Mereka Ingin Selalu Hadiri Festival Lima Gunung
Minggu, 24 Agustus 2014 9:05 WIB
Sekelompok mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta berpose dengan kaos bertuliskan "Sahabat Lima Gunung" di depan panggung pementasan Festival Lima Gunung 2014 di kawasan Gunung Merbabu di Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pak
Hal itu mereka lakukan beberapa jam sebelum mementaskan karya kolaborasi dengan seniman petani Sanggar Warangan Merbabu berjudul "Harajukunan Trethek Trunthung", Sabtu (23/8) siang.
Mereka yang membentuk kelompok dengan nama Sapu Jagad Squad Kota Surakarta itu, kemudian berjajar dua saf menghadap panggung berinstalasi bahan alam seperti jerami dan dedaunan untuk berfoto bersama.
Dengan jelas pose mereka untuk menunjukkan tulisan di seragam kaos warna hitam yang bertuliskan "Sahabat Lima Gunung".
"Sudah lima tahun terakhir, setiap Festival Lima Gunung, kami selalu hadir dan ikut mementaskan karya. Kami memproklamasikan diri sebagai Sahabat Lima Gunung," kata pemimpin kelompok Sapu Jagad Squad yang juga pengajar koreografi dan seni nontradisi ISI Surakarta Eko "Pebo" Supendi.
Festival yang diselenggarakan secara mandiri, tanpa sponsor dan donatur pihak swasta maupun pemerintah, oleh seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) sebagai penyelenggaraan tahun ke-13. Festival Lima Gunung XIII berlangsung di Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang pada 23-24 Agustus 2014.
Selama dua hari festival tersebut dipentaskan, antara lain performa gerak dan musik Harajukunan Trethek Trunthung, tari Kidung Sabin, Ndayakan Macan Ireng, Mban Endreg, Soreng Putri, Grasak Glondong, Rimba Stamasa, dan Margoloyo.
Selain itu, tari Topeng Klana Gaya Slangit, performa gerak, tari Bicara Pada Puing, Tanjung Sari, "The Legend of Amurta", Hegong, akrobatik api, teater Kisah Cinta dari Negeri Mangliawan.
Selain itu, musik Trunthung Bocah Warangan, Soreng Bocah, Klothekan Bocah, Lengger, Topeng Saujana, Kuda Lumping, Seto Kencono, Gladiator Gunung, musik "Rhytm of Silence", performa Metamorfosis, Suling Belawang, drama tari Gatotkaca Winisuda, tari Leak dan pembacaan puisi, serta pentas Wayang Gunung.
Puncak festival pada Minggu (24/8) juga ditandai dengan kirab seniman dan peluncuran buku kumpulan tulisan kegiatan Komunitas Lima Gunung sejak 2011-2014 berjudul "Sanak Kadang", serta orasi budaya. Festival juga dimeriahkan dengan pameran lukisan dan topeng, suvenir, dan kuliner desa.
Para penyaji pementasan bukan hanya para seniman dari berbagai grup yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung, akan tetapi juga kelompok lainnya, seperti dari Kota Magelang, Solo, Yogyakarta, Kediri, Malang, dan Surabaya.
Performa musik dan gerak Harajukunan Trethek Trunthung, katanya, terinspirasi oleh suasana ruas jalan di Jepang sebagai tempat anak muda mengenakan pakaian aneh-aneh, tabuhan kentongan dan musik trunthung (pengiring tarian Soreng) yang berkembang di kawasan Gunung Merbabu.
"Karya ini sebagai dialog musik dengan irama ramai-ramai meliputi berbagai ritme, kami bukan pemusik, tetapi penari yang memainkan musik. Tahun ini kami terlibat dalam festival ini untuk merespons kebudayaan Lima Gunung," katanya.
Ia mendaku memiliki ikatan yang kuat dengan Komunitas Lima Gunung sehingga kabar festival tersebut pun disebarluaskan oleh anggota kelompok itu kepada berbagai relasinya. Relasi antara pihaknya dengan Komunitas Lima Gunung selama ini terjalin dengan intensif dan erat.
"Festival Lima Gunung telah menjadi kebesaran nilai-nilai budaya gunung," katanya.
