Menhan: Alokasi Anggaran Kemenhan 2016 Difokuskan untuk Bangun Infrastruktur
Senin, 21 September 2015 16:14 WIB
China menggelar latihan militer selama enam hari di Laut China Selatan, beberapa waktu lalu. (DTN News)
Yang terakhir, Kementerian Pertahanan mengumumkan pembelian satu batch Sukhoi Su-35BM sebagai pengganti F-5E/F Tiger II di Skuadron Udara 14 TNI AU, dengan alasan Su-35BM itulah yang paling mampu memberi daya penggentar di kawasan.
Padahal biaya operasionalnya tinggi dengan skema transfer teknologi yang belum pernah diungkap jelas dan rinci kepada publik sebagai pemenuhan amanat UU Nomor 16/2012 tentang Industri Pertahanan. Rusia melalui Rosoboronexport tidak pernah mengungkap ini secara jelas.
Bicara soal infrastruktur di perbatasan negara itu, yang dia maksud itu terutama di Kepulauan Natuna, Kepulauan Riau, yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, di mana China sangat agresif dan tidak malu-malu lagi menafikan aturan diplomasi internasional untuk memaksakan klaim sepihak mereka atas laut itu.
"Pembelian pesawat belum menjadi prioritas, bukan tidak jadi namun ditunda, namun yang penting saat ini menghadapi situasi yang memanas di Laut Tiongkok Selatan," katanya, di Ruang Rapat Komisi I DPR, Jakarta, Senin.
China alias Tiongkok sejak beberapa tahun terakhir makin agresif, yang dikhawatirkan bisa memicu kehadiran kembali Amerika Serikat di Laut China Selatan dan sekitarnya, apalagi Filipina --sekutu Amerika Serikat-- punya masalah berat atas klaim sepihak China di Laut China Selatan ini.
Ada empat negara ASEAN yang berhadapan dengan China tentang Laut China Selatan ini secara sendiri-sendiri, yaitu Viet Nahm, Brunei Darussalam, Filipina, dan Malaysia. Indonesia bukan negara yang mengajukan klaim, namun berbatasan langsung secara geografis dan penting secara politik kawasan.
Menurut dia, Indonesia memiliki hubungan baik dengan kedua negara itu (Amerika Serikat dan China), namun kondisi memanas di wilayah itu maka Indonesia tidak boleh hanya diam.
"Indonesia tidak ada masalah dengan AS dan Tiongkok. Kita punya alutsista, seperti kapal dan pesawat namun yang penting adalah landasan (di Pulau Natuna)," ujarnya. Arsenal dan sistem pendukung arsenal TNI banyak yang berasal dari Amerika Serikat atau minimal dari Barat.
Sejauh ini belum ada wahana perang Indonesia berasal dari China, kecuali beberapa peluru kendali, di antaranya peluru kendali panggul perorangan QW-1 dan peluru kendali permukaan-ke-permukaan C-802.
Ryacudu menilai landas pacu di Kepulauan Natuna saat ini tidak bisa digunakan untuk pesawat tempur namun hanya bisa untuk pesawat angkut. "Pesawat tempur bisa menghisap krikil (apabila landasan rusak) dan menyebabkan mesin pecah," katanya.
Lampu-lampu dan radar yang ada di landas pacu akan diperbaharui. Selain itu menurut dia UAV alias drone juga akan diperbaiki sehingga para prajurit bisa menambah jarak pengawasan dan pengamatan tempurnya hingga 60 kilometer.
"Di wilayah yang netral adalah Indonesia dan Thailand, namun kalau ada negara yang berpihak kepada AS dan Tiongkok. Kalau sudah ada blok seperti itu, bisa saja terjadi perang maka Indonesia harus mendamaikan," katanya.
Dia dan sejumlah petinggi Kementerian Pertahanan baru-baru ini datang ke Kepulauan Natuna.
Selain itu dermaga pelabuhan di sana juga sangat memprihatinkan. Alih-alih untuk kapal perang tambat, untuk kapal biasa saja beresiko tinggi karena kayu-kayunya sudah lapuk.
Padahal biaya operasionalnya tinggi dengan skema transfer teknologi yang belum pernah diungkap jelas dan rinci kepada publik sebagai pemenuhan amanat UU Nomor 16/2012 tentang Industri Pertahanan. Rusia melalui Rosoboronexport tidak pernah mengungkap ini secara jelas.
