Kesenjangan Bayangi Pertumbuhan Ekonomi Jateng
Selasa, 24 Desember 2013 23:02 WIB
Penjualan mobil baru pada 2013 diperkirakan bakal menembus 1,2 juta unit alias terbanyak sepanjang sejarah penjualan kendaraan roda empat di negeri ini. Sepeda motor juga diperkirakan bakal menyentuh angka penjualan sekitar delapan juta unit. Begitu pula peranti telekomunikasi, terutama tablet, laptop, telepon seluler, dan sejenisnya.
Mal, kafe, toko elektronik, gerai perabot rumah tangga, pusat kebugaran, hingga minimarket berjaringan setiap hari ramai dikunjungi warga. Padahal menjelang puasa Ramadhan 2013 pemerintah menaikkan harga BBM yang menyulut kenaikan harga barang dan jasa. Namun, kenaikan harga kebutuhan pokok yang memicu inflasi tinggi itu tidak menyurutkan intensitas konsumsi barang sekunder dan tersier.
Pemadangan serupa juga terjadi di kota-kota besar di Jawa Tengah, seperti Semarang dan Solo. Dorongan mengonsumsi barang nonkebutuhan pokok masih tetap tinggi di tengah kenaikan harga barang-barang impor bersamaan dengan menguatnya mata uang asing terhadap rupiah.
Restoran, kafe, hotel, hingga tempat hiburan malam senantiasa ramai, terutama di akhir pekan. Kafe kini bukan monopoli kaum eksekutif muda saja, melainkan juga menjadi tempat nongkrong anak muda dari keluara mapan.
Antrean (indent) panjang untuk membeli mobil murah -- yang sebenanrnya tidak murah itu -- dalam tiga bulan terakhir ini menjadi indikator bahwa inflasi tinggi dan pelemahan rupiah tidak menyurutkan untuk memiliki barang-barang sekunder meski harus berutang. Realitas tersebut menandakan bahwa perekonomian di Jawa Tengah tetap bergeliat.
Oleh karena itu wajar bila nilai kredit pada triwulan III di Jawa Tengah cenderung naik di tengah menurunnya jumlah simpanan atau tabungan dalam periode sama. Data Bank Indonesia menyebutkan bahwa pada Agustus 2013 jumlah kredit konsumsi di Jawa Tengah tercatat Rp67,809 triliun, lalu melesat menjadi Rp69,444 triliun pada September, kemudian merayap menjadi Rp69,509 triliun pada Oktober.
Tren ini berbeda dengan jumlah simpanan yang cenderung menurun dari September ke Oktober. Pada Agustus jumlah simpanan di Jawa Tengah tercatat Rp164,970 triliun, lalu melambung menjadi Rp171,851 triliun, namun turun tipis menjadi Rp170,112 triliun pada Oktober 2013 di tengah kenaikan kedit konsumsi.
Bank Indonesia dalam laporannya menyebutkan bahwa ekonomi Jawa Tengah pada triwulan IV 2013 diperkirakan tumbuh stabil meski masih dibayang-bayangi kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian.
Namun, menurut analisis Bank Indonesia, permintaan domestik diperkirakan mampu menopang pertumbuhan ekonomi. Dari sisi sektoral, industri pengolahan, perdagangan, hotel, dan restoran diperkirakan relatif stabil, sementara sektor pertanian mengalami penurunan.
Dampak depresiasi nilai tukar rupiah, masih menurut analisis Bank Indonesia, diperkirakan tidak terlalu signifikan sejalan dengan kondisi ekonomi domestik yang cenderung melambat. Tekanan inflasi diperkirakan malah berasal dari kenaikan tarif tenaga listrik dan penyesuaian harga rokok terkait kenaikan cukai produk olahan tembakau ini.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik Jawa Tengah, inflasi pada 2013 diperkirakan antara 8,2 -- 8,7 persen atau naik dua kali lipat dibanding 2012 yang "hanya" 4,24 persen. Kenaikan ini dipicu oleh "penyesuaian" harga BBM yang mendorong melesatnya harga barang dan jasa. Hampir bersamaan, depresiasi rupiah terhadap dolar AS juga menyebabkan kenaikan harga barang karena banyak komponen produk dalam negeri berasal dari impor.
Tekanan eksternal berupa melemahnya permintaan global dan internal berupa kenaikan harga BBM tersebut menjadikan laju pertumbuhan ekonomi di Jateng pada 2013 tidak bisa sekencang tahun lalu. Tahun ini diprediksi hanya tumbuh 5,6-6,1 persen, padahal tahun lalu melaju hingga 6,3 persen.
