Perjuangan Yohana bujuk anak rimba bersekolah
Sabtu, 11 September 2021 13:59 WIB
Anak rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) yang didampingi KKi Warsi saat mempersiapkan anak rimba untuk bersekolah. ANTARA/HO/warsi
Jambi (ANTARA) - Pagi 30 Agustus lalu, jadi hari bersejarah bagi 15 anak rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) di kawasan Terap, Kabupaten Batanghari, Jambi mengenakan pakaian sekolah baru dan tas di punggung pergi ke sekolah.
Di hari bersejarah itu, sebagian orang tua anak rimba turut mengantar ke sekolah, tidak ketinggalan juga Tumenggung Ngelembo bersama Yohana dan anak rimba yang berpakaian sekolah rapi menuju SD Wana Perintis tempat asa baru akan dilabuhkan.
Yohana (23) adalah pendamping orang rimba di kawasan Sungai Terap menjadi salah satu pejuang yang berhasil membujuk orang rimba atau SAD untuk mau menyekolahkan anak mereka ke sekolah umum.
Terap merupakan kelompok orang rimba yang kini tinggal di kawasan perkebunan karet HTI milik PT Wana Perintis.
Mengevaluasi dan berdiskusi dengan kader pendidikan di Terap soal kelangsungan pendidikan. Juga memastikan anak rimba peserta didik memahami konsep berbangsa dan bernegara, ditandai dengan ikut merayakan kemeriahan perayaan Kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus lalu.
Selama pandemi COVID-19, sistem sekolah berubah jadinya anak tidak ke sekolah, itulah tugas Yohana untuk memastikan mereka tetap belajar berpedoman pada buku panduan dan berlatih dengan soal-soal.
Yohana yang merupakan pendamping SAD dari Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, lembaga tempatnya mengabdi sejak tiga tahun ini terus melobi Tumenggung Ngelembo.
Akhirnya Yohana mendapatkan kepastian penting yang ingin disampaikan Tumenggung bahwa mereka menyetujui anak rimba bersekolah ke sekolah umum.
"Bebet, bebudak iyoi ndok sekolah, tulunglah mika bantu untuk urusko sekolahnye. Bisuk bewolah budak iyoi beli keperluan sekolahnye (Kawan, anak-anak ini mau sekolah, tolong kamu bantu menguruskan sekolahnya. Besok bawalah anak-anak ini berbelanja keperluan sekolahnya)," kata Tumenggung Ngelembo (54).
Setelah mengiyakan permintaan Tumenggung dan mengecek kesiapan rerayo alias orang tua mengizinkan anak-anak yang akan bersekolah.
Yohana kemudian bergegas ke Terap, lokasi orang rimba di perkebunan Hutan Tanaman Industri PT Wana Perintis yang secara administrasi masuk ke Desa Jelutih Kecamatan Bathin XXIV Kabupaten Batanghari.
Butuh waktu enam jam perjalanan darat dari Kota Jambi menuju lokasi ini, karena akses yang paling memungkinkan harus melalui Kecamatan Pauh Kabupaten Sarolangun.
Yohana mengabaikan rasa lelah di tubuhnya dan menunda membuat laporan. Sekolah bagi anak Terap adalah sejarah. Permintaan dari Tumenggung adalah harapan besar yang tidak boleh di sia-siakan dan ditunda.
Ketika pada 1998 KKI Warsi mengenalkan pendidikan ke orang rimba, kelompok Terap awalnya sangat menolak. Ketika satu persatu kelompok orang rimba mengikuti pendidikan, alternatif dengan mata pelajaran membaca, menulis dan berhitung, kelompok Terap masih menolak.
Kelompok ini didampingi Warsi untuk layanan kesehatan, pengakuan ruang hidup dan pengembangan ekonomi. Pola pengajaran yang dikembangkan dengan sangat fleksibel tetap tidak mendapatkan izin dari Tumenggung, pemimpin tertinggi di kelompok.
Di kelompok yang ikut pendidikan, sudah disepakati sekolah akan berlangsung tanpa batas waktu, selagi muridnya semangat belajar guru rimba akan selalu bersama mereka. Tempatnya juga suka-suka di bawah pohon, di pinggir sungai atau di ladang. Kapan anak rimba minta diajari, di situ gurunya membuka kelas.
