Logo Header Antaranews Jateng

Petunjuk Moral Candi Borobudur untuk Pemilihan Umum

Selasa, 8 Oktober 2013 18:50 WIB
Image Print
Pemandu wisata Candi Borobudur, Muhammad Hatta, menjelaskan tentang relief Lalitawistara di lorong pertama bangunan yang juga warisan budaya dunia di Kabupaten Magelang itu, Selasa (8/10). (Hari Atmoko/dokumen)


Matahari belum bergerak naik pada pagi hari itu sehingga panas terik belum menerpa mereka dan wisatawan lainnya, baik berasal dari mancanegara maupun nusantara, yang bertandang ke bangunan megah dari tatanan sekitar dua juta batu andesit, warisan budaya dunia tersebut.

Hatta, pemandu wisata Candi Borobudur, bersama tamunya berjalan searah jarum jam, mengelilingi lorong di lantai tiga yang terdiri atas 120 panel relief Lalitawistara.

Relief-relief itu tentang cerita kelahiran Sidharta Gautama hingga perjalanannya mencapai pencerahan, dan kemudian mengajarkan darma pertama kali di Taman Rusa, dekat Kota Benares, India.

"Banyak versi tentang kisah Lalitawistara. Namun, yang di relief Borobudur menurut saya adalah versi Jawa," kata Hatta yang juga Seksi Kesejahteraan Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Kabupaten Magelang itu.

Agak lama Hatta menjelaskan panel pertama tentang relief tersebut karena terjadi dialog hangat dengan tamunya tentang cerita kaya ajaran moral atas turunnya wahyu kepemimpinan.

Dikisahkan terjadi musyawarah para Buddha yang datang dari 10 penjuru mata angin. Mereka berkumpul di surga Tusita, membahas rencana turunnya Bodhisatwa (makhluk yang mencapai pencerahan) ke dunia untuk penyempurnaan reinkarnasi.

Relief lain menggambarkan tentang Bodhisatwa yang menyerahkan mahkotanya kepada Maitreya (Buddha yang akan datang) sebagai estafet kepemimpinan, untuk selanjutnya turun kepada Sidharta Gautama, melalui Ratu Sri Mahamaya (Dewi Maya), istri Raja Suddhodana dari Kerajaan Kapilawastu.

"Jangan khawatir, kelak Maitreya turun. Sukacita di surga karena sudah diputuskan, Boddhisatwa turun menjadi anak raja, menjadi guru semua alam. Ini cerita alih kepemimpinan," katanya ketika menghidupkan cerita relief itu kepada wisatawan yang dipandunya.

Deretan relief berikutnya, tentang awal kehamilan Dewi Maya yang mulai dari mimpi tentang gajah putih dengan gading emas sebagai wujud Boddhisatwa. Selain itu, Raja Suddhodana dan Dewi Maya dikisahkan mendapat nasihat dari pendeta Asita tentang bayi yang akan dilahirkan.

Pendeta tersebut berpesan agar mereka menjaga bayi itu karena kelak menjadi raja yang baik dengan kepemimpinan yang bijaksana, sedangkan ketika dia keluar istana dan melihat penderitaan manusia, selanjutnya memutuskan untuk menempuh jalan pertapaan dan kemudian menjadi Buddha Gautama.

Di lorong Candi Borobudur bagian selatan, relief lain bercerita tentang kelahiran bayi Sidharta yang keluar dari ketiak Dewi Maya. Dia lahir di bawah pohon Sala. Tujuh hari kemudian, Dewi Maya mangkat dan Sidharta diasuh oleh bibinya, Vajrapati.

Selain itu, dalam relief lainnya juga dikisahkan ketika bayi Sidharta berjalan tujuh langkah, kemudian tumbuh tujuh pohon lotus di setiap jengkal tanah yang ditapaki. Hatta kemudian mengartikan bahwa sekotor apa pun suatu kolam, bunga lotus yang tumbuh di dalamnya akan tetap berwarna putih.

"Orang yang berkepribadian sebagai pemimpin kuat dan bijaksana, dalam situasi sekitarnya yang seburuk apa pun, dia tidak akan terpengaruh lingkungan itu, bahkan dia memberi manfaat untuk perubahan menjadi kebaikan lingkungan. Itulah pemimpin yang mengakar dan kuat," katanya.

Lebih dari separuh lingkaran lorong selanjutnya di lantai tiga candi yang berkisah Lalitawistara itu, bersama tamunya, Hatta terus asyik bercerita mengenai perjalanan Sidharta selanjutnya hingga mencapai kesempurnaan Buddha dan kemudian mengajarkan darma untuk pertama kalinya di Taman Rusa.

