tanjung kimpul, barang habis duwit ngumpul," begitu ungkapan populer di masyarakat.

Mungkin juga, gara-gara tunjangan itu dibayarkan, niat beli sepeda motor kreditan terwujud, uang muka beli rumah baru terbayar, hutang sana sini terlunasi, dan tunggakan iuran sosial warga diberesi.

Kalau boleh ngawur bilang bahwa salah satu tanda tubuh sehat adalah berbelanja, maka waktu-waktu mendekati Lebaran, mungkin menjadi puncak kurva kesehatan raga publik. Toko obat dan apotek pun sepi pembeli.

Mereka yang senang atas ramainya pusat-pusat perbelanjaan, bukan hanya pembeli dengan aneka barang kebutuhan yang didapat, tetapi juga pedagang, pemilik usaha, pelaku jasa. Begitu juga dengan tukang parkir, sopir angkot, penjahit permak, dan tukang sol sepatu.

Baca juga: Warga Kudus usai melahirkan terkonfirmasi positif COVID-19

Pemerintah pun boleh lega karena terjadi perputaran ekonomi yang bergairah, pajak optimistis lancar ditunaikan, dan hitung-hitungan ekonomi makro positif.

Itu semua kalau situasi kehidupan masyarakat normal-normal saja, dinamika sosial relatif stabil, atau setidaknya tekanan keadaan global tidak dirasakan berat-berat amat dihadapi negara berkembang sebagaimana Indonesia.

Tetapi aneh bahkan miris dan bikin geleng-geleng kalau melihat hari-hari terakhir ini, pasar, toko, atau pusat-pusat perbelanjaan, dan arus lalu lintas ramai.

Kumandang pasar dan pusat perbelanjaan, serta deru kendaraan seakan tidak sedang tulus mengungkap tanda-tanda gembira. Masyarakat sehat menumpahkan uang kesejahteraan dengan berbelanja bersanding terkaman pandemi penularan virus.

Virus corona baru (COVID-19) sedang menjadi "hantu" yang bukan hanya menakut-nakuti, tetapi juga pelantar kematian. Kumandang pasar bisa jadi cerita sukses virus menjerat mangsa. Salah satu penjalaran penularannya kerumunan orang, terlebih abai masker.

Pemerintah dan berbagai kalangan memang telah masif menyampaikan berbagai hal kepada masyarakat terkait dengan virus, baik penyebab, pencegahan, maupun penanganan.

Segala kesempatan, cara, dan media dioptimalkan pemanfaatannya bukan sekadar seremonial menyampaikan informasi pandemi dimengerti masyarakat, tetapi harapan kencengnya itu, publik sadar kemudian bareng-bareng mencegah dan mengatasi.

Segala protokol kesehatan COVID-19 yang telah dibuat pemerintah dengan detail sebagai muslihat mencegah dan menghadapi pandemi virus. Protokol memang sudah disosialisasikan secara masif tetapi tidak mudah menjadikan habitus publik dalam sekejap.

Hanya soal pemakaian masker masih dibutuhkan razia, disuruh sungguh-sungguh tinggal di rumah masih saja tak betah dalam sergapan jenuh. Apalagi, cuci tangan menggunakan sabun dengan air mengalir sesuai idealnya tujuh langkah, mungkin masih sebatas pengetahuan di luar kepala kalangan medis. Badan PBB untuk Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan tujuh langkah mencuci tangan memakai sabun dengan waktu 20-30 detik.

Belum lagi, masih ada orang-orang mengumpet, tak lega hati kalau ketahuan, punya riwayat kontak erat dengan pasien positif COVID-19. Mereka kalangan yang disergap cemas bakal "celaka tiga belas" karena harus menjalani karantina, isolasi dan tak bisa menjadi bagian kerumunan pasar untuk berbelanja kebutuhan.