Dari pendidikan ini, tahun 2004, sudah mulai anak-anak rimba masuk ke sekolah formal untuk menjawab berbagai keinginan mereka yang rupanya memiliki beragam cita-cita. Ada yang ingin menjadi guru, tentara, bahkan ada yang ingin jadi camat.
Pendidikan menjadi kebutuhan di banyak kelompok Orang Rimba. Sekolah alternatif di dalam rimba berlangsung, seiring dengan sekolah formal untuk anak yang dianggap sudah mampu baca tulis dan berhitung tetapi masih ingin melanjutkan sekolah ke jenjang formal.
Semangat Orang Rimba untuk sekolah makin meningkat. Makin banyak yang ikut pendidikan walau kemudian banyak juga yang tidak sanggup mengikuti sistem pendidikan formal dan berhenti di tengah jalan. Tapi program menuntaskan buta aksara di Orang Rimba terus diupayakan.
Ubah penolakan secara perlahan
Hanya kelompok Terap yang masih menolak sampai 2008. Adalah Ngelembo, anak muda kelompok Terap, yang awalnya datang ke fasilitator Warsi untuk diajar baca tulis. Namun dia meminta diajarkan diam-diam karena takut dimarahi dan melanggar perintah Tumenggung.
Namun, Warsi tetap mengupayakan agar dia berani terbuka. Akhirnya fasilitator Warsi di sana, Jusia Hari Abdi, mengajak Temenggung Ngelembo membicarakannya. Jadinya sejak itu, kelompok Terap menerima pendidikan, tetapi hanya untuk rerayo, atau lelaki rimba yang sudah menikah sedangkan anak-anak dilarang apalagi perempuan.
Seiring waktu, sekitar 2010, anak laki-laki diperbolehkan Tumenggung mengikuti pendidikan. Tetapi hanya boleh di rimba, di pemukiman Orang Rimba, dan tidak ada pendidikan ke sekolah formal.
Fasilitator pendidikan Warsi tinggal bersama Orang Rimba mengenalkan huruf dan angka.
Sejak 2017 sudah ada anak rimba yang memiliki kemampuan untuk menjadi 'guru' yang oleh Warsi disebut kader pendidikan, bagi anggota kelompoknya dan dialah Besiap Bungo yang terpilih sebagai kader dengan tugas mengajar anak-anak anggota kelompoknya.
Tentulah Besiap tidak memiliki sertifikat guru. Keterpilihannya karena kecerdasan dan kemampuannya untuk mengajarkan kembali pada anggota kelompoknya sesuai modul pembelajaran. Tahun berlalu. Ngelembo dewasa kemudian mendapatkan amanah untuk menjadi Tumenggung awal 2021.
Pendidikan mengalami perubahan. Ngelembo sangat ingin anaknya sekolah formal. Mengikuti pendidikan yang ada kompetensinya dan berijazah untuk masa depan anak rimba.
Apalagi sejak 2018 lalu orang rimba ini sudah memulai pertanian terpola dengan menjalin Kemitraan Kehutanan dengan PT Wana Perintis, perusahaan HTI karet yang sebagian lahannya merupakan ruang jelajah orang rimba.
Mengurai konflik lahan dengan semangat pemberdayaan orang rimba, difasilitasi oleh pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Sosial, PT Wana Perintis tercatat sebagai perusahaan perdana di Provinsi Jambi yang bermitra dengan Orang Rimba.
Jadilah Orang Rimba mengelola 114 ha kebun karet di areal perusahaan, yang sangat membantu ekonomi kelompok ini. Pun hubungan yang makin baik dengan perusahaan dan membuat Orang Rimba makin terbuka dan berinteraksi intensif dengan orang-orang di perusahaan.
Anak rimba pun makin banyak yang belajar. Dipusatkan di kantor lapangan Warsi yang di bangun di dalam areal kemitraan orang rimba dengan perusahaan tentu setelah mendapat izin dari orang rimba dan perusahaan.
