APTRI: Gula Rafinasi Jangan Dijual di Pasar Konsumsi
Selasa, 27 September 2016 17:23 WIB
Petugas dari Departemen Perdagangan melakukan pengecekan karung yang berisi gula rafinasi di gedung di jalan Pluit Raya, Jakarta, Senin (15/9). FOTO ANTARA/Prasetyo Utomo/ama/08
Kudus, Antara Jateng - Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) berharap gula rafinasi tidak dijual di pasar konsumsi karena aturannya hanya boleh dijual kepada industri makanan dan minuman sebaga bahan baku, kata Sekretaris Jenderal DPN APTRI M Nur Khabsyin.
"Faktanya, gula rafinasi tersebut banyak yang bocor di pasaran. Jika dilegalkan, tentunya dikhawatirkan akan terjadi banjir gula di pasaran," ujarnya di Kudus, Selasa.
Menurut dia, tidak adil jika gula petani harus bersaing dengan gula rafinasi karena gula rafinasi berasal gula kristal mentah (raw sugar) impor yang biayanya lebih murah karena pabrik gulanya efisien.
Sementara di Indonesia, kata dia, pabrik gula tidak efisien mengingat mesin produksinya sudah tua.
Untuk harga lelang gula petani saat ini, kata dia, berkisar Rp11.000 hingga Rp11.200/kg, sedangkan biaya produksinya Rp10.600/kg.
"Artinya, hanya ada keuntungan 4 persen selama setahun," ujarnya.
Petani tebu, kata dia, secara tegas tentu menolak kebijakan gula rafinasi boleh dijual di pasaran, meskipun dengan alasan untuk stabilisasi harga.
Seharusnya, kata dia, pemerintah berpikir komprehensif tidak hanya dari sisi konsumen, melainkan juga memikirkan nasib petani tebu dan kelangsungan industri gula di dalam negeri.
Selain itu, kata dia, pemerintah juga perlu melakukan langkah konkrit untuk meningkatkan rendemen dengan meningkatkan kinerja pabrik gula melalui revitalisasi mesin-mesin pabrik yang sudah tua serta perbaikan manajemen pabrik.
"Produksi gula tahun ini diperkirakan mencapai 2,4 juta ton, sedangkan kebutuhan gula konsumsinya sekitar 2,7 ton, sehingga ada kekurangan 300 ton," ujarnya.
Hanya saja, kata dia, izin impor gula untuk kebutuhan konsumsinya, baik "raw sugar" maupun gula kristal totalnya mencapai 1,12 juta ton.
"Faktanya, gula rafinasi tersebut banyak yang bocor di pasaran. Jika dilegalkan, tentunya dikhawatirkan akan terjadi banjir gula di pasaran," ujarnya di Kudus, Selasa.
Menurut dia, tidak adil jika gula petani harus bersaing dengan gula rafinasi karena gula rafinasi berasal gula kristal mentah (raw sugar) impor yang biayanya lebih murah karena pabrik gulanya efisien.
Sementara di Indonesia, kata dia, pabrik gula tidak efisien mengingat mesin produksinya sudah tua.
Untuk harga lelang gula petani saat ini, kata dia, berkisar Rp11.000 hingga Rp11.200/kg, sedangkan biaya produksinya Rp10.600/kg.
"Artinya, hanya ada keuntungan 4 persen selama setahun," ujarnya.
Petani tebu, kata dia, secara tegas tentu menolak kebijakan gula rafinasi boleh dijual di pasaran, meskipun dengan alasan untuk stabilisasi harga.
Seharusnya, kata dia, pemerintah berpikir komprehensif tidak hanya dari sisi konsumen, melainkan juga memikirkan nasib petani tebu dan kelangsungan industri gula di dalam negeri.
Selain itu, kata dia, pemerintah juga perlu melakukan langkah konkrit untuk meningkatkan rendemen dengan meningkatkan kinerja pabrik gula melalui revitalisasi mesin-mesin pabrik yang sudah tua serta perbaikan manajemen pabrik.
"Produksi gula tahun ini diperkirakan mencapai 2,4 juta ton, sedangkan kebutuhan gula konsumsinya sekitar 2,7 ton, sehingga ada kekurangan 300 ton," ujarnya.
Hanya saja, kata dia, izin impor gula untuk kebutuhan konsumsinya, baik "raw sugar" maupun gula kristal totalnya mencapai 1,12 juta ton.
Pewarta : Akhmad Nazaruddin
Editor : M Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Terpopuler - Bisnis
Lihat Juga
Hashim Djojohadikusumo pikat pendanaan hijau EUR 1,2 miliar untuk sektor kelistrikan
14 November 2024 21:08 WIB