Kecamatan yang baru dibentuk pada tahun 2002, sebelumnya berupa hamparan air yang dikenal dengan sebutan Segara Anakan yang dibatasi Pulau Nusakambangan di sebelah selatan dan daratan Pulau Jawa di utara.

Berdasarkan data Dinas Kelautan Perikanan dan Pengelolaan Kawasan Segara Anakan (DKP2KSA) Kabupaten Cilacap, luas Segara Anakan pada tahun 1903 mencapai 6.450 hektare sehingga penduduknya kala itu bermukim di rumah-rumah panggung yang dibangun di atas air.

Oleh karena adanya sedimentasi, luas Segara Anakan terus menyusut karena pada tahun 1984 tinggal 2.906 hektare, kemudian pada tahun 2000 susut menjadi 1.200 hektare, dan pada tahun 2012 masih tersisa sekitar 500 hektare.

Akibat adanya sedimentasi tersebut, masyarakat Kampung Laut yang semula tinggal di rumah-rumah panggung, kini bermukim di rumah-rumah yang dibangun di atas tanah timbul.

Munculnya tanah timbul di Segara Anakan pun berdampak pada mata pencaharian warga Kampung Laut yang semula berprofesi sebagai nelayan, kini banyak yang alih profesi menjadi petani.

"Dulu, mayoritas warga Kampung Laut berprofesi sebagai nelayan, namun sekarang telah beralih profesi sebagai petani akibat adanya sedimentasi di Segara Anakan," kata salah seorang warga Desa Klaces, Miarto.

Menurut dia, kedalaman air di Plawangan (daerah di antara Pulau Nusakambangan dan Pangandaran, Jawa Barat) semula mencapai 100 meter namun sekarang hanya sekitar 4 meter dalam kondisi air pasang.

Akibatnya di saat kondisi surut, kata dia, ombak dari Samudra Hindia yang masuk ke Segara Anakan sangat besar karena kondisinya sudah dangkal.

Oleh karena itu, lanjut dia, 90 persen warga Klaces yang semula nelayan beralih profesi sebagai petani.

"Dulu, di sini (Segara Anakan, red.) banyak terdapat udang tetapi sekarang tidak lagi akibat adanya pendangkalan," katanya.

Selain mengakibatkan penyempitan Segara Anakan, sedimentasi juga menyebabkan penyusutan luasan hutan mangrove di kawasan laguna itu, yakni dari kisaran 12.000 hektare pada tahun 1900-an, kini hanya tersisa sekitar 6.900 hektare.

Padahal, hutan mangrove memiliki banyak fungsi di antaranya sebagai tempat pemijahan berbagai biota laut.

Terkait hal itu, Kementerian Koordinator Kemaritiman berencana menjadikan Kampung Laut sebagai model desa pesisir dan desa inovasi nelayan.

Saat berdialog dengan tokoh masyarakat Kampung Laut di Kantor Kecamatan Kampung Laut beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Kemaritiman Indroyono Soesilo mengatakan bahwa Kampung Laut dikenal di seluruh dunia karena memiliki hutan mangrove terakhir di Pulau Jawa.

"Oleh karena itu, nantinya akan banyak tenaga ahli yang datang ke Kampung Laut dan Segara Anakan untuk mempelajari hutan mangrove tersebut," katanya.

Selain itu, kata dia, pihaknya bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PU dan Pera) ingin mencoba menjadikan Kampung Laut sebagai model desa pesisir.

Menurut dia, Kemenko Kemaritiman bersama Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dan Dikti) juga akan menjadikan Kampung Laut sebagai model desa inovasi nelayan.

Pada tahap awal, Kemenko Kemaritiman akan membuat model rumah instan di Kampung Laut sebanyak satu unit.

Di wilayah itu, nantinya juga akan dipasang sistem air minum berkapasitas 1 liter per detik dengan memanfaatkan air payau Segara Anakan sehingga bisa memenuhi kebutuhan masyarakat Kampung Laut yang selalu mengalami krisis air bersih serta bakal dibangun sistem sanitasi.

Masyarakat Kampung Laut selama ini mendapatkan air bersih dari Pulau Nusakambangan yang diangkut menggunakan perahu.

Dengan adanya model rumah instan serta sistem air minum dan sanitasi, Indroyono mengharapkan hal itu bisa menjadi dasar untuk kucuran bantuan-bantuan selanjutnya seperti pembinaan budi daya kepiting dan sebagainya.

Wacana desa pesisir dan desa inovasi nelayan itupun mendapat sambutan positif dari para tokoh masyarakat Kampung Laut.