Bangunan dari kayu dengan ukuran 6x7 meter berlantai dua. Disinilah anak-anak belajar. Besiap kadang mengajar di kantor ini, ketika Fasilitator Warsi sedang ke Jambi. Kalau sama-sama di lokasi Besiap mengajar di dekat rumahnya sedangkan guru Warsi yang di kantor lapangan atau di mana tempat banyak anak rimba berkumpul.
Sebagai gambaran pemukiman orang rimba berpencar dalam kebun karet itu. Pesebaran mereka meliputi areal yang cukup jauh, bisa dengan jarak tempuh 2-4 KM. Balai Taman Nasional Bukit Duabelas, sebagai pengelola kawasan hutan di bagian atas Wana Perintis, juga tergerak untuk melakukan pemberdayaan.
Untuk kelompok Terap ini balai taman juga menghadirkan guru honor yang berkunjung ke kelompok dalam periode waktu tertentu sejak 2019. Dengan perkembangan murid yang terus bertambah, dan ada kebutuhan untuk membantu karyawan yang juga punya anak usia sekolah, perusahaan berinisiatif membangun sekolah.
Melalui Yayasan Sumadi, pemilik kebun di areal PT Wana Perintis, sekolah dasar di perusahaan itu dibuka. Sekolah resmi beroperasi sejak Agustus 2021, dengan sistem sekolah kelas jauh dengan induk SD Sekolah Negeri Lubuk Kepayang, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun.
Saat ini sekolah ini masih berupaya memenuhi semua persyaratan legal untuk operasional sekolah. Perjuangan panjang inilah yang membuat Yohana bergegas ke Terap dan pada 29 Agustus 2021 lalu akhirnya sekolah resmi beroperasi.
Tumenggung sudah mengizinkan. Namun izin dari masing-masing orang tua harus didapatkan. Adat Orang Rimba, terlarang membawa anak-anak mereka tanpa izin, apalagi ke kota dan dalam situasi COVID-19.
Satu persatu izin didapatkan. Kecuali dari induk (ibu) Jaba Sanggul dan Merila Sanggul. Saat Yohana datang induk Jaba Sanggul dan Merila Sanggul menolak anaknya di bawa ke Sarolangun, alasannya takut kena penyakit.
Bagi Orang Rimba daerah di luar mereka adalah penyakit. Maka mereka menghindari untuk keluar dari pemukiman mereka apalagi pergi ke kota.
Yohana memastikan apakah larangan itu hanya untuk turut ke kota membeli seragam atau larangan untuk sekolah namun larangan itu hanya untuk turut ke Sarolangun, tetapi sekolah tetap diizinkan.
Kesepakatan didapat. Yohana keluar mobil memastikan toko yang dituju menjual perlengkapan sekolah. Setelah itu barulah separo anak diturunkan dari mobil, tidak lupa disemprot hand sanitizer sebelum masuk toko.
Dipaskan baju dan sepatu. Pilih yang disukai, lalu kembali ke mobil. Sebelum masuk mobil kembali di semprot hand sanitizer. Selanjutnya, giliran anak lainnya anak lainnya dikeluarkan dari mobil dan semua dapat giliran.
30 Agustus 2021, pagi menjadi hari bersejarah. Sebanyak 15 anak rimba sudah rapi mengenakan pakaian baru dan tas di punggung. Itulah hari perdana sekolah.
Mobil perusahaan yang dijanjikan untuk antar-jemput juga sudah menunggu. Di hari yang bersejarah itu, sebagian orang tua turut mengantar ke sekolah.
Di sekolah dengan bangunan baru untuk tiga ruang kelas itu anak-anak rimba disambut oleh Deki Putra, kepala sekolah, bersama sejumlah guru. Serah terima murid-murid itu pun dilangsungkan.
Sebelum meninggalkan sekolah Yohana dan Tumenggung kembali meminta kepada pihak sekolah anak-anak rimba diajari pengetahuan umum.
Hari itu, anak-anak rimba senang dan ceria mengikuti perkenalan di sekolah. Mereka semua di tempatkan di kelas 1, walau secara umur anak-anak ini diperkirakan rentang usianya 7-15 tahun.