Distribusi Pendapatan
Namun pertumbuhan yang tidak terlalu tinggi itu ternyata tidak diimbangi distribusi pendapatan yang merata. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), ada kecenderungan kenaikan indeks Gini atau Gini Ratio dalam 10 tahun terakhir ini.
Pada tahun 2005 indeks Gini Jawa Tengah tercatat 0,2833, kemudian menjadi 0,2908 pada tahun 2010, dan pada tahun 2012 melesat menjadi 0,3554. Kendati dibandingkan koefisien Indonesia yang mencapai 0,41, indeks Gini Jawa Tengah memang lebih rendah, namun kecenderungan naik itu harus diwaspadai agar pertumbuhan juga diikuti dengan pemerataan.
Indeks tersebut menunjukkan kesenjangan distribusi pendapatan yang kian melebar. Indeks Gini merentang dari 0 hingga 1. Semakin rendah angkanya, kian merata pendapatan penduduk di suatu daerah atau negara, begitu pula sebaliknya.
Kesenjangan tersebut ditunjukkan oleh distribusi pendapatan yang cenderung memusat pada kelompok atas. Pada tahun 2005 sebanyak 40 persen penduduk berpenghasilan rendah di Jawa Tengah memperoleh 22,51 persen dari akumulasi pendapatan, namun merosot menjadi 18,39 persen pada 2012.
Sementara itu, 40 persen penduduk pendapatan menengah pada 2005 menikmati 38,37 persen, tapi anjlok menjadi 31,88 persen pada tahun 2012. Sebaliknya, 20 penduduk penghasilan tinggi mengalami lompatan pendapatan, dari 39,12 persen pada 2005 menjadi 49,32 persen pada tahun 2012.
Oleh karena itu, di tengah tekanan berat sepanjang tahun 2013, dibutuhkan terobosan agar pada tahun 2014 perekonomian Jateng bisa tumbuh tinggi sekaligus menyediakan lapangan kerja. Laporan BPS menyebutkan bahwa per Agustus 2013 persentase pengangguran terbuka di Jateng tercatat 6,02 persen, lebih tinggi dibanding Agustus 2012 yang mencapai 5,63 persen dari angkatan kerja sekitar 17 juta orang.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyadari kondisi kurang nyaman tersebut. Setelah berkeliling Jateng, ia melihat sendiri buruknya infrastruktur, terutama jalan raya, sehingga selain menjadi penghambat roda perekonomian warga, juga menjadi alasan banyak investor enggan menanam modal.
Ganjar ketika dialog dengan wartawan pada 19 Desember 2013 menyatakan seharusnya banyak investor masuk ke Jawa Tengah yang upah pekerjanya lebih murah dibanding Jabodetabek. Akan tetapi karena infrastruktur kurang mendukung, termasuk keterbatasan bandara dan pelabuhan, mereka pilih provinsi lain.
Mantan anggota DPR RI yang dilantik jadi Gubernur Jateng pada Agustus 2013 itu berjanji lebih fokus pada perbaikan infrastruktur. Alokasi anggaran untuk Dinas Bina Marga, Dinas Pengelolaan Daya Air, dan Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang pada APBD Provinsi Jawa Tengag 2014 sebanyak Rp1,255 triliun memang dirasa belum ideal. Namun bila ditambah alokasi bantuan keuangan Gubernur untuk kabupaten/kota serta pemerintah desa akan terakumulasi Rp2,188 triliun.
Penyediaan infrastruktur yang memadai tidak bisa ditawar lagi bila Jateng di bawah kepemimpinan Ganjar ingin tumbuh dan menyejahterakan sekitar 33 juta penduduknya, yang 4,863 juta orang di antaranya masuk kelompok penduduk di bawah garis kemiskinan.
Dengan produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita Rp17,14 juta (2012), rasanya terlalu kecil bagi Jawa Tengah yang memiliki banyak potensi riil letak geografis, sumber daya alam, maupun tenaga kerja terdidik.
Jaring pengaman sosial seperti beras untuk rakyat miskin, kartu sehat, dan pendidikan gratis baru bermakna jika kebijakan karitatif ini dibarengi dengan program pembangunan yang kelak mengentaskan mereka dari kemiskinan.
"Pertumbuhan tanpa dibarengi dengan pemerataan malah menciptakan kesenjangan yang bisa menyulut konflik sosial," kata ekonom Universitas Diponegoro Semarang Dr Nugroho SBM beberapa waktu lalu.
Pewarta : Achmad Zaenal
Editor:
M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025