Bersama "Menara Ketupat" Mereka Bertakbir
Minggu, 19 Agustus 2012 23:56 WIB
"'Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar. Laa ilaha illa Alahu huwallahu Akbar, Allahu Akbar walillahil hamid (Tiada Tuhan selain Allah. Dialah Tuhan Yang Maha Besar. Allah Maha Besar. Dan demi Allah satu-satunya Dzat, red.)," begitu gema takbir menyambut Idulfitri 1 Syawal 1433 Hijriah terdengar dari pelantang masjid tersebut.
Lantunan takbir itu diiringi tabuhan beduk secara meriah dilakukan sejumlah umat dari serambil masjid setempat.
Puluhan pemuda dan anak-anak dusun setempat pun mengusung keluar beduk dari sanggar kesenian tradisional mereka, Sanggar Wonoseni Bandongan. Beduk kecil itu telah ditempatkan di atas gerobak.
Mereka juga mengusung tatanan kelongsong ketupat bersama rangkaian janur kuning membentuk gunungan yang mereka namai sebagai "Menara Ketupat".
Malam itu, bertepatan menjelang Idulfitri, mereka yang tergabung dalam seniman Sanggar Wonoseni Bandongan bertakbir mengagungkan nama Allah Swt.
Bunyi beberapa alat musik tradisional milik sanggar kesenian setempat seperti kenong, "kecrek", dan tabuhan beduk bertalu-talu mengiring pawai tersebut.
Empat pemuda menyunggi tandu dari bambu dengan bertengger "Menara Ketupat" setinggi sekitar tiga meter tersebut. Di antara tatanan ketupat di gunungan menara itu juga terdapat hiasan lain seperti dari janur kuning berbentuk "keris-kerisan".
Belasan anak bertelanjang dada, masing-masing memegang obor, memainkan dengan tampak gembira atraksi sembur api di sepanjang prosesi takbir.
Peserta takbir keliling itu berjalan kaki melewati jalan-jalan di dusun berpenghuni sekitar 400 kepala keluarga atau sekitar 600 jiwa itu.
Prosesi berlangsung dari halaman Sanggar Wonoseni Desa Bandongan menuju satu mushala di dusun setempat. Rombongan kemudian bergerak ke halaman Masjid Almu'in.
Sesekali terdengar suara dentuman petasan cukup keras dan semburan kembang api warna-warni di langit di atas kampung yang lokasinya sekitar 2,5 kilometer barat Kota Magelang itu.
Di sela ingar bingar semburan warna warni kembang api tersebut, juga terdengar suara ledakan mirip petasan di langit di atas kampung itu.
Mereka juga mengumandangkan gema takbir berulang-ulang selama prosesi itu, sedangkan warga setempat baik lelaki, perempuan, maupun anak-anak menyaksikan di tepi kanan dan kiri jalan yang dilewati arak-arakan takbir tersebut.
Kampung setempat juga berhias dengan umbul-umbul dan bendera Merah Putih sebagai tanda mereka memperingati HUT Ke-67 Republik Indonesia yang jatuh pada 17 Agustus 2012.
"Malam ini kami kemas malam takbir dengan mengusung 'Menara Ketupat'," kata Sekretaris Sanggar Wonoseni Bandongan, Bambang Ardiansyah.
Ia menjelaskan, "Menara Ketupat" itu simbol atas kemenangan umat Islam dari berbagai godaan yang dialami selama sebulan berpuasa.
Setelah menyelesaikan puasa Ramadhan, katanya, umat setempat bersyukur atas kemenangan itu, sedangkan ketupat dalam arak-arakan itu simbol permohonan maaf kepada sesama.
"'Ketupat' itu artinya 'nyuwun pangapunten sedaya kalepatan' (memohon maaf atas segala kesalahan, red.). Inilah puncak suasana kami orang dusun ini kembali ke fitrahnya, menjadi lengkap karena kami saling meminta maaf di puncak fitri ini," katanya.
Penasihat Sanggar Wonoseni Bandongan yang juga seorang pegiat seniman petani Magelang yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh), Pangadi, mengatakan, malam takbiran menggugah kreativitas anggota sanggar setempat melalui kemasan malam takbiran "Menara Ketupat".
"Prosesi takbiran menjadi penuh simbol-simbol terkait dengan kegembiraan dan kemenangan manusia, mengalahkan berbagai tantangan dan godaan selama Bulan Puasa. Kegembiraan itu disyukuri sebagai rahmat Allah maka mereka mengagungkan Allah, dan dengan sesama saling meminta maaf," katanya.
Bagi orang desa, katanya, ketupat bermakna simbolis. Setiap rumah di kampung setempat bertepatan dengan Idulfitri memiliki menu makanan ketupat yang biasanya dengan sayur opor ayam.
"Ketupat itu juga simbol bahwa hubungan silaturahim kembali terjalin erat dalam masyarakat, dalam keluarga, dalam pertemanan, setelah saling memaafkan saat Idulfitri ini. Puncak menara kesucian tercapai menjadi sempurna dengan saling meminta maaf dan memaafkan," katanya.
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor:
D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2024