Padang Rembulan di Sudut Gaduh Borobudur Interhash
Senin, 28 Mei 2012 08:07 WIB
Cahaya bulan di atas Candi Borobudur yang malam itu masih di putaran kalender bulan sabit, seakan melirik ingar-bingar peserta interhash.
Sebagian mereka menikmati lantunan musik dengan berjingkrak-jingkrak, lainnya bercakap-cakap sambil duduk, ada pula yang berlalu-lalang, dan sebagian lagi menyantap aneka makanan serta minuman --termasuk beralkohol-- yang tersaji di bawah berbagai tenda.
Peserta Borobudur Interhash 2012 berjumlah sekitar 4.500 orang berasal dari kira-kira 50 negara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono paginya turut dalam kegiatan itu dengan melewati jalan-jalan desa di kawasan Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sejauh sekitar 4,2 kilometer.
Namun, suasana ingar-bingar di panggung musik Taman Lumbini, kaki Candi Borobudur, seakan tak menembus keluar pagar keliling kompleks Taman Wisata Candi Borobudur.
Masyarakat umum sekitar Candi Borobudur pun boleh dibilang tak ada yang mendekat untuk menyaksikan ingar-bingar para "hasher" dengan dentuman musik di Taman Lumbini itu.
Di luar pagar taman wisata itu, sekitar 500 meter ke arah timur, terbangun suasana ingar-bingar tersendiri. Warga Desa Wanurejo sedang menyajikan Gelar Budaya Wanurejo 2012 di Lapangan Dusun Tingal, tepi Jalan Balaputera Dewa.
Sorotan lampu dari berbagai tempat dan tabuhan musik terutama gamelan mewarnai pesta kesenian rakyat setempat dengan ditonton ratusan warga. Puluhan orang menggelar aneka dagangan seperti mainan anak, makanan, dan minuman.
Masyarakat setempat baik tua, muda, lelaki, perempuan, maupun pemuda dan anak-anak berkumpul di lapangan itu untuk menyaksikan pergelaran. Sejumlah wisatawan mancanegara terlihat di tengah-tengah ingar-bingar Gelar Budaya Wanurejo.
Gelar budaya sebagai tradisi merti desa setempat, pada tahun ini mereka selenggarakan mulai 17-26 Mei 2012 antara lain untuk menghormati cikal bakal desa setempat Kanjeng Bendoro Adipati Wanutejokusuma, putera Sultan Hamengku Buwono II.
Berbagai kegiatan terutama seni budaya telah mereka selenggarakan selama lebih dari seminggu. Pada Sabtu (26/5) malam itu, warga setempat menutup rangkaian Gelar Budaya Wanurejo 2012 dengan secara khusus menyelenggarakan kegiatan yang mereka namai "Padang Rembulan Wanurejo".
"'Padang Rembulan', menunjukkan hati kita, warga Wanurejo selalu terang seperti saat purnama, bebas dari kesulitan dan mendapatkan kecukupan kebutuhan dalam keseharian," kata seorang pemuka warga setempat yang juga Ketua Asosiasi Kesenian Rakyat Borobudur (Askrab) Ganang Trilaksana.
Desa Wanurejo adalah satu di antara sejumlah desa wisata di kawasan Candi Borobudur, dengan masyarakat pada umumnya hidup dari pertanian dan lainnya pelaku wisata.
Kepala Desa Wanurejo Umi Aminah mengatakan, wisatawan baik nusantara maupun mancanegara yang bertandang ke desanya sekitar 8.000 orang setiap tahun.
Desa itu selain memiliki objek wisata alam berupa sumber air "Umbul Tirta", juga mengandalkan seni kriya dari bahan baku kayu, logam, dan batu untuk menarik wisatawan. Sejak beberapa waktu lalu, mereka bekerja sama dengan PT TWCB mengembangkan wisata berupa atraksi gajah.
Prosesi jalan kaki "Padang Rembulan Wanurejo" mereka malam itu, mulai dari halaman Candi Pawon, sekitar 700 meter timur Candi Borobudur. Masyarakat menyaksikan prosesi itu dari tepi kanan dan kiri jalan dari Candi Pawon hingga Lapangan Tingal.
Tembang bahasa Jawa pengiring musik "Tong-Tong Lek" dilantunkan sekelompok warga yang masing-masing mengenakan pakaian warna hitam, beriket, dan berselempang sarung.
"'Eling-eling padha dielingna. Tugas kamling programe negara. Keamanan kebutuhan kita. Ayo kanca lakonono. Ojo lali para kanca-kanca. Pos siskamling wus sumadya. Gantol teplak wus tumata. Kenthongan uga ana. Sing waspada yen ana durjana. Ojo nganti padha lena'," demikian satu syair tembang itu yang kira-kira ajakan kepada masyarakat untuk menjaga keamanan desa melalui ronda.
Musik kontemporer itu beriringkan tabuhan berbagai alat musik antara lain angklung, kentongan, dan kendang. Sejumlah tembang lainnya yang mereka sajikan berjudul "Warung Pojok", "Gotong Royong", "Pocung", dan "Rujak Jeruk".
"Memang kesenian itu bagian dari kegiatan warga saat ronda malam, menjaga keamanan desa," kata seorang pemuka warga setempat lainnya yang juga Koordinator Seniman Borobudur Indonesia (KSBI) Umar Khusaeni.
Sejumlah pemuda berjalan di urutan paling depan dalam prosesi itu dengan masing-masing memainkan atraksi api yang mereka namakan "Obar Abir".
Seorang pemuka lainnya bernama Arifin mengenakan pakaian Jawa bersurban dengan keris terselip di depan dada menyerupai tokoh pahlawan Pangeran Diponegoro, berjalan dengan tampak gagah didampingi seorang pemuka lainnya Oktavian yang mengenakan pakaian adat Jawa bersurjan, belangkon, dan mengenakan kain batik.
Peserta prosesi yang lain di antaranya kelompok penari "Ndayakan", beberapa seniman tari "Penthul Tembem", dan para pemain sendratari "Kinara Kinari". Sendratari itu karya seniman Eko Sunyoto pada 2009. Malam itu, Ganang berperan sebagai kinara, sedangkan perempuan bernama Lohsari Larasati sebagai kinari.
Sendratari "Kinara Kinari" terinspirasi relief di Candi Pawon berupa makhluk bernama kinara kinari yang berwajah manusia namun berbadan burung. Makhluk itu bertugas sebagai penjaga pohon kalpataru, simbol pelestarian lingkungan.
Berbagai kesenian tradisional masyarakat itu dipentaskan secara bergantian di arena terbuka Lapangan Tingal dengan kekhasan ingar-bingar yang mereka bangun menjadi keramaian desa kawasan Candi Borobudur.
Bulan sabit yang menggantung di langit cerah malam itu pun juga terkesan setia melirik ingar-bingar mereka, yang sedang menjalani tradisi budayanya.
"Memang gelar budaya itu telah menjadi tradisi desa kami, melambangkan harapan hidup sehari-hari yang terang, dan menjadi keramaian hiburan masyarakat sekitar Candi Borobudur," kata Umar Khusaeni.
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor:
Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024