Ada juga beberapa yang sudah memiliki kecakapan baca tulis dan hitung, sekolah berjanji akan mendiskusikan dengan sekolah induk dan Dinas Pendidikan untuk penentuan kelas mereka nanti.
Kehadiran sekolah di perusahaan PT Wana Perintis merupakan upaya untuk membantu karyawan dan Orang Rimba. Selama ini anak-anak karyawan banyak sekolah di luar, jadi kasihan anak-anak pisah dengan orang tua dan perusahaan juga peruntukkan sekolah ini bagi anak-anak kita yang berasal dari orong rimba atau Suku Anak Dalam.
Kalau selama ini anak-anak Orang Rimba belum ada yang bersekolah, dengan adanya sekolah ini, diharapkan anak-anak tersebut juga bisa bersekolah di SD ini, jaraknya juga tidak terlalu jauh. Untuk transportasinya akan kami usahakan mobil antar jemput,” kata Heri, Manager Lapangan PT Wana Perintis.
Di masa pandemi COVID-19, anak rimba akan sekolah tiga kali dalam seminggu. Selasa, Kamis dan Sabtu. Kelasnya dengan anak-anak perusahaan sementara juga dibedakan. Ini untuk lebih memudahkan pengajaran, sekaligus mencegah terjadinya kerumunan di masa pandemi.
Rerayo, para orang tua, ikut bersemangat mengantarkan anak-anak mereka bisa belajar di sekolah. Sepenggal penyesalan muncul dari mereka.
"Ngapolah dulu kamia hopi belajor. Kinia segalo kehidupon butih tontu dengan huruy, tentu cari beritung, supao hopi di palolo kanti (Mengapalah kami dulu tidak belajar. Kini semua dalam hidup ini kita butuh pintar membaca, tahu cara berhitung, supaya tidak dibodohi orang lain," kata Mepat yang turut mengantar anaknya sekolah.
Semangat belajar Merila Sanggul (9), Jaba Sanggul (7), Becadang Sanggul (9), Seranten (7), Beturi (9), Miggobungo (13), Besidam (15), Niban (9), Betumpal (7), Besikat (15), Mergobungo (15), Merigu (11), Meruni (14), Bedampa (7) dan Nembo (8). Kalian berhak untuk sekolah dan menentukan masa depan sendiri.
Di hari bersejarah itu, sebagian orang tua anak rimba turut mengantar ke sekolah, tidak ketinggalan juga Tumenggung Ngelembo bersama Yohana dan anak rimba yang berpakaian sekolah rapi menuju SD Wana Perintis tempat asa baru akan dilabuhkan.
Yohana (23) adalah pendamping orang rimba di kawasan Sungai Terap menjadi salah satu pejuang yang berhasil membujuk orang rimba atau SAD untuk mau menyekolahkan anak mereka ke sekolah umum.
Terap merupakan kelompok orang rimba yang kini tinggal di kawasan perkebunan karet HTI milik PT Wana Perintis.
Mengevaluasi dan berdiskusi dengan kader pendidikan di Terap soal kelangsungan pendidikan. Juga memastikan anak rimba peserta didik memahami konsep berbangsa dan bernegara, ditandai dengan ikut merayakan kemeriahan perayaan Kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus lalu.
Selama pandemi COVID-19, sistem sekolah berubah jadinya anak tidak ke sekolah, itulah tugas Yohana untuk memastikan mereka tetap belajar berpedoman pada buku panduan dan berlatih dengan soal-soal.
Yohana yang merupakan pendamping SAD dari Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, lembaga tempatnya mengabdi sejak tiga tahun ini terus melobi Tumenggung Ngelembo.
Akhirnya Yohana mendapatkan kepastian penting yang ingin disampaikan Tumenggung bahwa mereka menyetujui anak rimba bersekolah ke sekolah umum.
"Bebet, bebudak iyoi ndok sekolah, tulunglah mika bantu untuk urusko sekolahnye. Bisuk bewolah budak iyoi beli keperluan sekolahnye (Kawan, anak-anak ini mau sekolah, tolong kamu bantu menguruskan sekolahnya. Besok bawalah anak-anak ini berbelanja keperluan sekolahnya)," kata Tumenggung Ngelembo (54).
