Mengintip Kontestasi Pilkada Jateng 2018
Rabu, 1 November 2017 19:49 WIB
Dosen komunikasi politik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang Suryanto, S.Sos., M.Si. (Foto: ANTARAJATENG.COM/dok. pribadi) (Foto: ANTARAJATENG.COM/dok. pribadi)
Tidak seperti di beberapa daerah lain, misalnya Jawa Barat dan Jawa Timur, yang sudah memiliki bakal calon gubernur, Jawa Tengah masih belum jelas siapa yang maju pada pemilihan kepala daerah serentak pada tahun 2018.
Publik pun meraba-raba siapa yang bakal maju dalam kontestasi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah 2018.
Jawa Barat, misalnya, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dan Deddy Mizwar yang masing-masing sudah diusung oleh beberapa parpol. Demikian pula, dengan Jawa Timur, nama Khofifah Indar Parawansa dan Syaifullah Yusuf masing-masing sudah mendapat dukungan dari beberapa parpol.
Untuk Jawa Tengah, memang sudah ada beberapa nama yang akan meramaikan Pigub Jateng 2018. Namun, belum ada yang mengerucut pada salah satu kandidat mana pun. Misalnya, dari Partai Gerindra, ada Ferry Juliantono dan Sudirman Said, semantara dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, selain petahana, muncul nama-nama, seperti Musthofa (Bupati Kudus), Wardoyo Wijaya (Bupati Sukoharjo), Sunarna (mantan Bupati Klaten), dan Lestariyono Loekito.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo memang memiliki peluang paling besar. Selain sangat dikenal publik Jateng, nama Ganjar sering disebut-sebut sebagai orang yang terlibat kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) dan sudah beberapa kali dipanggil kejaksaan untuk menjadi saksi sehingga menjadi pertaruhan yang harus dipertimbangkan secara matang.
Sebagaimana kita tahu bahwa untuk wilayah Jawa Tengah adalah sebagai basis terbesar PDI Perjuangan. Apabila sampai mengalami kekalahan pada pilkada mendatang, habislah kepercayaan publik Jateng terhadap partai berlambang banteng moncong putih tersebut.
Kekalahan PDI Perjuangan di Banten dan DKI Jakarta menjadi petunjuk partai ini tidak mampu menjaga aspirasi dan/atau "hajat hidup" wong cilik konstituennya. Koalisi partai-partai dibangun berdasar kepentingan politik sesaat, sifatnya sangat elitis dan tak membumi. Para elite terkesan tak berempati dengan kebutuhan/kehendak rakyat.
Kekalahan PDI Perjuangan pada pilkada di bebarapa daerah tentu menjadi pil pahit yang harus dievaluasi secara serius. Jika PDI Perjuangan tidak bisa belajar dari kekalahan pilkada di DKI Jakarta dan Banten, pada pilkada mendatang PDI Perjuangan akan terjungkal kembali menelan kekalahan. Untuk bisa mengambil pelajaran dari dua provinsi bersebelahan tersebut, setidaknya membutuhkan kemampuan untuk menganalisis faktor-faktor kekalahan di DKI dan Banten.
Isu SARA
Isu Partai Komunis Indonesia (PKI) dan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) yang diembuskan oleh lawan politik beberapa kali menimpa PDI Perjuangan, baik di tingkat pemilihan presiden pada tahun 2014 hingga pilkada pada tahun 2015.
Demikian pula, pilkada di DKI dan Banten pada tahun 2017 yang menimpa Ahok-Djarot di Jakarta dan Rano-Embay di Banten. Ahok-Djarot diserang isu SARA karena Ahok "triple" minoritas (keturunan Tionghoa, Kristen, dan pendatang dari Bangka Belitung) di DKI, sementara Rano dituding keturunan PKI.
Faktor isu bukanlah menjadi satu-satunya faktor kekalahan dua banteng tersebut. Akan tetapi, faktor ini memiliki pengaruh yang besar terhadap kekalahan tersebut.
Selain isu tersebut, ada beberapa faktor mengapa pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dari PDI Perjuangan kalah di pilkada DKI dan Banten, padahal di kedua provinsi tersebut cagubnya sebagai petahana.
Pertama, faktor mesin politik yang tidak bekerja efektif. Struktur partai dan sukarelawan bekerja tetapi tidak efektif mencapai target karena kinerja mesin tersebut bekerja dengan performa yang bersifat konvensional, sementara dinamika masyarakat sudah demikian pesat. Misalnya, sekadar memberikan bantuan material, tidak mengubah "mindset" pemilih.
Tidak gigihnya mesin politik karena kegagalan partai melakukan semacam transfer ideologi kepada struktur paling bawah dan struktur sukarelawan.
Kedua, faktor komunikasi politik cagub dan cawagub yang cenderung buruk dan menjadi beban mesin politik. Hal ini menyebabkan mesin politik tidak fokus mencapai target dukungan pemilih, tetapi sibuk melakukan pembelaan atau klarifikasi terhadap komunikasi politik cagub-cawagub.
