Logo Header Antaranews Jateng

Jangan Salah Artikan Emansipasi Kartini

Sabtu, 21 April 2012 08:44 WIB
Image Print
Sumber: www.antarafoto.com dan repro negatif potret Raden Ajeng Kartini (foto 1890-an) dari id.wikipedia.org

Apa hanya sekadar mengenakan kebaya ala Kartini setiap kali peringatan Hari Kartini? Tanpa menyoalkan substansi perjuangan Kartini. Mari kita membaca dengan saksama "surat-surat eletronik" Kartini-Kartini masa kini yang aktif di panggung politik.

Anggota Komisi III (Bidang Hukum & Perundang-undangan, Hak Asasi Manusia, dan Keamanan) DPR RI Eva Kusuma Sundari menyatakan kecewa kalau mengenang/memperingati Hari Kartini hanya sampai pada mitos dan simboliknya saja. Misalnya, berkain kebaya tetapi tidak menyoal substansi perjuangannya yang berkepribadian Indonesia. Ibaratnya, kita hanya dapat abunya bukan apinya.

Harusnya peringatan Kartini ini menjadi momentum memperbesar api tersebut sehingga membakar hambatan-hambatan kemajuan bangsa (imperialisme modern) sambil tetap melakukan pendidikan penyadaran bagi perempuan dan laki-laki akan nilai kemanusiannya yang setara antara keduanya.

"Sudah sepantasnya Bung Karno memberikan gelar pahlawan bangsa kepada Kartini karena beliau membuka mata bahwa isu gender adalah isu kebangsaan," kata Eva.

Bagi Eva Kusuma Sundari, Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, Kartini adalah model dan inspirasi perempuan sosok feminist nationalism. Kartini menuding permasalahan besar, seperti kebodohan, patriarchy (patriark), kemiskinan, dan kolonialisme yang menghambat hak-hak perempuan.

Kartini tidak sekadar berwacana (menulis), beliau melakukan tindakan konkret untuk menyelesaikan problematik pada masanya dengan mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks Kantor Kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini sebagai markas Kwartir Cabang Pramuka Rembang.

Dengan mendidik perempuan sambil tetap menyoalkan problem-problem struktural global sehingga isu-isu kebangsaan/nasionalisme menjadi frame perjuangan sekaligus cara beliau memosisikan isu perempuan. "Artinya, kemajuan perempuan merupakan syarat dari kemajuan bangsa," kata politikus PDI Perjuangan, Eva K. Sundari.

Pemikiran Kartini melompat seabad ke depan karena akhirnya kita paham bahwa yang diperjuangan adalah isu hak asasi manusia (HAM) perempuan yang setara dengan HAM laki-laki. Eva berpendapat bahwa isu ini visioner karena tetap menemukan relevansinya dengan kondisi saat ini dan mendatang.

Namun, maknawi emansipasi agaknya tidak hanya siapa dan apa, tetapi kapan (masa) dan di mana (tempat) si pemakna berada. Tak heran bila terjadi distorsi pesan bab kesetaraan gender ini yang ujung-ujungnya perempuan menjadi pesakitan.

"Korupsi tak kenal gender," begitu komentar Dewi Aryani, anggota Komisi VII DPR RI, dari Senayan (Gedung MPR/DPD/DPR RI) Jakarta.

Laksana air yang terus mengalir, korupsi telah merasuki Indonesia di berbagai sektor kehidupan. Hampir di sebagian besar elemen masyarakat, tindakan korupsi merajalela. Tidak terkecuali kaum perempuan, yang selama ini dipandang sebagai sosok yang lemah lembut, tidak agresif, dan lebih malu, serta "sungkan" untuk melakukan korupsi.

Pandangan itu seolah tercederai oleh beberapa kasus korupsi yang dilakukan oleh perempuan-perempuan. Kasus Nunun Nurbaeti, Miranda Goeltom, dan Angelina Sondakh seakan memberikan sinyalemen bahwa perempuan ternyata dapat menjadi pelaku kejahatan korupsi.

Nunun Nurbaeti yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia (BI), memperlihatkan bahwa kekuasaan dapat diperoleh dengan bantuan korupsi. Kasus ini bahkan telah melibatkan banyak anggota Dewan. Menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), terdapat aliran 480 lembar cek pelawat ke 41 dari 56 anggota Komisi XI DPR Periode 2004--2009 dari Arie Malangjudo, seorang asisten Nunun Nurbaeti.

Kasus Nunun tidak berhenti sampai di situ. Kasus ini juga bakal menyeret Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS-BI) terpilih, Miranda Swaray Goeltom. Terpilihnya Miranda sebagai DGS-BI konon menjadi asal mula korupsi dengan tersangka Nunun Nurbaeti, demikian isi surel Dewi Aryani terkait dengan perempuan-perempuan yang tersandung kasus.

Kasus yang tidak kalah fenomenal adalah kasus dugaan korupsi Angelina Sondakh yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap Wisma Atlet SEA Games di Palembang. Ketiga kasus korupsi yang ini memperlihatkan bahwa korupsi ternyata tidak mengenal gender.

Walaupun jumlah perempuan koruptor di Indonesia tidak sebanyak laki-laki--jika dilihat dari jumlah keanggotaan di DPR--, perempuan juga manusia yang punya peluang untuk melakukan tindakan korupsi.

(klw)

Pewarta :
Editor: D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2024