"Semar Nandur Banyu" hingga Asah Empati Penguasa
Minggu, 23 Oktober 2016 20:14 WIB
Salah satu babak pementasan wayang kolaborasi "Semar Nandur Banyu" pada puncak Gelar Budaya 2016 di Lapangan Pastoran Muntilan, Kabupaten Magelang, Sabtu (22/10) malam. (Foto: Hari Atmoko/ANTARAJATENG.COM).
Magelang, Antara Jateng - Pementasan wayang berlakon "Semar Nandur Banyu" bukan sekadar menggelontorkan pesan tentang pelestarian sumber air, melainkan juga menghunjam elite pemegang kekuasaan untuk sadar pentingnya mereka senantiasa mengasah empati agar selalu tajam melihat persoalan masyarakat bawah.
Keluarga besar SMA Van Lith Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, mementaskan cerita wayang tersebut saat puncak rangkaian Gelar Budaya 2016 yang diprakarsai Museum Misi Muntilan selama beberapa bulan terakhir dengan melibatkan masyarakat dari berbagai kalangan.
Naskah, skenario, dan sutradara wayang carangan "Semar Nandur Banyu" (Semar menanam air, red.) oleh Romo Nugroho Trisumartono dan Sitras Anjilin. Romo Nugroho adalah Direktur Museum Misi Muntilan, sedangkan Sitras Pimpinan Padepokan Tjipto Boedojo di kawasan Gunung Merapi Dusun Tutup Ngisir, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.
Gelar Budaya 2016 yang puncaknya berupa pentas wayang kolaborasi (wayang orang dan wayang kulit) itu menghadirkan Bruder Frans Sugi FIC sebagai dalang. Pergelaran berlangsung di Lapangan Pastoran Muntilan pada hari Sabtu (22/10) hingga menjelang tengah malam dengan disimak hingga rampung oleh masyarakat setempat.
Ide cerita "Semar Nandur Banyu" tidak lepas dari persoalan masyarakat umum saat ini terkait dengan krisis air dan multidampak atas hal tersebut bagi kehidupan warga.
Dikisahkan oleh Sang Dalang yang juga Ketua Yayasan Pangudi Luhur Pusat (penaung SMA Van Lith Muntilan) pada awal pementasan dengan menggunakan bahasa Jawa bahwa penebangan secara serampangan pepohonan di gunung dekat Desa Kembangsore mengakibatkan hilangnya berbagai sumber air, baik untuk pertanian maupun kebutuhan sehari-hari masyarakat.
Desa di pinggiran Kerajaan Amarta, tempat tinggal para punakawan, yakni Semar (Bruder Agustinus Giwal Santoso FIC), Petruk (Heribertus Eko Prasetyo), Gareng (Ignatius Galang Ananta), Bagong (Ignasius Antang Hartoko) bersama masyarakat setempat.
Para pengampu tokoh utama wayang orang adalah keluarga besar SMA Van Lith Muntilan, baik kepala sekolah, guru, karyawan, pamong asrama murid, maupun belasan siswa sekolah yang didirikan 112 tahun lalu itu. Bahkan, Suster Marianne, seorang biarawati Ordo Carolus Borromeus juga menjadi pemain wayang orang, memerankan salah satu tokoh perempuan desa setempat.
Dikisahkan pula dalam wayang dengan penata tari Darmawan dan Untung Pribadi (seniman petani Padepokan Tjipto Boedoyo) tentang pengembangan usaha industri air mineral yang hendak merampas kekuasan masyarakat secara turun-temurun atas sumber air di desanya.
Pemilik usaha air mineral yang hendak mengembangkan industrinya dengan menguasai sumber air melalui uang kompensasi kepada warga Desa Kembangsore dan praktik suap kepada petinggi Keluarga Pandawa, ditokohkan sebagai wayang orang bernama Singatirta (Tri Handono) dengan orang kepercayaannya, Ranuupiya (Ignatius Satrio Nugroho).
