Menurut pengamat ekonomi dari Universitas Stikubank (Unisbank) Semarang Alimmudin Rizal Rifai, saat ini kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi masih menjadi tarik ulur antara pemerintahan yang lama dan yang baru.

Padahal, menurutnya harus segera ada keputusan mengenai harga BBM subsidi dengan tujuan untuk efisiensi anggaran. Hal ini mengingat sebagian besar anggaran negara digunakan untuk menutup subsidi, salah satunya subsidi BBM.

Alimmudin mengungkapkan, ketika Joko Widodo lebih memikirkan pencitraan partai politik dan pribadi, akan muncul keputusan irasional yang artinya tidak ada keputusan pasti mengenai harga BBM subsidi. Sebaliknya, ketika presiden terpilih mendatang segera mengambil keputusan terkait dengan harga BBM subsidi, tidak akan mengurangi citra di mata mayarakat.

Latar belakang Jokowi yang merupakan pengusaha diharapkan mampu membuatnya mengambil keputusan melalui pola pikir yang efektif dan efisien.

Oleh karena itu, keputusan rasional yang seharusnya diambil oleh Pemerintah, yaitu segera menaikkan harga BBM. Jika tidak, ekonomi Indonesia tidak akan bisa tumbuh positif seperti yang dicita-citakan oleh bangsa ini.

Di sisi lain, kenaikan harga BBM subsidi harus diiringi dengan efisiensi dan kontrol pengelolaan dari hulu ke hilir dengan tetap berpihak kepada masyarakat.

Kontrol tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa BBM subsidi sampai kepada yang berhak, bukan justru dimanfaatkan oleh oknum untuk memperoleh keuntungan.

Alimmudin berharap pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla mampu mengondisikan BBM subsidi sekaligus menjadikannya sebagai kesempatan berpolitik.

Kesempatan berpolitik, berarti keputusan terkait dengan BBM subsidi tidak akan menjadikan Jokowi-JK dibenci oleh masyarakat, justru sebaliknya, masyarakat akan makin menghargai langkah pemerintah mengingat efisiensi subsidi harus dilakukan untuk kepentingan negara.


Tidak Tepat Sasaran

Selama ini, kata Alimmudin, konsumsi BBM subsidi tidak tepat sasaran karena ternyata 70 persen penggunanya berasal dari masyarakat golongan menengah yang mampu membeli BBM nonsubsidi.

Oleh karena itu, seharusnya pemerintah segera mengambil sikap mengenai kondisi tersebut, salah satunya melalui penyaluran BBM subsidi langsung diberikan kepada mereka yang memang berhak.

Salah satu hal yang harus segera dilakukan oleh Pemerintah adalah menyasar kepada komunitas atau kelompok yang membutuhkan BBM subsidi untuk menjalankan perekonomian mereka. Misalnya, komunitas yang layak memperoleh BBM subsidi, yaitu nelayan dan organisasi gabungan angkutan darat.

Selain itu, mahasiswa yang menggunakan sepeda motor juga layak diberikan subsidi.

Kartu Jakarta Pintar atau Jakarta Sehat yang diterapkan oleh Jokowi saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta bisa diadopsi untuk melancarkan penyaluran BBM subsidi kepada kelompok-kelompok tersebut. Misalnya, dengan data yang akurat mahasiswa bisa menggunakan kartu mahasiswa untuk memperoleh kemudahan membeli BBM subsidi saat di SPBU.

Pihaknya optimistis dengan langkah tersebut maka perekonomian Indonesia akan tumbuh positif karena pembangunan lebih merata dan penggunaan anggaran negara lebih berimbang.

Masyarakat golongan menengah yang sebelumnya mengonsumsi BBM subsidi pun tidak akan merasa kesulitan karena harus beralih ke nonsubsidi.

Pada dasarnya masyarakat Indonesia banyak yang memiliki kekayaan. Kondisi tersebut dapat dilihat dari makin tingginya pengguna mobil pribadi yang memadati jalan raya.

Menurut Alimmudin, akan menjadi tidak bijaksana ketika Pemerintah tetap memberikan subsidi kepada masyarakat kaya, tetapi pada akhirnya harus mengorbankan anggaran negara yang mengakibatkan pemerintah tambah miskin.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jateng Frans Kongi mengatakan, dengan dikuranginya anggaran untuk BBM subsidi, Pemerintah bisa mengalihkannya ke pembangunan infrastruktur, terutama di Jawa Tengah.

Pembangunan infrastruktur di Jawa Tengah sendiri harus dikebut mengingat banyaknya perusahaan yang akan ekspansi ke Jawa Tengah, baik dari provinsi lain maupun dari mancanegara.

Menyinggung anggaran subsidi BBM untuk perbaikan infrastruktur transportasi, Dr. Dewi Aryani, M.Si., anggota DPR RI asal Daerah Pemilihan Jawa Tengah IX (Kabupaten Brebes, Tegal, dan Kota Tegal) menyatakan sependapat. Hal ini mengingat sekitar 40 persen penikmat BBM adalah sepeda motor, 50 persennya mobil pribadi, dan hanya sekitar 3--4 persen dikonsumsi oleh angkutan umum.

Anggota Komisi VII (Bidang Energi) DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan itu berpendapat bahwa Pemerintah perlu menaikkan harga BBM. Namun, "gain" (keuntungan) yang didapat dari kenaikan harga BBM jangan dipakai buat bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM), tetapi dipakai buat pendidikan dan kesehatan gratis sambil secara bertahap simultan untuk perbaikan infrastruktur transportasi.

Akan tetapi, menurut Dewi yang juga Duta Universitas Indonesia (Duta UI) untuk Reformasi Birokrasi, yang menjadi persoalan saat ini adalah psikologi masyarakat yang cenderung "rush" serta munculnya "pebisnis" BBM yang mengambil untung dari disparitas harga.

"Jika memilih menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), berapa naiknya? Kalau naik kisaran Rp3.000,00/liter, inflasi akan mengarah ke 8 persen," katanya dalam rilisnya yang diterima Antara di Semarang, Rabu (3/9) pagi.