Saatnya Refleksikan Zaman Guyub
Jumat, 14 Desember 2012 17:53 WIB
Satu kali putaran meliputi tiga tahun dengan tajuk berturut-turut "Jamasan Zaman", "Jamasan Alam", dan "Jamasan Insan". Momentumnya bertepatan dengan bulan pertama kalender Jawa, Sura, sehingga agenda itu masuk dalam sebutan populer masyarakat Jawa, "Suran".
Penentuan hari pelaksanaan "Suran Tegalrejo" tidak kaku, bisa di awal, tengah, atau akhir bulan Sura, menyesuaikan dengan situasi terkini.
Pada Kamis (13/12) malam atau hari ke-29 bertepatan dengan pasaran Legi, bulan Sura itu, Suran Tegalrejo di kawasan ponpes setempat memasuki tahun pertama putaran kedua.
Gus Yusuf (panggilan akrab KH Muhammad Yusuf Chudlori) merevitalisasi "Jamasan Zaman 2012" dengan menyodorkan refleksi atas keprihatinan bersama karena berbagai perseteruan baik di tingkat masyarakat di sejumlah daerah di Indonesia maupun para elit negeri ini dalam beberapa waktu terakhir.
Sekitar 1.000 orang berkumpul di halaman tempat pergelaran "Jamasan Zaman" dengan garapan instalasi dan kemasan pengisi acara oleh para seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang. Berbagai instalasi antara lain pintu gerbang janur kuning, penjor jerami, dan properti jamasan menghiasi arena pergelaran.
Mereka mengikuti berbagai performa seni budaya, menyimak pidato kebudayaan oleh budayawan Magelang Sutanto Mendut, dan menonton dengan tampak gembira atas pentas wayang santri (wayang golek) dengan lakon "Samson and Delailah" oleh dalang Ki Enthus Susmono dari Tegal.
Mereka yang hadir itu berasal dari berbagai kalangan, antara lain masyarakat umum, orang tua, anak-anak, pemuda, lak-laki, perempuan, petani, pengusaha, santri, elit pemerintahan, kalangan legislatif, seniman, dan pemerhati budaya. Tampak hadir Wakil Bupati Magelang Zaenal Arifin dan Wakil Wali Kota Magelang Joko Prasetyo.
Satu balon api tradisional setinggi satu meter diterbangkan ke angkasa oleh sejumlah warga dari belakang lokasi bernama Griya Dahar, kawasan Ponpes API Tegalrejo, tempat pergelaran "Jamasan Zaman" malam itu. Langit di atas kawasan setempat tampak cerah dengan kerlap-kerlip bintang-bintangnya.
Pelepasan balon api itu, seakan menjadi pertanda kepada para seniman petani Gunung Andong, Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, pimpinan Supadi Haryanto, memulai memainkan nomor instrumentalia gamelan "Gongso Wening Tirto", menyambut mereka yang hadir pada pergelaran tersebut.
Siapa saja yang memasuki tempat "Jamasan Zaman" itu, disambut oleh puluhan orang baik laki-laki maupun perempuan yang berdiri berderet, mengenakan pakaian adat Jawa. Mereka adalah bagian dari para seniman petani Komunitas Lima Gunung.
Tiga di antara mereka yakni Cipto, Ipang, dan Jumo menyambut, khususnya para terundang, dengan membasuh tangan para tamu menggunakan air yang diambil dari dandang. Performa membasuh tangan dengan air tersebut menjadi simbol utama atas jamasan malam itu.
"Semua kumpul, masyarakat, pejabat, pengusaha, keturunan Tionghoa, bahkan ada orang Belanda juga, semua lintas agama. Media ini (Suran Tegalrejo, red.) penting, menjadi media silaturahim, tidak terlihat sebagai pejabat, kiai, pengusaha, petani. Semua sama," kata Gus Yusuf yang juga pemuka spiritual Komunitas Lima Gunung itu.
Setelah pengasuh Pondok Pesantren Jetis, Desa Kalinegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Gus Mudrik Baihaqi, memimpin doa pada awal pergelaran itu, beberapa performa tari tradisional disuguhkan para seniman petani dengan iringan tabuhan gamelan dari salah satu di antara dua panggung pergelaran Suran Tegalrejo itu.