"Ekologi dirusak, pohon-pohon yang menyimpan air ditebangi, burung-burung diburu dengan dibedil, ikan-ikan ditangkap dengan setrum. Masyarakat menghadapi krisis air. 'Geger rame kang samiyo rebutan toya' (terjadi kerusuhan karena warga berebut air, red,)," begitu Sang Dalang memulai ceritanya sambil menancapkan tiga gunungan wayang kulit di kelir.
Tabuhan gamelan yang ditata Simon Supriyadi (pengendang) serta lantunan tembang Jawa oleh sinden Rosa bertalu-talu menandai kisah warga desa bertikai karena berebut air bersih hingga kedatangan para punakawan melerainya dan kemudian melapor kepada Ki Lurah Semar Badranaya yang diperankan Kepala SMA Van Lith itu.
Untuk mengatasi persoalan itu, Semar mengambil keputusan bijaksana, yakni menggerakkan warga bergotong royong, melakukan penanaman berbagai bibit pepohonan dengan maksud menghadirkan kembali sumber-sumber air di kawasan itu.
Restu penguasa pemerintahan untuk warga melakukan gerakan penghijauan dibutuhkan Semar. Dia mengutus Petruk, Gareng, dan Bagong pergi ke Keraton Amarta menemui Prabu Puntadewa guna meminjam tiga pusaka, yakni Payung Tunggul Naga, Tombak Kalawelang, dan Jamus Kalimasada.
"Itu dikisahkan simbol pusaka pengayoman, perlindungan negara untuk menjaga kebenaran dan kemakmuran, serta lambang kesatuan hidup rohani seluruh rakyat dalam jaminan negara," kata Romo Nugroho, penulis naskah wayang carangan itu.
Akan tetapi, dalam pertemuan punakawan dengan Keluarga Pandawa yang dikisahkan melalui media wayang kulit oleh Sang Dalang, terjadi kesalahpahaman.
Werkudara memandang pusaka-pusaka negara tidak boleh keluar dari gedung pusaka, sedangkan Arjuna memandang bahwa permintaan Semar atas pusaka-pusaka negara sebagai tanda-tanda makar terhadap penguasa.
Penjelasan Petruk bahwa niat baik menggerakkan warga memerlukan legitimasi penguasa Amarta, tidak digubris oleh Werkudara dan Arjuna.
Terjadi peperangan dengan kekuatan tidak seimbang antara punakawan yang simbol warga lugu namun berniat mulia itu, melawan anak-anak Pandawa dengan kesaktiannya, yakni Gatotkaca (Agustinus Sukirdjo), Antareja (Yohanes Wangsit Setiadi), dan Irawan (Robertus Baluk Nugroho).
Sang Dalang menceritakan bahwa Keluarga Pandawa kurang titis menghadapi persoalan masyarakat sehingga terbawa suasana emosional dan melakukan tindakan represif.
Saat tiga anak Pandawa itu mengejar tiga anak Semar hingga Desa Kembangsore, mereka dihadang puluhan warga. Mereka diceritakan menjadi paham bahwa masyarakat benar-benar menghadapi krisis air hingga terjadi konflik horizontal akibat kerusakan lingkungan.
Anak-anak Pandawa kemudian berbalik sikap mendukung kehendak warga untuk berupaya menghadirkan kembali sumber air. Begitu pula dengan Werkudara dan Arjuna. Mereka kemudian mendapat perintah Puntadewa untuk mendukung upaya masyarakat bergotong royong menghijaukan kawasan.
Dikisahkan dari kelir bahwa Werkudara dan Arjuna yang telah menyadari kesalahpahamannya menangkap penjelasan punakawan tentang permintaan tiga pusaka negara, masing-masing kemudian perang tanding dan menang menghadapi keserakahan Singatirta dan Ranuupiya.
Dalang Frans Sugi mengungkapan bahwa lakon "Semar Nandur Banyu" sebagai bagian dari "pasemoning gesang bebrayan" (wujud dari pralambang tentang kehidupan bersama).
Melalui lakon itu, setidaknya ingin disampaikan pesan bahwa kehendak orisinal masyarakat menghidupkan sumber air mestinya secara titis dan penuh empati ditangkap penguasa agar aspirasi mereka memperjuangkan lingkungan yang lestari menjadi terwujud.