Setelah mengiyakan permintaan Tumenggung dan mengecek kesiapan rerayo alias orang tua mengizinkan anak-anak yang akan bersekolah.
Yohana kemudian bergegas ke Terap, lokasi orang rimba di perkebunan Hutan Tanaman Industri PT Wana Perintis yang secara administrasi masuk ke Desa Jelutih Kecamatan Bathin XXIV Kabupaten Batanghari.
Butuh waktu enam jam perjalanan darat dari Kota Jambi menuju lokasi ini, karena akses yang paling memungkinkan harus melalui Kecamatan Pauh Kabupaten Sarolangun.
Yohana mengabaikan rasa lelah di tubuhnya dan menunda membuat laporan. Sekolah bagi anak Terap adalah sejarah. Permintaan dari Tumenggung adalah harapan besar yang tidak boleh di sia-siakan dan ditunda.
Ketika pada 1998 KKI Warsi mengenalkan pendidikan ke orang rimba, kelompok Terap awalnya sangat menolak. Ketika satu persatu kelompok orang rimba mengikuti pendidikan, alternatif dengan mata pelajaran membaca, menulis dan berhitung, kelompok Terap masih menolak.
Kelompok ini didampingi Warsi untuk layanan kesehatan, pengakuan ruang hidup dan pengembangan ekonomi. Pola pengajaran yang dikembangkan dengan sangat fleksibel tetap tidak mendapatkan izin dari Tumenggung, pemimpin tertinggi di kelompok.
Di kelompok yang ikut pendidikan, sudah disepakati sekolah akan berlangsung tanpa batas waktu, selagi muridnya semangat belajar guru rimba akan selalu bersama mereka. Tempatnya juga suka-suka di bawah pohon, di pinggir sungai atau di ladang. Kapan anak rimba minta diajari, di situ gurunya membuka kelas.
Dari pendidikan ini, tahun 2004, sudah mulai anak-anak rimba masuk ke sekolah formal untuk menjawab berbagai keinginan mereka yang rupanya memiliki beragam cita-cita. Ada yang ingin menjadi guru, tentara, bahkan ada yang ingin jadi camat.
Pendidikan menjadi kebutuhan di banyak kelompok Orang Rimba. Sekolah alternatif di dalam rimba berlangsung, seiring dengan sekolah formal untuk anak yang dianggap sudah mampu baca tulis dan berhitung tetapi masih ingin melanjutkan sekolah ke jenjang formal.
Semangat Orang Rimba untuk sekolah makin meningkat. Makin banyak yang ikut pendidikan walau kemudian banyak juga yang tidak sanggup mengikuti sistem pendidikan formal dan berhenti di tengah jalan. Tapi program menuntaskan buta aksara di Orang Rimba terus diupayakan.
Ubah penolakan secara perlahan
Hanya kelompok Terap yang masih menolak sampai 2008. Adalah Ngelembo, anak muda kelompok Terap, yang awalnya datang ke fasilitator Warsi untuk diajar baca tulis. Namun dia meminta diajarkan diam-diam karena takut dimarahi dan melanggar perintah Tumenggung.
Namun, Warsi tetap mengupayakan agar dia berani terbuka. Akhirnya fasilitator Warsi di sana, Jusia Hari Abdi, mengajak Temenggung Ngelembo membicarakannya. Jadinya sejak itu, kelompok Terap menerima pendidikan, tetapi hanya untuk rerayo, atau lelaki rimba yang sudah menikah sedangkan anak-anak dilarang apalagi perempuan.
Seiring waktu, sekitar 2010, anak laki-laki diperbolehkan Tumenggung mengikuti pendidikan. Tetapi hanya boleh di rimba, di pemukiman Orang Rimba, dan tidak ada pendidikan ke sekolah formal.
Fasilitator pendidikan Warsi tinggal bersama Orang Rimba mengenalkan huruf dan angka.
Sejak 2017 sudah ada anak rimba yang memiliki kemampuan untuk menjadi 'guru' yang oleh Warsi disebut kader pendidikan, bagi anggota kelompoknya dan dialah Besiap Bungo yang terpilih sebagai kader dengan tugas mengajar anak-anak anggota kelompoknya.