Selain itu, komunikasi politik juga dilakukan tidak berbasis pada hasil riset sosiologis, yakni perilaku masyarakat dan budaya masyarakat setempat memiliki pakem-pakem budaya komunikasi tertentu yang sangat kultural dan natural.
Dalam konteks ini, PDI Perjuangan seharusnya mampu menegaskan diri sebagai "leading party" dan pendukung utama pemerintahan. Maka, saatnya partai ini menyokong pemerintah agar berkomitmen pada penegakan hukum dan keadilan.
Di samping itu, PDI Perjuangan harus menunjukkan kebersamaan dan empati terhadap umat Islam dan komunitas-komunitas. Mungkin dengan cara itu, PDI Perjuangan bisa meyakinkan kembali kepercayaan rakyat.
Ketiga, faktor tokoh yang dicalonkan. Logika politik "wong cilik" yang meniscayakan pemimpin organik partai berideologi nasionalis itu berasal dari aspirasi wong cilik struktur terendah partai, tidak dihiraukan elite PDI Perjuangan sehingga terjadi perbedaan antara keinginan wong cilik dan elite PDI Perjuangan dalam pencalonan gubernur dan wakil gubernur.
Kasus Jakarta dan Banten adalah fakta yang tidak bisa dibantah bagaimana perbedaan aspirasi itu begitu tajam antara DPD dan DPP. Dampaknya, mesin politik partai sampai tingkat yang paling bawah tidak nyambung (tidak memiliki political chemistry). Pada saat yang sama cagub dan cawagub gagal melakukan semacam counter opini terhadap image yang dicitrakan lawan politik karena kesulitan membangun citra dengan performanya sebagai petahana yang memiliki kinerja bagus.
Oleh karena itu, harus dipastikan calon yang diusung memiliki integritas yang bagus, tidak punya catatan merah, atau tak punya bermasalah dengan hukum dan tak melanggar etika/norma. PDI Perjuangan sebagaimana disebutkan oleh pengurusnya adalah partai ideologi dan nasionalis, PDI Perjuangan memang tidak menonjolkan citra, tetapi lebih pada kinerja.
*) Penulis adalah Staf Pengajar Komunikasi Politik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang.
Publik pun meraba-raba siapa yang bakal maju dalam kontestasi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah 2018.
Jawa Barat, misalnya, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dan Deddy Mizwar yang masing-masing sudah diusung oleh beberapa parpol. Demikian pula, dengan Jawa Timur, nama Khofifah Indar Parawansa dan Syaifullah Yusuf masing-masing sudah mendapat dukungan dari beberapa parpol.
Untuk Jawa Tengah, memang sudah ada beberapa nama yang akan meramaikan Pigub Jateng 2018. Namun, belum ada yang mengerucut pada salah satu kandidat mana pun. Misalnya, dari Partai Gerindra, ada Ferry Juliantono dan Sudirman Said, semantara dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, selain petahana, muncul nama-nama, seperti Musthofa (Bupati Kudus), Wardoyo Wijaya (Bupati Sukoharjo), Sunarna (mantan Bupati Klaten), dan Lestariyono Loekito.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo memang memiliki peluang paling besar. Selain sangat dikenal publik Jateng, nama Ganjar sering disebut-sebut sebagai orang yang terlibat kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) dan sudah beberapa kali dipanggil kejaksaan untuk menjadi saksi sehingga menjadi pertaruhan yang harus dipertimbangkan secara matang.
Sebagaimana kita tahu bahwa untuk wilayah Jawa Tengah adalah sebagai basis terbesar PDI Perjuangan. Apabila sampai mengalami kekalahan pada pilkada mendatang, habislah kepercayaan publik Jateng terhadap partai berlambang banteng moncong putih tersebut.
Kekalahan PDI Perjuangan di Banten dan DKI Jakarta menjadi petunjuk partai ini tidak mampu menjaga aspirasi dan/atau "hajat hidup" wong cilik konstituennya. Koalisi partai-partai dibangun berdasar kepentingan politik sesaat, sifatnya sangat elitis dan tak membumi. Para elite terkesan tak berempati dengan kebutuhan/kehendak rakyat.
Kekalahan PDI Perjuangan pada pilkada di bebarapa daerah tentu menjadi pil pahit yang harus dievaluasi secara serius. Jika PDI Perjuangan tidak bisa belajar dari kekalahan pilkada di DKI Jakarta dan Banten, pada pilkada mendatang PDI Perjuangan akan terjungkal kembali menelan kekalahan. Untuk bisa mengambil pelajaran dari dua provinsi bersebelahan tersebut, setidaknya membutuhkan kemampuan untuk menganalisis faktor-faktor kekalahan di DKI dan Banten.