Para pemain wayang orang kemudian mengungkapkan kekompakan warga dan elite kekuasaan untuk gerakan penghijauan itu melalui yel-yel, "Holopis kuntul baris!"
Keluarga besar SMA Van Lith Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, mementaskan cerita wayang tersebut saat puncak rangkaian Gelar Budaya 2016 yang diprakarsai Museum Misi Muntilan selama beberapa bulan terakhir dengan melibatkan masyarakat dari berbagai kalangan.
Naskah, skenario, dan sutradara wayang carangan "Semar Nandur Banyu" (Semar menanam air, red.) oleh Romo Nugroho Trisumartono dan Sitras Anjilin. Romo Nugroho adalah Direktur Museum Misi Muntilan, sedangkan Sitras Pimpinan Padepokan Tjipto Boedojo di kawasan Gunung Merapi Dusun Tutup Ngisir, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.
Gelar Budaya 2016 yang puncaknya berupa pentas wayang kolaborasi (wayang orang dan wayang kulit) itu menghadirkan Bruder Frans Sugi FIC sebagai dalang. Pergelaran berlangsung di Lapangan Pastoran Muntilan pada hari Sabtu (22/10) hingga menjelang tengah malam dengan disimak hingga rampung oleh masyarakat setempat.
Ide cerita "Semar Nandur Banyu" tidak lepas dari persoalan masyarakat umum saat ini terkait dengan krisis air dan multidampak atas hal tersebut bagi kehidupan warga.
Dikisahkan oleh Sang Dalang yang juga Ketua Yayasan Pangudi Luhur Pusat (penaung SMA Van Lith Muntilan) pada awal pementasan dengan menggunakan bahasa Jawa bahwa penebangan secara serampangan pepohonan di gunung dekat Desa Kembangsore mengakibatkan hilangnya berbagai sumber air, baik untuk pertanian maupun kebutuhan sehari-hari masyarakat.
Desa di pinggiran Kerajaan Amarta, tempat tinggal para punakawan, yakni Semar (Bruder Agustinus Giwal Santoso FIC), Petruk (Heribertus Eko Prasetyo), Gareng (Ignatius Galang Ananta), Bagong (Ignasius Antang Hartoko) bersama masyarakat setempat.
Para pengampu tokoh utama wayang orang adalah keluarga besar SMA Van Lith Muntilan, baik kepala sekolah, guru, karyawan, pamong asrama murid, maupun belasan siswa sekolah yang didirikan 112 tahun lalu itu. Bahkan, Suster Marianne, seorang biarawati Ordo Carolus Borromeus juga menjadi pemain wayang orang, memerankan salah satu tokoh perempuan desa setempat.
Dikisahkan pula dalam wayang dengan penata tari Darmawan dan Untung Pribadi (seniman petani Padepokan Tjipto Boedoyo) tentang pengembangan usaha industri air mineral yang hendak merampas kekuasan masyarakat secara turun-temurun atas sumber air di desanya.
Pemilik usaha air mineral yang hendak mengembangkan industrinya dengan menguasai sumber air melalui uang kompensasi kepada warga Desa Kembangsore dan praktik suap kepada petinggi Keluarga Pandawa, ditokohkan sebagai wayang orang bernama Singatirta (Tri Handono) dengan orang kepercayaannya, Ranuupiya (Ignatius Satrio Nugroho).
"Ekologi dirusak, pohon-pohon yang menyimpan air ditebangi, burung-burung diburu dengan dibedil, ikan-ikan ditangkap dengan setrum. Masyarakat menghadapi krisis air. 'Geger rame kang samiyo rebutan toya' (terjadi kerusuhan karena warga berebut air, red,)," begitu Sang Dalang memulai ceritanya sambil menancapkan tiga gunungan wayang kulit di kelir.
