Logo Header Antaranews Jateng

BPSMP Sangiran gunakan bahan alami untuk konservasi fosil purba

Senin, 16 November 2020 18:32 WIB
Image Print
Petugas melakukan pembersihan fosil saat pemeliharaan di Situs Purbakala Patiayam, Desa Terban, Kudus, Jawa Tengah, Rabu (14/10/2020). Kegiatan pemeliharaan dari BPS (Balai Pelestarian Situs) Sangiran dan BPS Pati Ayam yang meliputi menyambung, menambal dan mendata hingga mendokumentasikan fosil tersebut sebagai upaya penyelamatan fosil agar keberadaannya dapat dipertahankan dalam jangka waktu yang panjang. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/foc. ANTARA/YUSUF NUGROHO
Kudus (ANTARA) - Balai Pelestarian Situs Manusia Purba (BPSMP) Sangiran, Jawa Tengah, dalam melakukan konservasi fosil purba mulai memanfaatkan bahan alami yang tersedia di Tanah Air guna mengurangi ketergantungan terhadap bahan kimia yang dimungkinkan kurang ramah lingkungan.

"Kami sudah mulai mencoba menggunakan bahan alami, terutama untuk penyambungan fosil purba yang ditemukan dalam kondisi tidak utuh," kata Pamong Budaya Ahli Muda BPSMP Dodi Wiranto saat menjadi pembicara pada sosialisasi Museum Situs Purbakala Patiayam di Kudus, Senin.

Hal itu, kata dia, terinspirasi dengan bangunan candi yang bisa bertahan sangat lama, namun tidak runtuh.

Untuk itulah, lanjut dia, ketika melakukan konservasi fosil purba di Grobogan pada tahun 2019 mencoba menggunakan bahan alami dalam penyambungan fosil, yakni dengan menggunakan gondorukem yang berasal dari getah pohon pinus.

Sebelum digunakan, terlebih dahulu dilakukan uji coba menggunakan bahan alami lainnya untuk mengetahui kekuatannya.

Baca juga: Tim Sangiran dilibatkan dalam konservasi fosil koleksi Museum Patiayam

"Hasilnya, yang memiliki kekuatan rekat lebih baik merupakan gondorukem dan prinsip konservasi bisa fleksibel atau bisa dibongkar kembali untuk dilakukan perbaikan," ujarnya.

Sementara untuk melarutkan lapisan pada fosil purba yang terkubur di dalam tanah, katanya, menggunakan jeruk nipis yang memang hasilnya cukup bagus.

"Jika dibandingkan dengan bahan pabrikan, tentunya masih kalah. Hanya saja, dengan menggunakan bahan alami yang tersedia di alam tentunya lebih baik dan tidak menimbulkan polusi, dibandingkan menggunakan bahan kimia dari pabrikan," ujarnya.

Dalam rangka untuk menemukan formula yang tepat guna, maka penggunaan bahan alami tersebut dikerjasamakan dengan pihak perguruan tinggi karena karakter fosil yang ditemukan di tanah, rawa dan laut berbeda-beda.

"Komposisi bahan yang digunakan untuk melakukan penyambungan menggunakan bahan alami juga berbeda-beda sehingga masih dalam tahap penelitian sebelum digunakan secara massal, termasuk pengelola Museum Patiayam nantinya bisa meniru menggunakan bahan alami tersebut," ujarnya. 

Baca juga: Ganjar usulkan kampung Flinstone dan Jurassic Park di Sangiran

Pewarta :
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2024