Magelang (ANTARA) - Film pendek, "Daya", dengan sutradara Annisa Hertami nampak hendak mengirim pesan secara nyaris penuh kepada publik, tentang bagaimana setiap orang melewati pandemi COVID-19 secara monumental dan bermakna.

Salah satu puncak konflik dalam cerita di film berlatar belakang lokasi Kota Yogyakarta itu, ketika Daya (Sekar Sari) menemukan catatan medis Adi (Denta Aditya) yang reaktif berdasarkan tes cepat.

Dalam film pendek karya perdana sutradara dan artis muda yang sering hadir dalam acara penting seni dan budaya Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu, diceritakan bahwa Daya sudah selesai kuliah sarjana strata 1,  menjadi penari, dan harus menjaga ibunya (Watie Wibowo) yang sakit.

Baca juga: Pentingnya kesadaran diri yang tinggi saat pandemi

Sedangkan Adi yang berasal dari luar daerah itu, seorang fotografer yang datang lagi ke Yogyakarta untuk mencari pekerjaan di kota tersebut di tengah pandemi dan supaya bisa dekat lagi dengan Daya.

"Kamu, bahayain aku sama ibu," demikian Daya dengan muka tegas kepada kekasihnya, Adi, saat mereka rehat dalam perjalanan pemotretan di situs Keraton Mataram Kuno di Kota Gede, Yogyakarta untuk rencana perayaan ulang tahun ibunya Daya.

Terasa di babak berikutnya, suasana runtuh kepercayaan dan musnahnya bungah sepasang pemeluk kasmaran itu dikisahkan, karena kecepatan salah paham menyergap mereka.

Status reaktif virus hendak disuguhkan kepada penonton tentang betapa bahaya penularan COVID-19, terlebih kepada mereka yang komorbid sebagaimana disandang ibunya Daya. Dalam beberapa adegan, Daya rajin menyemprot penyanitasi tangan.

Penjelasan melalui surel Adi soal hasil tes usapnya yang negatif kepada Daya, serasa tak mampu mengangkat kembali bungah mereka dalam segmen lanjutan film dengan produser Yetti Martanti dan penulis naskah Nikita Yulia Rosalini itu. Penggalan musik dipasang melatari adegan itu, seakan makin membenamkan mereka dalam lara.

Kisah dalam film produksi 2020 dengan biaya dari Dana Keistimewaan Yogyakarta itu, selanjutnya menggambarkan suasana bernuansa keluar dari alur penceritaan konflik.

Setidaknya, mimik semringah Daya memperlihatkannya, saat ia bercerita kepada ibunya yang masa lampaunya tak mampu menembus cita-cita menjadi pemandu wisata, tentang foto-foto suasana kekinian objek wisata di Yogyakarta, dalam adaptasi kebiasaan baru di tengah pandemi virus corona jenis baru itu.

Kehadiran tiba-tiba Adi dengan bermasker di rumah Daya bergaya bangunan masa lampau, sambil membawa kue ulang tahun berlilin menyala untuk ibunya Daya, membuat bungah hingga mengepung nurani hendak disuguhkan kepada penonton.

Banjir senyuman bungah Daya dan Adi tak terbendung, direpresentasi mereka pacaran berboncengan sepeda motor dengan sebelumnya ditabur kabar Daya diterima melanjutkan kuliah sarjana strata 2. Lagu tema berjudul "Petualang" dinyanyikan Langit Sore mengiring suasana mereka.

Dalam film berdurasi 22.05 menit yang bisa disimak di kanal Youtube itu, pesan tentang penerapan protokol kesehatan disajikan secara kuat hampir di semua adegan, antara lain pemakaian masker, mencuci tangan, penggunaan penyanitasi tangan, dan nirkerumuman.


  Tangkapan layar - Salah satu adegan film pendek "Daya", karya sutradara muda Annisa Hertami. (ANTARA/Hari Atmoko)

Berbagai pesan moral juga dilekatkan melalui sejumlah dialog para pemain, antara lain menyangkut kepedulian, sopan santun, ramah-tamah, hormat kepada orang tua, kebaikan budi, kesabaran menghadapi kondisi, kasih sayang, serta keseimbangan antara sikap kukuh dan lentur hati.