Kisah lanjutan dari relief-relief itu, antara lain tentang kehidupan Sidharta di istana, perjumpaan dengan orang tua, orang mati, dan seorang pendeta serta keputusan meninggalkan istana. Dia melepaskan pakaian kebesaran istana dan memotong rambut untuk kemudian menjadi pertapa dengan berbagai godaannya, hingga mencapai penerangan tertinggi sebagai Buddha, saat bertapa di bawah pohon Bodhi pada bulan Waisaka.

"Cerita Lalitawistara itu, biografi Sidharta Gautama. Banyak nilai-nilai dasar tentang karakter pemimpin terpancar dari kisah ini," katanya dalam lanjutan kisah Lalitawistara itu, di satu warung makan, depan loket masuk Taman Wisata Candi Borobudur dengan ditemani beberapa pemandu wisata lainnya, Nur Rohmad, Hasan Bisri, dan Hariyanto.

Kepala Balai Konservasi Borobudur Marsis Sutopo mengemukakan bahwa relief di Candi Borobudur memang kaya akan ajaran nilai-nilai universal tentang kehidupan manusia.

"Itu adalah salah satu bukti kebesaran bangsa kita, nenek moyang bangsa kita telah mewariskan nilai-nilai luhur itu kepada generasi sekarang dan yang akan datang untuk menjalani kehidupannya," katanya saat hadir dalam kunjungan kerja Komisi X DPR RI di kawasan Candi Borobudur, belum lama ini.

Budayawan Borobudur Ariswara Sutomo mengemukakan bahwa secara eksplisit, tidak ada relief di Candi Borobudur yang menggambarkan perihal pemilihan umum sebagaimana bentuknya saat ini dijalani oleh rakyat Indonesia.

Akan tetapi, ajaran moral tentang kepemimpinan dan bagaimana kehadiran sosok pemimpin masyarakat, bangsa, dan negara itu, terpatri secara menarik di Candi Borobudur, sebagaimana dikisahkan dalam relief Lalitawistara.

Kisah tersebut, kata Ariswara yang juga penulis buku "Temples of Java" itu, simbol perilaku manusia dan mengajarkan moral kebajikan sehingga harus bisa digali dengan cerdas untuk menyikapi keadaan kehidupan terkini masyarakat.

"Bahwa kehadiran pemimpin tidak lepas dari simbol turunnya Boddhisatwa ke dunia melalui Sidharta yang kemudian menjadi Sang Buddha Gautama. Maka, sering kita dengar kata-kata bahwa jabatan itu 'amanah'. Tuhan itu menurunkan 'wahyu' kepemimpinan untuk seseorang. Jadi, pemimpin yang berkuasa atau tidak, itu kehendak Tuhan," katanya.

Ia mengemukakan bahwa pemimpin hadir secara kodrati. Dia hadir bukan karena rekayasa diri atau kelompok, sebagaimana dipertontonkan calon pemimpin eksekutif dan legislatif, melalui tahapan pesta demokrasi dari jenjang daerah hingga nasional yang ramai bermunculan saat ini, menjelang Pemilu 2014.

"Banyak yang berbedak macam-macam, pakai topeng, mengandalkan isu-isu, politik uang, intrik-intrik, pamer atribut di mana-mana. Pemimpin itu didasari 'laku' bersih, bukan omong kosong, tawakal, rendah hati, tak perlu menonjolkan diri, bekerja keras untuk orang banyak. Yang menyebut seseorang sebagai pemimpin itu bukan dirinya, tapi orang lain, orang banyak," katanya.

Sudah saatnya, kata dia, para kandidat tidak lagi memompa "fanatisme kultus" masyarakat untuk kemenangannya. Namun, mengembangkan pendidikan politik untuk mereka agar bisa memberikan pilihannya secara tepat.

Masyarakat sebagai calon pemilih, kata dia, tidak perlu fanatik terhadap satu pilihan, apalagi dengan berhura-hura untuk memenangkan calon pilihannya. Mereka, harus mampu "maneges" atau melihat dengan mata batin atas para calon pemimpin dan selalu menyadari bahwa pemimpin meraih kekuasaan itu atas kehendak Tuhan.

"Jangan golput, harus memilih secara cerdas, lihat kapabilitas calon, tidak cukup hanya visi, misi, dan programnya. Akan tetapi, rekam jejak dan latar belakang. Semua harus mengerem diri, dengan kesadaran bahwa jabatan dan kepemimpinan itu amanah," katanya.

Relief Lalitawistara di Candi Borobudur, kata dia, kiranya boleh diserap maknanya sebagai ajaran moral tentang kehadiran pemimpin Indonesia yang mendapat "wahyu" dari Tuhan melalui pesta demokrasi mendatang.


Pewarta :
Editor: M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025