PLTU Batang Kini Kian Rumit
Jumat, 25 April 2014 09:09 WIB
Proyek ketenagalistrikan berkapasitas 2X1.000 megawatt yang digadang-gadang dapat dimulai dibangun pada Oktober 2013 hingga kini belum rampung dilakukan pembebasan lahan milik warga di tiga desa, yaitu Ujung Negoro, Ponowareng, dan Karanggeneng, Kecamatan Kandeman.
Akibat timbulnya pro-kontra pada warga setempat ini, akhirnya PT Bhimasena Power Indonesia selaku pengembang proyek PLTU Batang menunda kegiatan peletakan batu pertama proyek itu yang dijadwalkan Oktober 2014.
Beberapa permasalahan yang timbul pada pembangunan PLTU Batang terus berkembang, mulai dari penawaran harga lahan seharga Rp50 ribu per meter hingga akhirnya ditetapkan sebesar Rp100 ribu per meter persegi.
Penetapan harga tanah sebesar Rp100 ribu/meter persegi ini sempat memperlancar proses pembebasan lahan, sehingga PT BPI mampu membebaskan lahan 87 persen dari tanah yang dibutuhkan seluas 226 hektare.
Namun, kini proses pembangunan PLTU senilai Ro35 triliun ini kembali menyisakan masalah yang semakin rumit dengan munculnya isu pembelian harga tanah sebesar Rp400 ribu/meter persegi.
Akibatnya, warga yang semula telah melepaskan tanah yang dibeli PT BPI sebesar Rp100 ribu/ meter kembali menuntut harga kesetaraan harga tanah sebesar Rp400 ribu/meter persegi.
Meski PT BPI telah membantah tidak melakukan pembelian tanah milik warga setempat seharga Rp400 ribu/meter persegi, tetapi mereka lebih percaya pada bukti cek pembelian harga tanah dari salah satu Bank Rakyat Indonesia Cabang Semarang.
Selain masalah harga pembebasan lahan, warga setempat juga menuntut hal yang lainnya, seperti pengadaan lahan pengganti.
Pimpinan PT BPI Batang, Ari Wibowo mengatakan pengembang proyek PLTU masih tetap menetapkan harga tanah milik warga sebesar Rp100 ribu per meter, bukan sebesar Rp400 ribu/meter.
"BPI berkomitmen membeli tanah milik warga sebesar Rp100 ribu/ meter persegi dan tidak benar kami membeli Rp400 ribu/meter persegi," katanya.
Corporate Secretary PT BPI Dyah Kumala Sari mengatakan saat ini PT BPI masih berkoordinasi dengan pemangku kepentingan agar proses pembangunan PLTU dapat segera terealisasi untuk mendukung upaya pemenuhan pasokan listrik nasional.
"Kami masih berkoordinasi dengan Pemkab Batang, Pemprov Jateng, dan PT Segayung terkait dengan penyediaan lahan pengganti warga terdampak itu. Kami berharap pada semua pihak juga memberikan dukungan terhadap pelaksanaan PLTU," katanya.
PT BPI sebagai investor proyek ketenagalistrikan ini siap melakukan apa pun yang terbaik dalam pelaksanaan peletakan batu pertama pembangunan PLTU.
Namun demikian, PT BPI tetap optimistis kegiatan peletakan batu pertama pembangunan PLTU dilaksanakan pada 2014, meski saat ini ada persoalan baru dalam proses pembangunan PLTU.
"Yang jelas, kami akan melangkah yang terbaik dalam proses pembangunan PLTU," kata Dyah Kumala Sari.
Makin Pelik
Munculnya isu pembelian lahan seharga Rp400 ribu per meter persegi, kini membuat warga setempat bingung terhadap kebenaran harga yang mereka terima dari sebuah BRI Cabang Semarang.
Munculnya isu pembelian harga tanah sebesar Rp400 ribu/meter persegi juga mengakibatkan warga terbelah.