Suasana kebatinan Yogyakarta yang tanpa berisik, dihadirkan dalam film "Daya". Kalau toh ada gambaran arus lalu lintas atau lalu lalang orang di pusat kota, seperti Tugu Yogya, Malioboro, Pasar Beringharjo, atau Titik Nol Yogyakarta, terasa hal itu tak seberapa menonjol, bahkan kental hendak menyatakan slogan kota "Berhati Nyaman".

"Hampir semua sudut kota semakin tertata dengan baik. Yogya berhati nyaman," guman Adi dalam adegan memotret suasana kota itu.

Keragaman pesan nilai melalui film itu, barangkali memang lebih mudah ditangkap dan meresap dalam suasana hati tenang, reflektif, dan terbebas terlebih dahulu dari berisik lingkungan, jagat riil maupun dunia virtual, dan kecenderungan rasa bergegas. Belum lagi, tatanan alunan musik latarnya yang kiranya pas mendukung pesan itu ditangkap.

Suasana yang dibangun film "Daya", seakan mengajak orang banyak menghindari kerumunan --salah satu penyebab riskan penularan virus-- atau melakukan "tapa ngrame" (bertapa di tengah riuh) di tengah banjir bandang segala macam berita dan keramaian unggahan informasi viral di media sosial.

Baca juga: Pandemi tranformasikan wadak ke batin Komunitas Lima Gunung

Memang terkesan tak lugas hal-hal tentang pencegahan penularan virus disampaikan melalui tuturan, kecuali pemakaian properti protokol kesehatan. Tetapi, pesan bernilai bagi hidup manusia di tengah pandemi, serasa kuat disuguhkan dalam hampir semua adegan.

Kiranya bisa dikatakan secara tak muluk-muluk, bahwa film tersebut bukan sekadar salah satu wujud para seniman dan pegiat dunia tontonan tetap berkarya di tengah kesulitan dampak pandemi.

Lebih berkedalaman dari itu kiranya, film "Daya" menghadirkan makna penting kehidupan manusia secara personal dan bersama tentang hal ihwal daya insani di tengah pandemi.

Menghadapi tantangan pandemi tak bisa dikerjakan seorang diri atau sepihak. Pandemi mesti dihadapi dalam kebersamaan masyarakat dengan basis nilai-nilai luhur kebudayaan. Pandemi semestinya meluruhkan ego manusia dan kelompok untuk untung dan menang sendiri.

Soal-soal seperti saling menghormati, tepa selira, disiplin, welas asih, wawas diri, peduli, dan ulet, menjadi wajah semangat bareng-bareng yang tak dimungkiri, menjadi bagian dari budaya tangguh bangsa secara turun-temurun.

Selama berabad-abad, dikatakan Presiden Joko Widodo saat membuka Pekan Kebudayaan Nasional 2020, beberapa waktu lalu, nenek moyang bangsa berusaha bersahabat dengan semua tantangan hidup, termasuk dengan membangun kebudayaan dan nilai-nilai keutamaan.

Warisan nilai-nilai keutamaan budaya itu, diharapkan menjadi daya batin yang ampuh bagi bangsa untuk menghadapi tantangan pandemi.

Oleh karenanya, tak elok kiranya kalau di tengah keprihatinan bersama melewati pandemi, justru muncul berisik ujaran dan kerumunan yang mencederai nilai-nilai mulia serta solidaritas kemanusiaan di balik segala item wadak protokol kesehatan.

Tak elok pula, kalau malah bertindak korupsi atau melanggar hukum dan norma-norma lainnya. Itu memperkeruh ancaman bahaya virus, menebalkan halaman sibuk mengatasi COVID-19, dan menambah lelah penanganan pandemi.

Kecuali untuk mereka yang sengaja mencatatkan nilai buruk tingkah dan rupa di tengah kesulitan mereka lainnya yang memperkuat semangat bersama-sama melewati pandemi dengan selamat dan bermakna.

Melewati pandemi, butuh daya dukung penuh. Perilaku tak elok di tengah kesulitan bersama, bukankah itu catatan memalukan masa depan?

Baca juga: "Tapak Jaran Sembrani" kirim efikasi budaya hadapi pandemi