Suasana ruang tamu berbentuk huruf "L", rumah milik seorang pegiat Komunitas Lima Gunung di Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu, ramai karena gelak tawa dan saling canda, menjelang maghrib.

Dalang muda komunitas itu, Sih Agung Prasetya, seakan tak berkutik, diolok-olok oleh Garin karena cara pentas mendalang minim sabetan dan kelebihan antawacana atau bertutur.

"'Mendalang itu ya mainkan sabetan yang bagus, variatif, dan atraktif. Bukan cuman ambil satu demi satu wayang, lalu ditancapkan di gedebok. Lalu omong banyak. Kalau cuman begitu, ya namanya hanya penguasa mikrofon," begitu kira-kira salah satu bahan kalimat olok-olokan Garin untuk Sang Dalang.

Tangan kanan Garin bergerak menirukan dalang menancapkan satu demi satu wayang di gedebok, ketika menguatkan kalimat olok-olokannya.

Yang lain segera bersahut-sahutan untuk memanas-manasi Sang Dalang, supaya membalas lontaran kritik Garin. Sih Agung terkesan kena sengat "kompor" kawan-kawannya, namun ia merespons dengan kalimat bernada seakan ramah dan sopan.

"Terima kasih atas 'pengecean' (ejekan, red.) Pak Garin," kata dalang itu dengan cengar-cengir.

Anggota komunitas itu menyahut dengan olok-olok koor, "Huuu....!!!", kepada Sih Agung. Kira-kira maksudnya bahwa kalimat balasan Sang Dalang hanya terasa landai, kurang bermutu, dan tidak bikin suasana "greng".

Riyadi, salah seorang pemimpin komunitas menyeletuk, "Dalangnya tidak berani membalas, beraninya hanya kalau pegang mikrofon".

Yang lain pun lalu tertawa. Begitu juga dalang Sih Agung dan sutradara Garin Nugroho, tampak gembira, sambil saling menjabat tangan.

Azan maghrib menghentikan mereka bergurau dalam suasana sanak kadang komunitas seniman petani di kawasan lima gunung di Kabupaten Magelang itu.

Tak ada yang marah dan tersinggung, semua terkesan mengambil hikmah atas sendau gurau itu. Garin pun menerima buku berjudul "Sanak Kadang" yang diluncurkan pada festival tahunan Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang.

Naik Panggung
Dalam rangkaian festival tahunan secara mandiri komunitas itu beberapa waktu yang lalu, dalang Sih Agung bertindak sebagai pengatur urutan-urutan acara.

Melalui kekuasaan mikrofon di tangannya, dia mengeksekusi siapa saja para tokoh yang secara spontan kena jatah naik panggung untuk berpidato di hadapan massa penonton, baik warga desa-desa maupun para tamu yang datang dari berbagai kota, termasuk dari luar negeri.

Begitu juga, dia eksekusi kelompok mana saja yang mendapat urutan mementaskan kesenian. Dia menjadi pembawa acara dan berkuasa atas mikrofon. Selama dua hari, festival kesenian dan kebudayaan Komunitas Lima Gunung itu pun, berlangsung gembira, lancar, dan ramai pengunjung

Beberapa hari sebelumnya, Sih Agung mendalang di panggung terbuka Studio Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang.

Dia membawakan lakon "Gatotkaca Wangsabumi". Sutradara Garin dengan beberapa kawannya dari luar negeri juga datang, ikut menonton pergelaran itu di dekat Candi Mendut itu.

Malam itu, di pusat aktivitas kebudayaan Komunitas Lima Gunung, Garin seakan tak berkutik "dikerjain" Sang Dalang selagi memainkan wayang-wayangnya. Penonton gembira menyaksikan peristiwa itu.

Begitu pula Garin yang sebutannya sebagai sutradara sempat dipelesetkan dengan kata lain, oleh dalang Sih Agung. Garin dan para penonton mendapat pancingan Sang Dalang Komunitas Lima Gunung untuk tertawa gembira.

Ketika Sang Dalang belum selesai menirukan logat suara khas Sutanto Mendut, pemimpin tertinggi komunitas itu, dalam pementasan wayang kulit dan wayang golek durasi pendek tersebut, tertawa penonton pun terbahak-bahak lagi.

Yang menjadi sasaran, terlihat tak mau berdiam diri. Sutanto tiba-tiba beranjak dari kursinya. Dia mendekati perangkat elektronik yang menjadi sentral tata suara, lalu diputar panel volume mikrofon perlahan-lahan sampai level nol. Suara Sang Dalang berangsur-angsur menjadi tak terdengar dari pelantang.

Selama beberapa saat pula, Sutanto Mendut berulang-ulang memainkan panel volume tata suara, membuat suara Sang Dalang melalui mikrofon dari panggung pementasan menjadi timbul tenggelam. Para penonton, termasuk Garin, tertawa.

Sang Dalang menyadari sedang "dikerjain". Dia memalingkan wajahnya ke kiri dan kemudian sedikit beringsut dari posisi bersila di atas tikar. Jari tangan kanannya memukul-mukul ujung benjolan kepala mikrofon yang digantungkan di depan dadanya. Suara tak keluar.

Dia kemudian berseru dengan nada bergurau, "Mentang-mentang tidak 'mbayar' dalang ya!".

Lalu, dia berteriak keras, bertanya kepada penonton, "Teruskan apa tidak?". Penonton pun secepat kilat, bersama-sama membalas pertanyaan Sang Dalang itu dengan teriakan, "Lanjut!".

Mereka lalu bertepuk tangan, tanda keinginan agar Sang Dalang melanjutkan pementasan malam itu. Sutanto dengan tersenyum-senyum meninggalkan perangkat tata suara, kembali ke kursi kayu, tempat duduknya.

Mikrofon pun dikuasai lagi oleh Sang Dalang. Dengan menggunakan perangkat tersebut, dia menghadap kelir kembali, melanjutkan pementasan cerita tentang kelahiran tokoh pewayangan dari keluarga Pandawa dalam buku Mahabarata itu.

Di ujung pementasan, dengan kekuasaannya lagi atas mikrofon, Sang Dalang pun bersuara lantang menyampaikan makna dari lakon yang dibawakan.

Kisah "Gatotkaca Wangsabumi", pesannya harapan rakyat negeri ini atas pemimpin baru, termasuk dalam menggunakan kekuasaan mikrofonnya.