Logo Header Antaranews Jateng

PLTU Magnet Kemajuan Pembangunan di Batang

Sabtu, 12 Oktober 2013 19:39 WIB
Image Print
ilustrasi


Sejumlah warga menolak pembangunan PLTU dengan alasan karena proyek tersebut merusak lingkungan dan sebagian lainnya mengaku kehilangan mata pencahariannya sebagai petani penggarap.

Namun, alasan para petani penggarap tersebut termentahkan dan tidak masuk akal dengan dikeluarkannya izin analisa mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang telah dianalisa oleh 18 pakar ahli lingkungan dari sejumlah universitas terkenal di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Pemerintah Kabupaten Batang, sebagai tempat lokasi pembangunan PLTU terus berusaha menyadarkan persepsi masyarakat yang masih kontra terhadap proyek terbesar se- Asia Tenggara itu dengan ikut menjamin peningkatan kesejahteraan warga terkena dampak.

Bahkan, PT Bhimasena Power Indonesia selaku pengembang proyek PLTU senilai Rp35 triliun terus memberikan perhatian penuh pada warga terkena dampak dengan kegiatan "corporate social responsibility".

Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo dan Gubernur Jawa Tengah juga terus berusaha memfasilitasi pertemuan pada sejumlah pihak yang belum menerima kehadiran proyek pembangunan PLTU itu akan tetapi hingga kini masih buntu.

"Saya sudah menyampaikan surat kepada Komnas HAM dan LBH Semarang untuk memediotori pro-kontra pembangunan PLTU agar terjadi titik temu tetapi hingga kini tidak ada tanggapan," kata Bupati Yoyok Riyo Sudibyo.

Akibat permasalahan pro-kontra tersebut, peletakan batu pertama pembangunan PLTU yang dijadwalkan pada 6 Oktober 2013 terpaksa harus diundur hingga tahun depan.

Mundurnya tahapan pembangunan PLTU ini juga diperkirakan berimbas pada kemajuan sektor lainnya yang nantinya akan dijadikan magnet kemajuan pembangunan di Kabupaten Batang pada khususnya, dan Jawa Tengah pada umumnya.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga mengaku kecewa karena proses pembangunan pembangkit listrik tenaga uap di Kabupaten Batang, mundur dari waktu yang telah ditentukan.

"Pembangunannya pasti mundur, 'lha wong' pembebasan tanahnya belum selesai. Selain itu 'closing financial-nya' diundur dan muncul peraturan presiden baru, kalau tidak salah malah sudah keluar tapi saya belum dapatkan informasi dari pusat," katanyanya.

Ganjar Pranowo juga mengaku sedih karena sejumlah warga yang berkepentingan tidak datang ketika diundang secara resmi untuk membicarakan permasalahan terkait dengan pembebasan lahan.

"Kita coba mau memfasilitasi apa maunya dan kayaknya berujung pada posisi 'regane piro?' (harganya berapa,red). Kalau ke situ maka tidak ada cerita itu lahan subur, cerita itu merusak lingkungan," ujar politikus PDI Perjuangan tersebut.

Ia minta warga yang belum sepakat dengan pemerintah dalam hal pembebasan lahan untuk berterus terang.

"Wong' ya tata ruangnya sudah jelas dan saya yang ikut membantu 'nge-push' (mendorong, red.) ke pengusahanya," katanya.

Menurut dia, pengusaha atau investor proyek pembangunan PLTU Batang telah menyatakan komitmennya memberikan pembeliaan lahan warga tapi pada harga yang masuk akal.

"Saya siap untuk memfasilitasi warga dengan pengusaha dan akan saya dorong untuk memenuhi syarat amdal, termasuk ketika kemudian berbicara dengan rakyat mengenai harga pembebasan lahan," ujarnya.

Dukungan terhadap berdirinya PLTU terbesar se-Asia Tenggara itu juga disampaikan oleh mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla saat berkunjung ke Batang.

Kata Jusuf Kalla, persoalan pro-kontra yang dihadapi investor dengan warga terkena dampak PLTU harus disikapi bijaksana.

Mantan Wakil Presiden RI itu menyatakan bahwa perlu adanya perubahan kultur masyarakat untuk menyikapi pro-kontra pembangunan pembangkit listrik tenaga uap di Kabupaten Batang.

"Kami minta masyarakat jangan berpikir ke belakang karena jika PLTU ditolak maka bagaimana suatu daerah itu akan bisa maju dan berkembang," katanya.

Menurut dia, penolakan pembangunan PLTU dipastikan akan berdampak negatif terhadap sektor lain, seperti investor takut menanamkan modalnya di daerah setempat.

"Oleh karena itu, kami minta pemkab bisa mengubah kultur masyarakat. Jika proyek kelistrikan itu bertenaga nuklir maka perlu dipertimbangkan tetapi untuk PLTU harus didukung," katanya.

Ia mengatakan dirinya akan mendukung semua sektor pembangunan yang membawa kemajuan daerah Jawa Tengah, termasuk PLTU Batang.

"Jikapun, saat ini masih sedikit terjadi pro-kontra PLTU maka perlu segera dicarikan solusinya. Solusi itu, ya tentunya dengan ganti untung bukan ganti rugi," katanya.

Tertundanya pelaksanaan pembangunan PLTU disikapi PT Bhimasena Power Indonesia, selaku pengembang proyek ketenagalistrikan 2x1.000 megawatt ini dengan bijaksana.

Pimpinan PT BPI Ary Wibowo di Batang, mengatakan bahwa proyek ketenagalistrikan yang akan dibangun di Bukit Mlalar Pantai Ujungnegoro itu sebagai upaya menghindari kekhawatiran masyarakat dan informasi yang simpang siur terkait keberlanjutan proyek PLTU Batang.

Kegiatan tersebut, kata dia, bertujuan mengonfirmasikan dan memperjelas pada masyarakat bahwa proyek PLTU Batang tetap berlanjut.

PT BPI tidak mengingkan masyarakat resah dengan adanya isu yang tidak jelas terkait pembangunan PLTU Batang, apalagi Pemerintah Pusat sudah memberikan keputusan pada pengembang proyek tetap melanjutkan perolehan lahan yang kini sudah mencapai 86 persen dari 226 hektare tanah yang dibutuhkan.

"Kami berkomitmen melanjutkan proyek pembangunan PLTU di Batang," katanya.

Presiden Direktur PT BPI, Kenichi Seshimo menambahkan Pemerintah Jepang berkomitmen mendukung pembangunan di Indonesia, terutama dalam pembangunan PLTU berkekuatan 2x1000 megawatt.

"Kami sangat mendukung pembangunan yang dilakukan Indonesia dan PLTU ini, nantinya digunakan memenuhi pasokan listrik di Pulau Jawa dan Bali," katanya.

Pewarta :
Editor: Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025