Magelang (ANTARA) - Kakak beradik berbincang melalui layanan percakapan media sosial soal munculnya tonggeret (Cicadidae) selama beberapa hari terakhir ini.

Sang kakak tetap tinggal di Tangerang, Provinsi Banten, karena terkena zona risiko virus corona baru (COVID-19), sedangkan si adik di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, juga tidak jauh beda terhadap ancaman virus itu.

Keduanya yang kini berumur antara 40-50 tahun itu, sama-sama terbawa ingatan masa kecil tentang binatang yang mereka sebut sebagai garengpung dengan suara riuh dan khas di pepohonan di kampung halamannya. Kampung halaman mereka di kawasan Sleman barat, hingga saat ini masih cukup lumayan banyak pepohonan rindang.

Baca juga: 10 pasien COVID-19 di Semarang dinyatakan sembuh
Baca juga: Pemprov Jateng dorong zakat dibayarkan awal Ramadhan untuk tangani COVID-19

Di sejumlah grup percakapan lainnya, mereka bertutur tentang keadaan sekitar masing-masing tempat tinggal dengan riuhnya suara tonggeret.

Mereka yang tinggal di perdesaan dengan banyak pepohonan rindang, menyampaikan kabar kalau suara garengpung sudah ramai sejak sekitar dua minggu terakhir, ketika tidak lagi turun hujan secara intensif.

Lainnya, yang tinggal di perkotaan dengan minim pepohonan, menimpali dengan bertutur masa kecil masing-masing soal tonggeret, ketika masih tinggal di desa masing-masing.

Begitu juga sejumlah personel kelompok seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sejak beberapa hari terakhir saling mengirim kabar tentang munculnya serangga yang selama ini mereka ketahui menjadi penanda alam, perubahan musim baik dari hujan ke kemarau maupun sebaliknya.

Seorang koreografer tari yang tinggal di Purworejo, Jawa Tengah, yang tergabung dalam komunitas itu, Nungki Nur Cahyani, dan penari yang tinggal di kawasan Gunung Tidar, Kota Magelang, Lyra de Blauw, masing-masing juga mengabarkan suara garengpung atau tonggeret di dekat tempat tinggal masing-masing.

Berbagai sebutan muncul untuk binatang itu sesuai dengan desa masing-masing, seperti tonggeret, tongkeret, dongkeret, garengpung, oyer-oyer, ote-ote, njengeret, dan iweng-iweng.

Untuk saling mengklarifikasi, sejumlah mereka mengirim rekaman audio tentang suara satwa itu dengan video berupa pepohonan rindang yang melatari bunyi tersebut.

"Ini di depan rumah saya," begitu Wakil Ketua Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Haris Kertorahardjo ketika menuliskan keterangan unggahan videonya di grup percakapan tertutup medsos komunitas, tentang suara tonggeret yang bersumber dari pohon rindang di depan rumahnya. Penyair Haris Kertorahardjo (Lie Thian Hauw) yang tinggal di kawasan elite di Kota Magelang itu, adalah salah satu murid penyair Indonesia W.S. Rendra (1935-2009).

Dalam perjalanan ke Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, salah satu basis komunitas itu, budayawan Sutanto Mendut menghentikan laju mobilnya untuk merekam suara tonggeret bersumber dari pepohonan rindang di penggalan jalan desa beraspal di kawasan Gunung Merbabu.

Begitu juga rekaman suara tonggeret dengan suasana pepohonan di tempat tinggalnya di Studio Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, sekitar 100 meter timur Candi Mendut, diunggahnya di grup percakapan komunitas yang dibangun sejak lebih dari 20 tahun terakhir ini.

Ingatannya juga terhenti pada peristiwa 1983, ketika bersama sejumlah seniman mementaskan karya musik konkret di Gedung Senisono (sekarang menjadi bagian dari Gedung Negara di kawasan Titik Nol Yogyakarta) yang bersumber dari rekaman tongkeret.

Ia sebut suara tongkeret sebagai ramai dari akustik sayapnya. Binatang itu disebutnya sebagai unikum isi alam dan misterius, dengan kemunculan menjelang akhir musim hujan.