Tentulah Besiap tidak memiliki sertifikat guru. Keterpilihannya karena kecerdasan dan kemampuannya untuk mengajarkan kembali pada anggota kelompoknya sesuai modul pembelajaran. Tahun berlalu. Ngelembo dewasa kemudian mendapatkan amanah untuk menjadi Tumenggung awal 2021.
Pendidikan mengalami perubahan. Ngelembo sangat ingin anaknya sekolah formal. Mengikuti pendidikan yang ada kompetensinya dan berijazah untuk masa depan anak rimba.
Apalagi sejak 2018 lalu orang rimba ini sudah memulai pertanian terpola dengan menjalin Kemitraan Kehutanan dengan PT Wana Perintis, perusahaan HTI karet yang sebagian lahannya merupakan ruang jelajah orang rimba.
Mengurai konflik lahan dengan semangat pemberdayaan orang rimba, difasilitasi oleh pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Sosial, PT Wana Perintis tercatat sebagai perusahaan perdana di Provinsi Jambi yang bermitra dengan Orang Rimba.
Jadilah Orang Rimba mengelola 114 ha kebun karet di areal perusahaan, yang sangat membantu ekonomi kelompok ini. Pun hubungan yang makin baik dengan perusahaan dan membuat Orang Rimba makin terbuka dan berinteraksi intensif dengan orang-orang di perusahaan.
Anak rimba pun makin banyak yang belajar. Dipusatkan di kantor lapangan Warsi yang di bangun di dalam areal kemitraan orang rimba dengan perusahaan tentu setelah mendapat izin dari orang rimba dan perusahaan.
Bangunan dari kayu dengan ukuran 6x7 meter berlantai dua. Disinilah anak-anak belajar. Besiap kadang mengajar di kantor ini, ketika Fasilitator Warsi sedang ke Jambi. Kalau sama-sama di lokasi Besiap mengajar di dekat rumahnya sedangkan guru Warsi yang di kantor lapangan atau di mana tempat banyak anak rimba berkumpul.
Sebagai gambaran pemukiman orang rimba berpencar dalam kebun karet itu. Pesebaran mereka meliputi areal yang cukup jauh, bisa dengan jarak tempuh 2-4 KM. Balai Taman Nasional Bukit Duabelas, sebagai pengelola kawasan hutan di bagian atas Wana Perintis, juga tergerak untuk melakukan pemberdayaan.
Untuk kelompok Terap ini balai taman juga menghadirkan guru honor yang berkunjung ke kelompok dalam periode waktu tertentu sejak 2019. Dengan perkembangan murid yang terus bertambah, dan ada kebutuhan untuk membantu karyawan yang juga punya anak usia sekolah, perusahaan berinisiatif membangun sekolah.
Melalui Yayasan Sumadi, pemilik kebun di areal PT Wana Perintis, sekolah dasar di perusahaan itu dibuka. Sekolah resmi beroperasi sejak Agustus 2021, dengan sistem sekolah kelas jauh dengan induk SD Sekolah Negeri Lubuk Kepayang, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun.
Saat ini sekolah ini masih berupaya memenuhi semua persyaratan legal untuk operasional sekolah. Perjuangan panjang inilah yang membuat Yohana bergegas ke Terap dan pada 29 Agustus 2021 lalu akhirnya sekolah resmi beroperasi.
Tumenggung sudah mengizinkan. Namun izin dari masing-masing orang tua harus didapatkan. Adat Orang Rimba, terlarang membawa anak-anak mereka tanpa izin, apalagi ke kota dan dalam situasi COVID-19.
Satu persatu izin didapatkan. Kecuali dari induk (ibu) Jaba Sanggul dan Merila Sanggul. Saat Yohana datang induk Jaba Sanggul dan Merila Sanggul menolak anaknya di bawa ke Sarolangun, alasannya takut kena penyakit.
Bagi Orang Rimba daerah di luar mereka adalah penyakit. Maka mereka menghindari untuk keluar dari pemukiman mereka apalagi pergi ke kota.
Yohana memastikan apakah larangan itu hanya untuk turut ke kota membeli seragam atau larangan untuk sekolah namun larangan itu hanya untuk turut ke Sarolangun, tetapi sekolah tetap diizinkan.
