Langkah itu menjadi salah satu upaya pemberdayaan ekonomi, terutama pelaku usaha kuliner setempat.
“Tujuannya untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat, khususnya pelaku usaha getuk di Kota Magelang,” kata Sekretaris Daerah Pemkot Magelang Joko Budiyono, beberapa waktu lalu.
Ia menegaskan usaha ekonomi pengusaha karya kuliner di Magelang harus terus maju dan berkembang, termasuk para pembuat getuk yang merupakan karya kuliner khas kota itu. Getuk, produk makanan dengan bahan baku singkong.
Kepala Bagian Humas Sekretariat Daerah Pemkot Magelang Ahmad Ludrin Idris mengemukakan perlunya perhatian yang baik atas produksi getuk, baik skala terbatas maupun besar.
Dinas Perdagangan dan Perindustrian Pemkot Magelang siap memberikan pembinaan dan pelatihan kepada para pelaku usaha kuliner, termasuk produsen getuk.
Mengutip historia.id, singkong (Manihot Utilisima) yang disebut juga sebagai ubi kayu atau ketela, berasal dari Amerika Selatan. Tanaman itu tumbuh liar di hutan-hutan. Portugis menyebarkan tanaman itu ke seluruh dunia melalui penjelajahannya pada masa lampau.
Haryono Rinardi dalam "Politik Singkong Zaman Kolonial" menyebut singkong masuk Indonesia dibawa Portugis ke Maluku pada abad ke-16. Tanaman ini dapat dipanen sesuai kebutuhan.
“Sifat itulah yang menyebabkan tanaman ubi kayu seringkali disebut sebagai gudang persediaan di bawah tanah," tulis dia.
Baca juga: Pemkot Magelang minta instansi sajikan getuk setiap acara
Butuh waktu lama singkong menyebar ke daerah lain, terutama ke Pulau Jawa. Diperkirakan singkong pertama kali diperkenalkan di suatu kabupaten di Jawa Timur pada 1852.
“Bupatinya sebagai seorang pegawai negeri harus memberikan contoh dan bertindak sebagai pelopor. Kalau tidak, rakyat tidak akan mempercayainya sama sekali," kata Pieter Creutzberg dan JTM van Laanen dalam "Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia".
Hingga 1876, sebagaimana dicatat H.J. van Swieten, kontrolir di Trenggalek, dalam "De zoete cassava (Jatropha Janipha)" yang terbit 1875, singkong kurang dikenal atau tidak ada sama sekali di beberapa bagian Pulau Jawa, akan tetapi ditanam secara besar-besaran di bagian lain.
“Bagaimana pun juga, singkong saat ini mempunyai arti yang lebih besar dalam susunan makanan penduduk dibandingkan dengan setengah abad yang lalu," katanya sebagaiman dikutip Creutzberg dan van Laanen.
Sampai sekitar 1875, konsumsi singkong di Jawa masih rendah. Baru pada permulaan abad ke-20, konsumsinya meningkat pesat, pembudidayaannya meluas, terlebih rakyat diminta memperluas tanaman singkong mereka.
Menurut Creutzberg dan van Laanen, meski nilai singkong sebagai makanan relatif kurang jika dibandingkan dengan beras atau jagung, ia menggantikan beras di berbagai bagian Jawa Tengah pada masa paceklik, sebelum panen, atau saat gagal panen.
Masa paceklik ini sebagaimana terjadi ketika Jepang menguasai Hindia Belanda (1942-1945), khususnya di Magelang. Pada masa itu, singkong menjadi bahan makanan alternatif masyarakat. Salah satu cara termudah pengolahannya dengan dibakar atau digodog, lalu dimakan apa adanya.
Tentu saja hal ini jika dilakukan secara terus menerus akan membosankan. Maka perlu dibuat menu variasi sebagaimana yang dilakukan Ali Mohtar alias Ali Gondok --karena memiliki gondok.
Ali Gondok berasal dari Kampung Karet, beberapa kilometer barat Pasar Rejowinangun Kota Magelang. Getuk buatan Ali Mohtar juga populer dengan nama Getuk Karet.
Getuk rasanya sudah tidak asing lagi bagi warga Magelang, tak sekadar sajian jajanan biasa. Makanan dari bahan dasar ketela atau ubi kayu ini sudah sedemikian populer sehingga menjadi salah satu ikon kuliner kota yang kala itu berjuluk "de Paradijs van Java" itu.
Olahan ini mengangkat singkong menjadi naik kelas, bukan lagi hanya menjadi milik golongan bawah tetapi naik strata untuk semua golongan. Bukan lagi hanya untuk menemani segelas teh atau kopi hangat.
Dahulu, zaman penjajahan Belanda, olahan singkong menjadi getuk dibuat dengan cara sederhana. Singkong terbaik yang mempur dikukus di atas "pawon" berbahan bakar kayu, lalu "dirunyahkan" dengan alu di dalam lumpang batu atau lumpang kayu hingga lembut, dipisahkan antara singkong dan "sontrot".