Warga pemilik lahan kembali mengajukan nilai tawar ganti rugi tanah lebih tinggi, hingga Rp 400 ribu per meter persegi kepada pihak PT Bhimasena Power Indonesia.
Sekretaris Daerah Kabupaten Batang Nasikhin mengatakan warga yang sebelumnya telah melepaskan lahan mereka dengan nilai ganti rugi Rp100 ribu per meter persegi kini bereaksi menuntut kesetaraan harga.
Proses pembebasan lahan PLTU Batang sebenarnya sudah menunjukkan progres yang bagus karena dari total luas tanah yang dibutuhkan sekitar 226 hektare, telah terealisasi 197,46 hektare.
Namun permasalahan baru muncul pada awal Februari 2014, pada lahan seluas 16 hektare di lokasi rencana power block serta beberapa hektare lahan di kawasan pinggiran yang masuk wilayah Desa Ujung Negoro dan Desa Karanggeneng, Kandeman.
"Hal ini terkait dengan adanya isu beberapa bidang tanah warga yang belum dilepas ini telah dibeli oleh pihak PT BPI dengan harga Rp400 ribu per meter persegi. Tak pelak, persoalan ini memicu tuntutan harga yang lebih tinggi dari warga," katanya.
Ia mengatakan warga mengajukan beberapa bukti cek pembayaran yang dimaksud, berikut beberapa foto-foto pendukung, yang memperlihatkan adanya petemuan sejumlah pihak dengan warga yang tanahnya telah terbeli dengan harga Rp400 ribu per meter persegi.
Terkait dengan polemik ini, katanya, Pemkab Batang telah menjembatani tuntutan warga dengan PT BPI untuk duduk satu meja.
Pada pertemuan itu, PT PBI menegaskan tak ada kebijakan membeli harga tanah warga dengan nilai ganti rugi di atas Rp100 ribu per meter persegi.
Apalagi dalam bukti cek yang disertakan oleh warga, bukan cek yang dikeluarkan oleh BRI Cabang Batang seperti pembayaran yang selama oleh PT BPI melainkan cek yang dimaksud dikeluarkan oleh BRI di Semarang.
"Sejauh ini, tuntutan warga semakin masif. Upaya untuk menjembatani kepentingan warga dengan PT BPI telah dilakukan oleh pemkab untuk membahas isu pembelian tanah milik warga yang tidak wajar itu," katanya.
Camat Kandeman Supardi menambahan isu pembelian lahan Rp400 ribu/ meter persegi bermula dari pengakuan warga perihal tanah yang belum dilepaskannya untuk PLTU Batang telah dibeli seseorang dengan harga Rp400 ribu per meter persegi.
Meski pembeli tersebut belum jelas siapa, warga menuding pembelian ini dilakukan PT BPI.
Namun, Supardi tidak membantah jika ada sesuatu yang "tak wajar" di balik isu pembelian tanah dengan harga Rp400 ribu per meter persegi tersebut.
"Saya melihatnya juga tidak wajar, kalau ada yang membeli lahan tersebut hingga Rp400 ribu meter persegi," katanya.
Hanya saja dirinya tak dapat memastikan apakah hal ini untuk tujuan merusak situasi proses pembebasan lahan yang sebenarnya mulai kondusif ini.
"Saya sendiri juga bingung dengan hal ini. Apalagi warga juga mengaku memiliki bukti pembelian harga tanah itu," katanya.
Sejumah warga Desa Karanggeneng, mengaku mereka tidak tahu persis permasalahan yang terjadi pada proyek pembangunan PLTU.
Warga, kata mereka, hanya berharap pembangunan PLTU membawa kesejahteraan dan memberikan peluang kerja lebih mudah.
"Kami tidak tahu persis masalah proyek PLTU. Hanya saja setiap ada kegiatan unjuk rasa kami hanya diminta uang sebesar Rp10 ribu hingga Rp50 ribu per rumah," katanya.
Pewarta : Kutnadi
Editor:
Mahmudah
COPYRIGHT © ANTARA 2025