Semarang (ANTARA) - Pakar hukum Universitas Borobudur (Unbor) Jakarta Faisal Santiago memandang perlu merevisi peraturan perundang-undangan mengenai kesehatan yang disharmoni dan tidak efektif implementasinya dengan metode omnibus law, seperti halnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

"Perlu kajian mendalam pasal mana saja di antara undang-undang yang terkait dengan kesehatan masyarakat, seperti UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, dan UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang perlu direvisi," kata Prof. Dr. H. Faisal Santiago, S.H., M.H. menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Senin pagi.

Selain itu, kata Prof. Faisal, perlu pula mengkaji pasal-pasal yang berimbas pada beban biaya tinggi bagi Negara karena terdapat sejumlah pasal yang mengamanatkan kepada pemerintah pusat untuk menanggung kebutuhan hidup selama karantina, baik di rumah maupun wilayah.

Baca juga: Istana jelaskan soal koreksi Pasal 46 UU Ciptaker

Ia lantas menyebutkan sejumlah pasal dalam UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yakni Pasal 52 menyatakan selama penyelenggaraan karantina rumah, kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan ternak yang berada dalam karantina rumah menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

Selanjutnya, dalam Pasal 55 disebutkan bahwa selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

Kendati pemerintah pusat menjalankan perintah undang-undang itu melibatkan pula pemerintah daerah dan pihak yang terkait, kata Prof. Faisal, apakah UU ini sudah berjalan efektif pada masa pandemi COVID-19.

Belum lagi, lanjut dia, kebutuhan hidup dasar seluruh orang yang berada di rumah sakit selama dalam tindakan karantina rumah sakit (Pasal 58) yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.

"Jika tidak efektif dalam pelaksanaannya, sebaiknya pasal-pasal dalam UU Kekarantinaan Kesehatan, UU Wabah Penyakit Menular, dan UU Kesehatan direvisi melalui metode omnibus law," kata Ketua Prodi Doktor Hukum Unbor Prof. Faisal Santiago.

Baca juga: AJI: Omnibus Law rugikan pekerja serta ancam demokratisasi penyiaran
Baca juga: Undip dorong kampus buka posko pengaduan UU Cipta Kerja