Tinggal kemudian sesuai keinginan, mau dibuat getuk putih, cokelat, atau ireng. Kalau ingin getuk putih saja, dibiarkan apa adanya. Jika ingin berwarna cokelat, diberi tambahan gula jawa. Jika ingin menjadi getuk ireng, tinggal dicampuri pewarna alami dibuat dari abu bakaran merang. Untuk menambah kenikmatan, bisa dimakan dengan parutan kelapa atau digoreng lagi. Getuk model ini berbetuk bulat pipih berdiameter sekitar tujuh centimeter.
Dalam perkembangan zaman, getuk berkembang dengan beragam varian. Misalnya, getuk lindri, getuk karet, atau getuk yang diproses dengan mesin, seperti Getuk Eco, Trio, Tiga Warna, Marem, dan lain-lain.
Bahkan Getuk Trio pada 1960 menjadi menu sajian untuk Ratu Sirikit dari Thailand saat berkunjung ke Akademi Militer. Oleh karenanya, Getuk Trio yang usahanya berdiri sejak 1958, lebih kondang dengan sebutan Getuk Sirikit.
Di Pasar Rejowinangun akan ditemui beberapa penjual getuk karet di beberapa penjuru pasar. Disajikan di etalase dengan aneka warna-warni bak pelangi untuk memikat para calon pembeli. Bahkan, makin komplit dengan adanya ongol-ongol dan kelepon.
Di sisi lain, getuk modern merambah toko-toko oleh-oleh di berbagai penjuru kota. Bahkan, ada juga yang dikirim ke luar kota.
Untuk memenuhi kebutuhan singkong, para produsen getuk di kota itu mendapat suplai dari wilayah Kabupaten Magelang. Hal ini mengingat keterbatasan lahan dan hasil produksi dari dalam Kota Magelang.
Buku "Memperkenalkan Kabupaten Magelang" edisi 1970, mencatat pada 1968 luas lahan singkong di Kabupaten Magelang 1.099 hektare dengan jumlah produksi 10.990 ton.
Grebeg Getuk
Sejak beberapa tahun terakhir, bertepatan dengan hari jadi Kota Magelang, pemerintah kota setempat dengan dukungan beberapa kalangan di daerah itu dan sekitarnya menggelar Grebeg Getuk di alun-alun setempat.
Gelaran budaya yang menghadirkan massa di pusat Kota Magelang itu sebagai upaya mengangkat getuk dalam khazanah kebudayaan di daerah itu.
Getuk diwujudkan dalam bentuk gunungan kakung dan putri sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rezeki bagi Magelang. Puncaknya, getuk diperebutkan atau digerebek oleh masyarakat.
Baca juga: Gerebek Getuk Kota Magelang jadi daya tarik wisatawan
Ada yang mengatakan bahwa getuk berasal dari ungkapan “digeget karo manthuk-manthuk” yang artinya dinikmati sambil mengangguk-anggukkan kepala saking enaknya kala dipadukan dengan segelas minuman hangat.
Tak hanya itu, nama getuk dipercaya berkaitan dengan nama Magelang. Getuk dalam penyebutan Jawa sebagai “gethuk” dipercaya berasal dari kata “gelang kang gathuk”. Gelang berbentuk lingkaran dengan lubang di tengahnya, sedangkan getuk yang dimaksud berbentuk bulat pipih tetapi bagian tengahnya tidak berlubang, yang disebut “gelang kang gathuk”. "Gathuk" artinya bertemu.
Hal ini selaras dengan kata “Magelang” yang konon berasal dari “mahagelang”, merujuk kondisi geografis wilayah Magelang yang dikelilingi beberapa gunung, yaitu Merbabu, Merapi, Menoreh, Sumbing, Telomoyo, dan Andong. Jikalau dilihat dari atas, rangkaian gunung-gunung ini membentuk gelang raksasa.
Di sisi lain, konon, kata “getuk” atau “gethuk” berasal dari kata “ndang age-age kepethuk”, artinya segera dipertemukan atau dikabulkan. Suatu ungkapan doa dan pengharapan yang disimbolkan melalui olahan makanan berbahan baku singkong ini.
Oleh karena itu, getuk bukan sekadar sajian kuliner, bukan pula hanya untuk memenuhi hasrat lidah pengecapnya, bukan juga untuk “nyenengke pangrasa” (membuat perasaan hati seneng), bukan cuma ikon kuliner Magelang semata. Getuk juga simbol doa dan pengharapan manusia kepada Tuhan.
Tentunya, getuk kebanggaan warga Kota Magelang.
*) Bagus Priyana, Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang
Baca juga: 16 Perwakilan Negara Sahabat Hadiri "Gerebeg Getuk"
Baca juga: 1.180 Getuk Kemasan Meriahkan "Grebek Gethuk" Magelang