Pembuat foto dan video klip dokumenter dari Jakarta, Tony Haryanto (56), menyatakan menyesal karena tidak bisa hadir dalam tiga kali Festival Lima Gunung selama ini.
Ia tidak bisa hadir saat Festival Lima Gunung 2010 yang dipusatkan di Studio Mendut, Kecamatan Mungkid, kawasan Pegunungan Menoreh dan pada 2007 serta 2012 di Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, di kawasan Gunung Sumbing dan Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, di kawasan Gunung Merbabu.
"Saat pertama kali di Warangan saya ikut. Saya selalu berusaha bisa hadir dalam Festival Lima Gunung," kata Tony yang datang dari Jakarta menumpang bus umum hingga Yogyakarta, untuk kemudian mengayuh sepeda lipatnya menuju lokasi festival di Dusun Warangan, Gunung Merbabu.
Ia mengemukakan bahwa festival itu sudah menjadi bagian dari pertemuan persaudaraan antarmanusia.
"Selalu ada perkembangan baru dalam setiap Festival Lima Gunung yang dilakukan oleh orang-orang gunung. Tahun ini, kita lihat sudah ada kesadaran untuk berbagi media, setiap orang bisa menyaksikan pementasan di rumah-rumah mereka melalui televisi. Kalau di lokasi penuh orang, bisa memilih menonton langsung melalui televisi di rumah-rumah," katanya.
Totalitas warga komunitas untuk berbagi apa saja tentang perkembangan desa yang bukan sekadar soal kehidupan pertanian sebagai harian mereka, nilai-nilai filosofis dan spiritualitas desa, selalu diperolehnya setiap kali hadir dalam festival tersebut.
"Di sini, saya mendapatkan 'local voice riil'," katanya.
Panitia Festival Lima Gunung 2014 menerima cukup banyak konfirmasi dari berbagai kalangan di banyak kota besar untuk hadir dalam festival tersebut, baik melalui komunikasi telepon seluler, media sosial, maupun surat elektronik.
Hadir dalam Festival Lima Gunung 2014 pada hari pertama, Sabtu (23/8), antara lain penari Keraton Mangkunegaran Solo yang berasal dari Jepang Kaori Okado, Direktur Borobudur Writer Festival Yoke Darmawan, sutradara Garin Nugroho, pengajar ISI Surakarta Joko Aswoyo, dan pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut. Garin, Yoke, dan Sutanto, berkesempatan pidato pada kesempatan tersebut.
Selain itu, kalangan penghobi fotografi berasal dari berbagai kota, seperti Magelang, Solo, Yogyakarta, Semarang, dan Jakarta juga memanfaatkan festival untuk melakukan pemotretan.
"Saya besok (24/8) akan datang," kata Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko Lailly Prihatiningtyas.
Garin menyebut Festival Lima Gunung sudah menjadi peristiwa langka, apalagi sudah berlangsung 13 tahun secara berturut-turut, sehingga penyelenggaraannya ditunggu banyak orang dari berbagai kota.
"Ini peristiwa langka. Mari kita sambut Lima Gunung yang luar biasa ini, untuk kebersamaan Lima Gunung. Gunung selalu punya arti dalam kebudayaan Jawa. Kita beri salam bahagia," katanya.
Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto dalam pidato berbahasa Jawa pembukaan festival menyebut agenda seni budaya tersebut sebagai ajang pertemuan antarmanusia.
"'Sedaya ngempal manunggal wonteng ing Festival Lima Gunung. Mugi festival punika ndadosaken rumaketing pasedherekan kita lan dados pakaryan ingkang sae'. (Semua berkumpul menjadi satu dalam Festival Lima Gunung. Semoga festival ini mempererat persaudaraan dan menjadi karya kebaikan, red)," katanya.
Mereka yang selalu ingin hadir dalam setiap penyelenggaraan Festival Lima Gunung, berkehendak baik, merangkai kehidupan bersama yang bermakna.
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025
Terkait
Terpopuler - Spektrum
Lihat Juga
Inovasi sosial dalam industri perikanan, membangun kemitraan antara nelayan dan teknologi "cold storage"
30 December 2024 9:15 WIB