"Jika kita meninggalkan segala muslihat kita sendiri, kita secara alamiah akan jatuh ke dalam suatu keadaan yang mengerikan," begitu Thomas Hobes (1588-1679) sebagaimana diuraikan James Garvey dalam buku "20 Kisah Filsafat Terbesar".

Gogo-goro sekarang ini bukan sebatas pandemi merebak dengan keseriusan menepakkan segala jurus menangani pasien dan mereka lainnya yang terdampak.

Namun, kumandang pasar kali ini pun dikhawatirkan bakal membikin goro-goro di dalam goro-goro lakon pandemi. Goro-goro bertumpuk-tumpuk, di mana makin banyak orang terjangkit COVID-19 dan menambah beban kalangan medis serta rumah sakit dalam menangani pasien virus.


Tidak Taat

Serat Sabdo Palon dalam lampiran novel sejarah "Sabdo Palon" (2011) karya Sri Wintala Achmad mengemukakan tentang merebaknya serangan penyakit karena ketidaktaatan warga terhadap aturan negara.

"Mereka tidak mengingat aturan negara. Sebab tidak tahan menahan lapar. Hal itu disusul datangnya bencana yang luar biasa. Penyakit tersebar merata di Tanah Jawa. Bagaikan pagi sakit sore meninggal dunia. Banyak penyakit luar biasa. Di sana sini banyak orang mati," demikian sejumlah baris Serat Sabdo Palon.

Sabdo Palon identik dengan Semar yang dalam dunia pewayangan bersama anak-anaknya Gareng, Petruk, dan Bagong sebagai titisan dewa dari kayangan turun ke bumi menjadi panakawan dengan tugas menjadi pemomong raja dan pengayom kawula. Panakawan artinya kawan yang paham.

Dalam dunia wayang, goro-goro sebagai penggambaran melalui suluk sang dalang tentang suasana jagat heboh, yang antara lain narasinya tentang terjadinya gempa bumi dan langit berkelabat-kelebat petir, sebelum adegan panakawan.

Konten heboh dalam suluk goro-goro dimaknai dalang yang juga pemimpin Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor di kawasan Gunung Merapi Kabupaten Magelang Sitras Anjilin sebagai narasi yang mengantar kedatangan sosok tampan berjiwa besar melintasi desa, membuat orang berdebar-debar karena tepesona, dan membuat suasana baru.

Rasanya sosok tampan dalam suluk goro-goro itu bertolak belakang dengan wujud Semar yang bermuka tua, tambun, dan berkucir, Gareng bertubuh pendek dan kakinya pincang, Petruk yang semampai dan berhidung mancung, serta Bagong berbibir dower. Itulah logika dunia pewayangan.

Dialog dan tingkah mereka dalam goro-goro yang hadir biasanya saat tengah malam, penuh humor, sendau gurau, dan gembira. Obat penonton terjangkit "virus ngantuk".

Goro-gogo pandemi COVID-19 sampai sekarang belum tahu siapa titisan memesona berwujud antivirus. Goro-goro kumandang pasar dengan kerumunan orang berbelanja barang kebutuhan, tanda-tanda miris akan runyamnya usaha saksama selama ini dalam mengatasi virus.

Panakawan dalam goro-goro kumandang pasar semasa pandemi, barangkali turun bukan secara wadak, namun sikap arif, bijaksana, dan teguh setiap orang menghindari kerumunan. Sikap itu lalu pemomong kepada keputusan diri untuk cukup berbelanja kebutuhan di toko kecil dari rumah sebelah.

Atau mungkin panakawan hadir sebagai pelayan publik, dengan disiplin terhadap protokol kesehatan memerankan penghubung pasar dan pembeli. Ojek daring.

Baca juga: Telaah - Seniman Magelang siasati pandemi untuk terus berkarya
Baca juga: Telaah - Kota Magelang dalam catatan wabah ke wabah
Baca juga: Telaah - Tetirah bareng-bareng hadapi COVID-19

 

Pewarta :
Editor: Mahmudah
COPYRIGHT © ANTARA 2024