Tabuhan gamelan yang ditata Simon Supriyadi (pengendang) serta lantunan tembang Jawa oleh sinden Rosa bertalu-talu menandai kisah warga desa bertikai karena berebut air bersih hingga kedatangan para punakawan melerainya dan kemudian melapor kepada Ki Lurah Semar Badranaya yang diperankan Kepala SMA Van Lith itu.
Untuk mengatasi persoalan itu, Semar mengambil keputusan bijaksana, yakni menggerakkan warga bergotong royong, melakukan penanaman berbagai bibit pepohonan dengan maksud menghadirkan kembali sumber-sumber air di kawasan itu.
Restu penguasa pemerintahan untuk warga melakukan gerakan penghijauan dibutuhkan Semar. Dia mengutus Petruk, Gareng, dan Bagong pergi ke Keraton Amarta menemui Prabu Puntadewa guna meminjam tiga pusaka, yakni Payung Tunggul Naga, Tombak Kalawelang, dan Jamus Kalimasada.
"Itu dikisahkan simbol pusaka pengayoman, perlindungan negara untuk menjaga kebenaran dan kemakmuran, serta lambang kesatuan hidup rohani seluruh rakyat dalam jaminan negara," kata Romo Nugroho, penulis naskah wayang carangan itu.
Akan tetapi, dalam pertemuan punakawan dengan Keluarga Pandawa yang dikisahkan melalui media wayang kulit oleh Sang Dalang, terjadi kesalahpahaman.
Werkudara memandang pusaka-pusaka negara tidak boleh keluar dari gedung pusaka, sedangkan Arjuna memandang bahwa permintaan Semar atas pusaka-pusaka negara sebagai tanda-tanda makar terhadap penguasa.
Penjelasan Petruk bahwa niat baik menggerakkan warga memerlukan legitimasi penguasa Amarta, tidak digubris oleh Werkudara dan Arjuna.
Terjadi peperangan dengan kekuatan tidak seimbang antara punakawan yang simbol warga lugu namun berniat mulia itu, melawan anak-anak Pandawa dengan kesaktiannya, yakni Gatotkaca (Agustinus Sukirdjo), Antareja (Yohanes Wangsit Setiadi), dan Irawan (Robertus Baluk Nugroho).
Sang Dalang menceritakan bahwa Keluarga Pandawa kurang titis menghadapi persoalan masyarakat sehingga terbawa suasana emosional dan melakukan tindakan represif.
Saat tiga anak Pandawa itu mengejar tiga anak Semar hingga Desa Kembangsore, mereka dihadang puluhan warga. Mereka diceritakan menjadi paham bahwa masyarakat benar-benar menghadapi krisis air hingga terjadi konflik horizontal akibat kerusakan lingkungan.
Anak-anak Pandawa kemudian berbalik sikap mendukung kehendak warga untuk berupaya menghadirkan kembali sumber air. Begitu pula dengan Werkudara dan Arjuna. Mereka kemudian mendapat perintah Puntadewa untuk mendukung upaya masyarakat bergotong royong menghijaukan kawasan.
Dikisahkan dari kelir bahwa Werkudara dan Arjuna yang telah menyadari kesalahpahamannya menangkap penjelasan punakawan tentang permintaan tiga pusaka negara, masing-masing kemudian perang tanding dan menang menghadapi keserakahan Singatirta dan Ranuupiya.
Dalang Frans Sugi mengungkapan bahwa lakon "Semar Nandur Banyu" sebagai bagian dari "pasemoning gesang bebrayan" (wujud dari pralambang tentang kehidupan bersama).
Melalui lakon itu, setidaknya ingin disampaikan pesan bahwa kehendak orisinal masyarakat menghidupkan sumber air mestinya secara titis dan penuh empati ditangkap penguasa agar aspirasi mereka memperjuangkan lingkungan yang lestari menjadi terwujud.
Para pemain wayang orang kemudian mengungkapkan kekompakan warga dan elite kekuasaan untuk gerakan penghijauan itu melalui yel-yel, "Holopis kuntul baris!"
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Terpopuler - Spektrum
Lihat Juga
Kisah Warung Makan Selera Jenderal di Demak, berawal dari celetukan pelanggan
31 October 2024 10:27 WIB