"Di Meguwo (Kota Yogyakarta) pagi ini (8/4) terdengar bunyi garenpung," kata warga setempat, Sulistyo Adventiyas, yang kakak perempuannya itu, Sulistyo Rini, tinggal di Tangereng.

Sang kakak mengingatkan adiknya kalau suara binatang itu mulai terdengar, menjadi penanda pergantian musim, yang saat ini akan berganti dari musim hujan ke kemarau. Sejumlah warga Dusun Nogosari, Desa Sidokarto, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, berjemur di jalan kampung yang diportal dengan papan terkait pencegahan penyebaran COVID-19. (ANTARA/HO-Dokumen warga)
Pimpinan Padepokan Warga Budaya Gejayan, Desa Banyusidi, Kabupaten Magelang, yang juga salah satu petinggi Komunitas Lima Gunung Riyadi menyebut saat ini, dalam titimangsa kejawen, hampir masuk "mangsa kesepuluh" (masa ke-10) di mana biasanya petani setempat mulai menanam tembakau, di samping komoditas hortikultura lainnya, terutama lombok.

Pembincangan dalam sejumlah grup layanan percakapan tentang suara tonggeret dari masing-masing tempat mereka berada itu, terkesan meminggirkan berbagai seliweran kabar terkait dengan virus corona baru (COVID-19) yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai pandemi global.

Soal tanda-tanda alam tentang perubahan musim, sebagai kalender waktu yang memang terjadi setiap tahun. Mungkin banyak orang melewatkan begitu saja tanda-tanda itu, tanpa penghentian waktu sejenak untuk penjelajahan kepentingannya.

Namun, tahun ini kehadiran orkestra tonggeret menjadi berarti karena publik mencantelkan pengetahuan bahwa kemarau sebagai hadirnya bantuan alam berupa panas Matahari untuk membantu menghentikan serangan virus yang telah memakan banyak korban dan bermultidampak terhadap kehidupan sehari-hari.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, sekitar pertengahan Maret lalu mengumumkan prakiraan awal musim kemarau tahun ini terjadi mulai April, sedangkan puncaknya di sebagian besar daerah zona musim terjadi pada Agustus 2020.

Para ahli mendebatkan pengaruh iklim, di mana di dalamnya terkait juga dengan musim kemarau yang bakal tiba, terhadap meredanya pandemi COVID-19.

Ahli epidemiologi dari Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatera Barat, Defriman Djafri Ph.D, mengatakan butuh kajian mendalam terkait dengan korelasi perkembangan COVID-19 dengan iklim di suatu wilayah.

Kalangan para ahli kesehatan juga menyampaikan tentang manfaat sinar Matahari bagi peningkatan daya tahan tubuh manusia. Soal sinar Matahari pada rentang waktu jam berapa, hal itu pun menjadi konten perbincangan yang mengemuka.

Akan tetapi, publik juga terlihat memiliki pengetahuan bahwa daya tahan tubuh manusia yang prima menjadi salah satu benteng penting dalam menangkal paparan virus corona baru itu.

Oleh karenanya, musim kemarau menjadi waktu yang ditunggu karena orang akan memperoleh peningkatan daya tahan tubuhnya dari sumber alam, melalui terpaan sinar Matahari yang lebih banyak, terlebih guna menghadapi pandemi.

Tatkala masih berselimut pandemi virus corona baru, di beberapa tempat akhir-akhir ini orang-orang saling berkabar mengenai aktivitas mereka yang dalam kebiasaan Jawa dikenal sebagai "dhedhe", "kekaring", atau berjemur di dekat rumah masing-masing.

Mereka membiarkan tubuhnya diterpa sinar Matahari pagi, meski saat ini masih pancaroba.

Seakan-akan, mereka berjemur sambil menikmati orkestra tonggeret dari panggung alamnya di pepohonan rindang, yang sedang mengunduh aplikasi harapan bersama untuk terlepas dari gantungan masalah bersama pandemi COVID-19.

Baca juga: Kampanyekan penggunaan masker, Ganjar imbau warga membuat sendiri jika kesulitan
Baca juga: Kata pasien sembuh COVID-19, jangan panik