Kesepakatan didapat. Yohana keluar mobil memastikan toko yang dituju menjual perlengkapan sekolah. Setelah itu barulah separo anak diturunkan dari mobil, tidak lupa disemprot hand sanitizer sebelum masuk toko.
Dipaskan baju dan sepatu. Pilih yang disukai, lalu kembali ke mobil. Sebelum masuk mobil kembali di semprot hand sanitizer. Selanjutnya, giliran anak lainnya anak lainnya dikeluarkan dari mobil dan semua dapat giliran.
30 Agustus 2021, pagi menjadi hari bersejarah. Sebanyak 15 anak rimba sudah rapi mengenakan pakaian baru dan tas di punggung. Itulah hari perdana sekolah.
Mobil perusahaan yang dijanjikan untuk antar-jemput juga sudah menunggu. Di hari yang bersejarah itu, sebagian orang tua turut mengantar ke sekolah.
Di sekolah dengan bangunan baru untuk tiga ruang kelas itu anak-anak rimba disambut oleh Deki Putra, kepala sekolah, bersama sejumlah guru. Serah terima murid-murid itu pun dilangsungkan.
Sebelum meninggalkan sekolah Yohana dan Tumenggung kembali meminta kepada pihak sekolah anak-anak rimba diajari pengetahuan umum.
Hari itu, anak-anak rimba senang dan ceria mengikuti perkenalan di sekolah. Mereka semua di tempatkan di kelas 1, walau secara umur anak-anak ini diperkirakan rentang usianya 7-15 tahun.
Ada juga beberapa yang sudah memiliki kecakapan baca tulis dan hitung, sekolah berjanji akan mendiskusikan dengan sekolah induk dan Dinas Pendidikan untuk penentuan kelas mereka nanti.
Kehadiran sekolah di perusahaan PT Wana Perintis merupakan upaya untuk membantu karyawan dan Orang Rimba. Selama ini anak-anak karyawan banyak sekolah di luar, jadi kasihan anak-anak pisah dengan orang tua dan perusahaan juga peruntukkan sekolah ini bagi anak-anak kita yang berasal dari orong rimba atau Suku Anak Dalam.
Kalau selama ini anak-anak Orang Rimba belum ada yang bersekolah, dengan adanya sekolah ini, diharapkan anak-anak tersebut juga bisa bersekolah di SD ini, jaraknya juga tidak terlalu jauh. Untuk transportasinya akan kami usahakan mobil antar jemput,” kata Heri, Manager Lapangan PT Wana Perintis.
Di masa pandemi COVID-19, anak rimba akan sekolah tiga kali dalam seminggu. Selasa, Kamis dan Sabtu. Kelasnya dengan anak-anak perusahaan sementara juga dibedakan. Ini untuk lebih memudahkan pengajaran, sekaligus mencegah terjadinya kerumunan di masa pandemi.
Rerayo, para orang tua, ikut bersemangat mengantarkan anak-anak mereka bisa belajar di sekolah. Sepenggal penyesalan muncul dari mereka.
"Ngapolah dulu kamia hopi belajor. Kinia segalo kehidupon butih tontu dengan huruy, tentu cari beritung, supao hopi di palolo kanti (Mengapalah kami dulu tidak belajar. Kini semua dalam hidup ini kita butuh pintar membaca, tahu cara berhitung, supaya tidak dibodohi orang lain," kata Mepat yang turut mengantar anaknya sekolah.
Semangat belajar Merila Sanggul (9), Jaba Sanggul (7), Becadang Sanggul (9), Seranten (7), Beturi (9), Miggobungo (13), Besidam (15), Niban (9), Betumpal (7), Besikat (15), Mergobungo (15), Merigu (11), Meruni (14), Bedampa (7) dan Nembo (8). Kalian berhak untuk sekolah dan menentukan masa depan sendiri.
Pewarta : Nanang Mairiadi
Editor : Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Terpopuler - Spektrum
Lihat Juga
Kisah Warung Makan Selera Jenderal di Demak, berawal dari celetukan pelanggan
31 October 2024 10:27 WIB