Beberapa pementasan dengan judul-judul menyiratkan kata yang berarti "zaman" itu antara lain tarian "Krido Kala Rekso" (Mantran, Gunung Andong), "Soreng Laksonondriya" (Gejayan, Gunung Merbabu), "Topeng Wahya" (Warangan, Gunung Merbabu), sedangkan penyair Kota Magelang ES Wibowo membacakan puisi berjudul "Zaman Kaliyoga".
Gus Yusuf yang dalam orasi dengan latar depan empat penari "Wiriling Sufi" beriringkan tabuhan beberapa alat musik gamelan dipimpin Supadi Haryanto itu menyebut dengan bahasa Jawa bercampur Indonesia, bahwa Suran Tegalrejo sebagai tempat mereguk refleksi kedamaian, hidup yang guyub, bersaudara, dan memberikan kontribusi kepada kemajuan peradaban hidup umat manusia.
"Urip tentrem, ayem. Mugi-mugi Suran Tegalrejo dados tetesing embun, ndadosaken adhem ayem. Kita mbiwaraaken virus-virus paseduluran, kedamaian ingkang wonten tradisi masyarakat. Zaman terus mubeng, tidak bisa ditolak," katanya.
Perkembangan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, katanya, tidak bisa menjadi sarana silaturahim yang sejati antarmanusia.
"Sapunika wonten FB (Facebook), twitter, tetapi itu tidak bisa mewakili silaturahim. Pepanggihan (pertemuan langsung, red.) punika memunculkan tresna. Insya Allah, negara gelem silaturahim dados ayem tentrem, gemah ripah, loh jinawi. Wilujeng donya akhirat, untuk keluhuran dan kejayaan bangsa," katanya.
Budayawan Komunitas Lima Gunung yang juga pengajar pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Sutanto Mendut mengemukakan pentingnya pemikiran dan penghayatan tentang zaman sebagai durasi waktu, termasuk perspektif pewarisannya kepada anak cucu zaman.
Simbol-simbol toleransi pada masa lalu yang antara lain melalui kehadiran bersama para pemuka berbagai agama untuk berdoa lintas agama, perlu dipertanyakan, apakah masih relevan dengan perkembangan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini.
"Zaman dulu, pastor, pendeta, kiai, biksu, dipotret saat berdoa lintas agama. Sekarang ada FB, twitter, label-label anda hilang, etnis anda hilang. Ini kenyataan yang tidak bisa dibantah," katanya.
Pada kesempatan itu ia juga menceritakan pengalaman seorang warga Gunung Merbabu bersama puluhan lelaki lain dari desanya untuk pertama kali hendak naik pesawat, belum lama ini.
Orang itu, mengirim layanan pesan singkat menggunakan telepon seluler kepada istrinya di kampung, sedangkan istrinya kemudian bersama para perempuan lain berkumpul untuk berdoa guna keselamatan penerbangan tersebut.
Kesadaran terhadap ruang dan waktu, katanya, menjelaskan tentang hidup suatu kebudayaan.
"Menjelaskan hidup kebudayaan, kesadaran politik, religiusitas kita harus diterjemahkan sesuai sorotan zaman. Kesadaran tentang ruang dan waktu menjadi penting untuk kemajuan hidup dan menyiasati zaman," katanya.
Untuk pengharapan atas zaman kebaikan, agaknya penyair ES Wibowo menyuguhkan refleksinya dalam puisi dengan baris-baris panjang yang terdiri atas empat bait. Salah satu bait, barangkali menjadi cermin atas harapan kepada zaman kelak.
"Setelah ketabahan Andong, diketubani rahim Ibu Bumi. Kubayangkan bidan Menoreh, membopongku dengan selendang walikat Semar. Kesamaran Sungai Senowo, dipayungi songsong tunggul naga. Sesaat Dewi Kunti bunda Pendowo, mendekat dan berbisik perih di kupingku. Jangan menangis, Kaliyoga. Jangan sakit," demikian bait ketiga puisi Zaman Kaliyoga itu.
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor:
M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024