Isu SARA
Isu Partai Komunis Indonesia (PKI) dan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) yang diembuskan oleh lawan politik beberapa kali menimpa PDI Perjuangan, baik di tingkat pemilihan presiden pada tahun 2014 hingga pilkada pada tahun 2015.
Demikian pula, pilkada di DKI dan Banten pada tahun 2017 yang menimpa Ahok-Djarot di Jakarta dan Rano-Embay di Banten. Ahok-Djarot diserang isu SARA karena Ahok "triple" minoritas (keturunan Tionghoa, Kristen, dan pendatang dari Bangka Belitung) di DKI, sementara Rano dituding keturunan PKI.
Faktor isu bukanlah menjadi satu-satunya faktor kekalahan dua banteng tersebut. Akan tetapi, faktor ini memiliki pengaruh yang besar terhadap kekalahan tersebut.
Selain isu tersebut, ada beberapa faktor mengapa pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dari PDI Perjuangan kalah di pilkada DKI dan Banten, padahal di kedua provinsi tersebut cagubnya sebagai petahana.
Pertama, faktor mesin politik yang tidak bekerja efektif. Struktur partai dan sukarelawan bekerja tetapi tidak efektif mencapai target karena kinerja mesin tersebut bekerja dengan performa yang bersifat konvensional, sementara dinamika masyarakat sudah demikian pesat. Misalnya, sekadar memberikan bantuan material, tidak mengubah "mindset" pemilih.
Tidak gigihnya mesin politik karena kegagalan partai melakukan semacam transfer ideologi kepada struktur paling bawah dan struktur sukarelawan.
Kedua, faktor komunikasi politik cagub dan cawagub yang cenderung buruk dan menjadi beban mesin politik. Hal ini menyebabkan mesin politik tidak fokus mencapai target dukungan pemilih, tetapi sibuk melakukan pembelaan atau klarifikasi terhadap komunikasi politik cagub-cawagub.
Selain itu, komunikasi politik juga dilakukan tidak berbasis pada hasil riset sosiologis, yakni perilaku masyarakat dan budaya masyarakat setempat memiliki pakem-pakem budaya komunikasi tertentu yang sangat kultural dan natural.
Dalam konteks ini, PDI Perjuangan seharusnya mampu menegaskan diri sebagai "leading party" dan pendukung utama pemerintahan. Maka, saatnya partai ini menyokong pemerintah agar berkomitmen pada penegakan hukum dan keadilan.
Di samping itu, PDI Perjuangan harus menunjukkan kebersamaan dan empati terhadap umat Islam dan komunitas-komunitas. Mungkin dengan cara itu, PDI Perjuangan bisa meyakinkan kembali kepercayaan rakyat.
Ketiga, faktor tokoh yang dicalonkan. Logika politik "wong cilik" yang meniscayakan pemimpin organik partai berideologi nasionalis itu berasal dari aspirasi wong cilik struktur terendah partai, tidak dihiraukan elite PDI Perjuangan sehingga terjadi perbedaan antara keinginan wong cilik dan elite PDI Perjuangan dalam pencalonan gubernur dan wakil gubernur.
Kasus Jakarta dan Banten adalah fakta yang tidak bisa dibantah bagaimana perbedaan aspirasi itu begitu tajam antara DPD dan DPP. Dampaknya, mesin politik partai sampai tingkat yang paling bawah tidak nyambung (tidak memiliki political chemistry). Pada saat yang sama cagub dan cawagub gagal melakukan semacam counter opini terhadap image yang dicitrakan lawan politik karena kesulitan membangun citra dengan performanya sebagai petahana yang memiliki kinerja bagus.
Oleh karena itu, harus dipastikan calon yang diusung memiliki integritas yang bagus, tidak punya catatan merah, atau tak punya bermasalah dengan hukum dan tak melanggar etika/norma. PDI Perjuangan sebagaimana disebutkan oleh pengurusnya adalah partai ideologi dan nasionalis, PDI Perjuangan memang tidak menonjolkan citra, tetapi lebih pada kinerja.
*) Penulis adalah Staf Pengajar Komunikasi Politik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang.
Pewarta : Suryanto, S.Sos., M.Si. *)
Editor :
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Dosen STIKOM: Paslon seyogianya tawarkan solusi dalam Debat Pilpres 2019
26 January 2019 7:25 WIB, 2019
Dosen STIKOM: Politik saling menjatuhkan turunkan tingkat partisipasi masyarakat
12 January 2019 11:36 WIB, 2019
Akademisi: Elite politik yang korupsi tidak memiliki rasa kebangsaan
02 January 2019 11:53 WIB, 2019
Akademisi: "Kecebong" dan "kampret" wajah buruk polarisasi politik Indonesia
27 December 2018 18:20 WIB, 2018
Terpopuler - Spektrum
Lihat Juga
Kisah Warung Makan Selera Jenderal di Demak, berawal dari celetukan pelanggan
31 October 2024 10:27 WIB