Misalnya, Pasal 47 dan Pasal 73 UU No. 8/2015 Perubahan atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang atau lebih populer dengan frasa UU Pilkada.

Dalam Pasal 47 Ayat (1), disebutkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Akan tetapi, hal itu harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkrah/incraht, red).

Dalam hal putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menyatakan setiap orang atau lembaga terbukti memberi imbalan pada proses pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota maka penetapan sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota atau wakil wali kota dibatalkan.

Kemudian, sanksi kepada partai politik atau gabungan partai politik yang terbukti menerima imbalan dikenai denda sebesar 10 kali lipat dari nilai imbalan yang diterima.

Namun, kata Kepala Bagian Pembinaan Operasional Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Tengah AKBP Endras Setiawan, faktanya pasal tersebut mengatur larangan saja, kemudian apabila telah inkrah, pencalonan dibatalkan.

"Pada ketentuan pidana tidak ada ancaman hukumannya," kata Kepala Bagian Pembinaan Operasional Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Tengah AKBP Endras Setiawan dalam diskusi bertajuk "Optimalisasi Sentra Gakkumdu dalam Pilkada Serentak 2015" di Gedung Pers, Semarang, Rabu (2/12).

Dalam diskusi yang diselenggarakan Lembaga Pemantau Pemilu (LPP) PWI Jateng bekerja sama dengan Bawaslu Jateng, AKBP Endras Setiawan memberikan solusi dengan menerapkan UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pelaku juga bisa dijerat UU No. 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Begitu pula, terkait dengan praktik politik uang dalam pilkada. Pada Pasal 73 UU No.1/2015 sebagaimana diubah dalam UU No.8/2015, juga hanya mengatur larangan. Subjek hukum bila telah inkrah dikenai sanksi administrasi dan pidana. Namun, tidak ada ancaman pidananya.

Pasal 73 menyebutkan bahwa calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih.

Calon yang terbukti melakukan pelanggaran tersebut berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan dikenai sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Tidak hanya calon, tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran pasal tersebut berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal tersebut, kata AKBP Endras, mengatur larangan saja, subjek hukum bila telah inkrah dikenai sanksi administrasi dan pidana. Akan tetapi, tidak ada ancaman pidana.

Pemberi dan Penerima Dihukum
Ketua Bawaslu Jateng Abhan Misbah, S.H. berpendapat bahwa penegak hukum jangan terpaku dengan persoalan "lex specialis". Soal suap dalam pemilihan ini juga termaktub di dalam Pasal 149 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Jika dalam UU Pilkada hanya pemberi yang dikenai sanksi, tetapi dalam Pasal 149 KUHP, baik pemberi maupun penerima, bisa dihukum," katanya dalam diskusi yang dipandu Koordinator Divisi Pencegahan dan Hubungan Antarlembaga Bawaslu Jateng Teguh Purnomo, S.H., M.Hum., M.Kn.

Dalam Pasal 149 KUHP, disebutkan bahwa barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara yang tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pada Ayat (2) Pasal 149 KUHP, disebutkan bahwa pidana yang sama diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap.

"Meski produk pemerintahan kolonial, KUHP lebih progresif daripada Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota," kata Abhan.

Endras sependapat dengan pernyataan Abhan. Di samping pelaku dikenai Pasal 149 KUHP, juga bisa dijerat UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Problematik lain dalam penegakan aturan pemilihan kepala daerah adalah praktik politik uang pada masa kampanye, masa tenang, dan hari-H pemungutan suara.

"'Money politic' dalam UU No. 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan UU No. 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD merupakan tindak pidana. Namun, dalam UU Pilkada, bukan merupakan tindak pidana, solusinya Pasal 149 KUHP," kata AKBP Endras di hadapan peserta diskusi yang terdiri atas anggota Panwas Kabupaten/Kota, kejaksaan negeri, dan anggota kepolisian, serta wartawan.

Kendati demikian, tidak semua pelanggaran pidana pemilihan dalam UU Pilkada tidak ada ancaman hukum pidananya.

Pasal 71 Ayat (1) UU No. 1/2015 sebagaimana diubah dengan UU No. 8/2015, misalnya, pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara (ASN), dan kepala desa atau sebutan lain/lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye.

Mereka yang dengan sengaja melanggar ketentuan tersebut, sebagaimana Pasal 188 UU Pilkada, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00.