Penaikan Harga BBM Ditinjau dari Pelbagai Perspektif
Jumat, 9 Maret 2012 20:46 WIB
Dari perspektif hukum tata negara, kata anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Dewi Aryani, kenaikan harga BBM merupakan kebijakan yang inskonstitusional.
Oleh karena itu, seyogianya terlebih dahulu merevisi Pasal (7) Ayat (6) UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN Tahun 2012.
"Pasal 7 Ayat (6) itu menjadi 'penjebak' bahwa seolah-olah Pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM. Padahal pasal dalam UU ini tidak pernah dibahas apalagi disetujui oleh Komisi VII DPR RI," katanya.
Dewi juga mempersoalkan rencana Pemerintah akan melakukan pembatasan BBM bersubsidi di wilayah Jawa dan Bali. Menurut dia, jika Pemerintah memaksakan rakyat untuk beralih dari premium bersubsidi ke pertamax dan melepas fluktuasi harga sesuai harga pasar, berarti telah melanggar keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasalnya, kata dia, MK telah membatalkan Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi soal pelepasan harga minyak dan gas bumi yang mengikuti harga pasar karena hal itu jelas melanggar hak asasi rakyat.
Pasal 33 UUD 1945 Ayat (3) yang berbunyi, "Bumi dan air dan kekayaaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat ....". Jika merujuk pasal ini, BBM seharusnya dapat dinikmati oleh masyarakat dengan harga yang terjangkau dan merata.
"Bukan dengan harga yang tinggi. Masalahnya, BBM masih memegang peranan penting dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan masyarakat," kata wakil rakyat dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah XI (Kabupaten Brebes, Kabupaten/Kota Tegal) ini.
Di tengah Pro dan kontra terhadap opsi menaikkan harga BBM bersubsidi Rp1.500,00 per liter, Pemerintah pun akhirnya memilih opsi merevisi Pasal (7) Ayat (6) UU Nomor 22 tahun 2011 tentang APBN Tahun 2012 APBN dengan mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012.
Draf RUU APBN-P 2012 itu pun sudah diserahkan kepada DPR, dalam hal ini Komisi VII (Bidang Energi Sumber Daya Mineral, Riset & Teknologi, dan Lingkungan Hidup) dan Komisi XI (Bidang Keuangan, Perencanaan Pembangunan, dan Perbankan) DPR RI.
Isu penghematan pun belakangan ini mengemuka. Sejumlah kementerian dan lembaga nonkementerian ramai-ramai melakukan aksi penghematan anggaran mereka masing-masing.
Sebagai contoh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang akan mengembalikan dana sebesar Rp240 miliar dari anggaran KKP yang sudah tercatat di dalam APBN 2012.
"Tugas kami harus mengembalikan (sebagai bentuk) penghematan sebesar Rp240 miliar," kata Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip Sutardjo, setelah melantik jajaran eselon II KKP, Jakarta, Jumat (9/3).
Menurut Sharif, pengembalian sebagai bentuk penghematan itu dalam rangka untuk menerapkan konsep "sharing the pain" (membagi beban) terkait dengan beban dana subsidi.
Sebelumnya, Sekretaris Kabinet Dipo Alam membenarkan adanya pemotongan anggaran di semua kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian sebanyak 5 persen terkait dengan program penghematan pemerintah.
Dipo menyebutkan bahwa hasil pemotongan anggaran itu akan digunakan untuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan juga untuk membantu masyarakat yang paling terdampak oleh penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM).
Menurut dia, pemotongan 5 persen anggaran kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian itu bukan diambil dari anggaran rutin, melainkan dari anggaran beberapa pembangunan di kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang bisa ditunda dua sampai lima tahun lagi.
Penghematan anggaran tersebut dilakukan pemerintah sebagai langkah antipasi melebarnya defisit akibat dari asumsi-asumsi makro yang berubah. Salah satunya adalah harga minyak Indonesia (ICP) yang rata-rata harganya telah mencapai 118 dolar AS per barel.
Perspektif Politik
Namun, menurut Dewi Aryani, anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, pembagian BLSM adalah bentuk pencarian popularitas Pemerintah kepada rakyatnya. Kemudian, dia mengaitkan dengan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah DKI Jakarta.
"Aksi bagi-bagi uang ini tampaknya memang akan menjadi cara yang ampuh untuk mencitrakan wajah Pemerintah yang baik dan mencintai rakyatnya," katanya.
Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung dari PDI Perjuangan juga menyatakan bahwa kompensasi kenaikan harga BBM dengan BLT bisa ditolak DPR karena dinilai tidak fair secara politik.
Sementara itu, dari sudut pandang ekonomi, menurut Dewi yang juga kandidat Doktor Administrasi dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia itu, tidak tepat.
"Jika kita melihat perkembangan APBN sejak tahun 2010 sampai dengan 2012, akan terlihat bahwa Pemerintah mengarahkan pos subsidi APBN berkurang hingga mencapai lebih dari 3 persen dari 17,96 persen pada tahun 2011 menjadi hanya 14,72 persen pada tahun 2012," katanya.
Penurunan jumlah subsidi terhadap BBM, termasuk energi, menyumbang penurunan nilai subsidi sebesar 94,28 persen pada APBN. Ironisnya, hal ini berkebalikan dengan kenaikan anggaran belanja pegawai yang hampir mencapai 3 persen dari sebelumnya 13,85 persen pada tahun 2011 naik menjadi 15,21 persen pada tahun 2012.
Berdasarkan data dari Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan RI (www.depkeu.go.id), dari tahun ke tahun belanja subsidi (untuk BBM, listrik murah, beras murah, pupuk murah, dan lainnya) meningkat. Misalnya, belanja subsidi pada APBN 2005 sebesar Rp120,8 triliun, tujuh tahun kemudian (pada tahun anggaran 2012) naik menjadi Rp208,9 triliun. Atau, dalam kurun waktu itu anggaran yang dialokasikan untuk subsidi naik sebesar Rp88,1 triliun.
Sementara itu, dari perspektif sosial, kenaikan harga BBM juga memengaruhi kondisi sosial masyarakat. Pasalnya, akan berimbas pada kenaikan hampir seluruh barang-barang pemenuhan kehidupan masyarakat yang ujung-ujungnya berpeluang menciptakan instabilitas sosial.
"Keresahan dan instabilitas sosial yang terjadi di masyarakat atas kenaikan BBM sangat berpotensi menciptakan gejolak yang lebih besar," kata Dewi mengingatkan.
Kendati demikian, kader PDI Perjuangan itu tidak berharap tragedi 1998 terulang kembali.
Pewarta : D. D. Kliwantoro
Editor:
COPYRIGHT © ANTARA 2025