Bahkan, ketika sejumlah tim dari Kemen PU dan Pera serta Kemenristek dan Dikti mendatangi Kampung Laut untuk melakukan survei, masyarakat setempat sangat antusias mendampingi mereka demi terwujudnya desa pesisir dan desa inovasi nelayan di wilayah itu.

Camat Kampung Laut Ahmad Nurlaili mengatakan bahwa beberapa tim telah datang ke wilayah itu di antaranya untuk survei air bersih.

"Begitu timnya datang, masyarakat antusias sekali berdiskusi dengan tim survei termasuk mendampingi mereka ke titik-titik sumber air bersih," katanya di Cilacap, Rabu (22/4).

Selain tim survei air bersih, kata dia, tim survei pembangunan jembatan juga telah datang ke Kampung Laut untuk mencari lokasi yang layak untuk dibangun jembatan.

Pembangunan jembatan tersebut diusulkan warga kepada Menko Kemaritiman Indroyono Soesilo saat berkunjung ke Kampung Laut pada tanggal 7 Februari 2015.

Menurut dia, salah satu lokasi pembangunan jembatan yang diusulkan warga berada di tempat penyeberangan antara Dusun Motehan dan Lempongpucung, Desa Ujungalang, yang panjangnya sekitar 50 meter.

"Keberadaan jembatan tersebut sangat dibutuhkan untuk mendukung mobilitas warga Kampung Laut yang mencapai 17.096 jiwa, paling banyak di Desa Panikel dan Ujunggagak yang berada di daratan (tanah timbul, red.) utara yang sudah menyatu dengan Pulau Jawa. Kalau daratan (tanah timbul, red.) selatan sudah menyatu dengan Pulau Nusakambangan," katanya.

Ia mengatakan bahwa tim survei sanitasi dasar dan tim dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto juga telah datang ke Kampung Laut dalam rangka persiapan untuk mewujudkan desa pesisir dan desa inovasi nelayan.

Dia mengharapkan model desa pesisir dan desa inovasi nelayan di Kampung Laut dapat segera terwujud sehingga bisa membangkitkan ekonomi kreatif masyarakat setempat khususnya yang berkaitan dengan pertanian dan perikanan.

Menurut dia, salah satu ekonomi kreatif yang dapat diangkat berupa makanan berbahan baku tananam mangrove.

"Namun tim yang menangani masalah itu belum datang," katanya.

Ketua tim peneliti dari Unsoed Purwokerto, Prof. Totok Agung Dwi Haryanto mengatakan bahwa hasil survei tim peneliti dan teknologi-teknologi tepat guna di Unsoed dapat mendukung pengembangan berbagai potensi di kawasan Segara Anakan dengan tetap mengedepankan aspek konservasi.

"Perubahan masyarakat dari nelayan menjadi masyarakat budi daya membutuhkan dukungan semua pihak agar mampu mengawal dan mendukung proses perubahan yang tentu memerlukan peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam penguasaan teknologi dan kearifan dalam menyikapi perubahan," kata dia yang didaulat sebagai pemimpin dalam pengkoordinasian dan penentuan berbagai keputusan berbasis riset dalam upaya pengembangan inovasi teknologi berbagai pihak bagi pembangunan dan pengembangan potensi Kampung Laut di kawasan Segara Anakan melalui Implementasi Sistem Informasi Daerah dalam Wahana Desa Inovasi.

Kepala DKP2KSA Cilacap Sudjiman mengatakan bahwa berbagai peraturan daerah telah dikeluarkan untuk melaksanakan pembangunan di wilayah Kampung Laut agar tetap memiliki fungsi perlindungan bagi kawasan mangrove.

Menurut dia perubahan masyarakat dari nelayan menjadi masyarakat budi daya, baik perikanan maupun pertanian, membutuhkan perhatian dan dukungan berbagai pihak.

"Tata ruang yang mendukung perubahan masyarakat tersebut sangat diperlukan, baik wisata alam, wisata mangrove, maupun agroekowisata. Lahan konservasi diharapkan dapat meluas menjadi 8.000 hektare," katanya.

Ia mengatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Cilacap telah menetapkan zonasi di kawasan Segara Anakan, yakni zona pertahanan-keamanan, mangrove, industri, wisata, dan campuran.

Menurut dia, pembangunan desa inovasi pesisir yang dicanangkan Kemenko Kemaritiman dan wahana desa inovasi Kemenristek dan Dikti telah dirancang oleh Tim Peneliti Unsoed sesuai zonasi tersebut, agar mampu menjadi wahana bagi pengembangan potensi-potensi yang ada di Kampung Laut dengan berbagai keunikan yang terdapat di kawasan Segara Anakan.