Bicara soal infrastruktur di perbatasan negara itu, yang dia maksud itu terutama di Kepulauan Natuna, Kepulauan Riau, yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, di mana China sangat agresif dan tidak malu-malu lagi menafikan aturan diplomasi internasional untuk memaksakan klaim sepihak mereka atas laut itu.
"Pembelian pesawat belum menjadi prioritas, bukan tidak jadi namun ditunda, namun yang penting saat ini menghadapi situasi yang memanas di Laut Tiongkok Selatan," katanya, di Ruang Rapat Komisi I DPR, Jakarta, Senin.
China alias Tiongkok sejak beberapa tahun terakhir makin agresif, yang dikhawatirkan bisa memicu kehadiran kembali Amerika Serikat di Laut China Selatan dan sekitarnya, apalagi Filipina --sekutu Amerika Serikat-- punya masalah berat atas klaim sepihak China di Laut China Selatan ini.
Ada empat negara ASEAN yang berhadapan dengan China tentang Laut China Selatan ini secara sendiri-sendiri, yaitu Viet Nahm, Brunei Darussalam, Filipina, dan Malaysia. Indonesia bukan negara yang mengajukan klaim, namun berbatasan langsung secara geografis dan penting secara politik kawasan.
Menurut dia, Indonesia memiliki hubungan baik dengan kedua negara itu (Amerika Serikat dan China), namun kondisi memanas di wilayah itu maka Indonesia tidak boleh hanya diam.
"Indonesia tidak ada masalah dengan AS dan Tiongkok. Kita punya alutsista, seperti kapal dan pesawat namun yang penting adalah landasan (di Pulau Natuna)," ujarnya. Arsenal dan sistem pendukung arsenal TNI banyak yang berasal dari Amerika Serikat atau minimal dari Barat.
Sejauh ini belum ada wahana perang Indonesia berasal dari China, kecuali beberapa peluru kendali, di antaranya peluru kendali panggul perorangan QW-1 dan peluru kendali permukaan-ke-permukaan C-802.
Ryacudu menilai landas pacu di Kepulauan Natuna saat ini tidak bisa digunakan untuk pesawat tempur namun hanya bisa untuk pesawat angkut. "Pesawat tempur bisa menghisap krikil (apabila landasan rusak) dan menyebabkan mesin pecah," katanya.
Lampu-lampu dan radar yang ada di landas pacu akan diperbaharui. Selain itu menurut dia UAV alias drone juga akan diperbaiki sehingga para prajurit bisa menambah jarak pengawasan dan pengamatan tempurnya hingga 60 kilometer.
"Di wilayah yang netral adalah Indonesia dan Thailand, namun kalau ada negara yang berpihak kepada AS dan Tiongkok. Kalau sudah ada blok seperti itu, bisa saja terjadi perang maka Indonesia harus mendamaikan," katanya.
Dia dan sejumlah petinggi Kementerian Pertahanan baru-baru ini datang ke Kepulauan Natuna.
Selain itu dermaga pelabuhan di sana juga sangat memprihatinkan. Alih-alih untuk kapal perang tambat, untuk kapal biasa saja beresiko tinggi karena kayu-kayunya sudah lapuk.
Pewarta : Antaranews
Editor : Totok Marwoto
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Terpopuler - Politik dan Hankam
Lihat Juga
Zulkifli Hasan Berharap Jakarta Kembali Tenang dan Damai Setelah Pilkada
02 February 2017 6:50 WIB, 2017
Agus: Saya hanya Sampaikan "Salam Hormat" ke Pak Maruf dan Pengurus PBNU
01 February 2017 19:04 WIB, 2017
" Presiden Jokowi Ingin Bertemu Saya, Tapi Dilarang Dua-Tiga di Sekeliling Beliau," Kata SBY
01 February 2017 18:35 WIB, 2017
Tim Anies-Sandi: Kegiatan PT MWS pada Masyarakat Tentang Reklamasi Pulau G Memaksakan Ambisi
01 February 2017 17:17 WIB, 2017
Setnov: NU Salalu Hadir sebagai Organisasi yang Suarakan Perdamaian dan Kesejukan
01 February 2017 16:41 WIB, 2017
Ahok Menyayangkan ada Pihak yang Mengadu Domba bahwa Dia Menghina Integritas PBNU
01 February 2017 16:12 WIB, 2017
Din: Tudingan Ahok Terhadap Maruf Bernada Sarkastik dan Sangat Menghina
01 February 2017 15:58 WIB, 2017
SBY perlu Klarifikasi Pernyataan Kuasa Hukum Ahok yang Mengkaitkan Fatwa MUI
01 February 2017 14:56 WIB, 2017