Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita satu unit mobil Toyota Land Cruiser milik tersangka anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Markus Nari (MN) dalam penyidikan kasus korupsi pengadaan paket penerapan paket penerapan KTP-e.

"Kemarin (Selasa, 7/5), KPK melakukan penyitaan terhadap satu unit mobil Toyota Land Cruiser warna hitam yang diduga merupakan milik tersangka MN dan dimasukkan sebagai salah satu barang bukti dalam perkara ini," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu.

Dalam penyidikan kasus itu, KPK pada Rabu juga memeriksa Sekjen DPR RI Indra Iskandar sebagai saksi untuk tersangka Markus Nari.

"Penyidik mengonfirmasi pengetahuan saksi terkait keanggotaan tersangka MN sebagai anggota DPR RI," ucap Febri.

Markus Nari telah ditetapkan sebagai tersangka dalam dua kasus terkait KTP-e.

Pertama, Markus Nari diduga dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-e) tahun 2011-2012 pada Kementerian Dalam Negeri dengan terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Selain itu, Markus Nari juga diduga dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan dugaan tindak pidana korupsi terhadap Miryam S Haryani dalam kasus indikasi memberikan keterangan tidak benar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada persidangan kasus KTP-e.

Atas perbuatannya tersebut, Markus Nari disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kedua, KPK juga menetapkan Markus Nari sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP-e) 2011-2013 pada Kemendagri.

Markus Nari disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.