Kemenkop UKM menyusun RUU Perkoperasian untuk atasi sejumlah permasalahan
Kamis, 1 September 2022 7:51 WIB
Pengumpulan Aspirasi dan Sosialisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian di Solo, Rabu (31/8/2022). ANTARA/Aris Wasita
Solo (ANTARA) - Kementerian Koperasi dan UKM RI menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian untuk mengatasi sejumlah permasalahan yang ada terkait sektor keuangan tersebut.
Kepala Biro Hukum dan Kerja Sama Kemenkop dan UKM Henra Saragih saat membuka acara Pengumpulan Aspirasi dan Sosialisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian di Solo, Rabu, mengakui pengelolaan koperasi yang bertentangan dengan asas dan prinsip koperasi kini marak terjadi.
Menurut dia, kondisi tersebut terjadi karena oknum-oknum koperasi melihat adanya celah kelemahan dalam peraturan perundangan yang ada, dan selanjutnya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok oknum pendiri koperasi tersebut.
"Bahkan, UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian sudah tidak dapat mengakomodasi cepatnya perkembangan, serta dinamika di bidang perkoperasian, ekonomi, dan sosial," katanya.
Sebetulnya, Kemenkop dan UKM pada tahun 2012 sudah membentuk UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian untuk memperbarui pengaturan di bidang perkoperasian. Meski demikian, UU tersebut dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, UU Nomor 25 Tahun 1992 dinyatakan berlaku kembali.
"Karena UU 25/1992 dianggap sudah tidak dapat mengakomodasi dan mengatasi banyak permasalahan perkoperasian dewasa ini, maka pada awal 2022 Kemenkop UKM kembali menyusun RUU Perkoperasian," katanya.
Ia mengatakan saat ini draf Naskah Akademis serta RUU Perkoperasian sedang dalam proses pembahasan untuk dilakukan finalisasi.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Aria Bima mengatakan UU Perkoperasian yang baru ini harus dirumuskan secara tepat sesuai perkembangan dan dinamika yang ada.
"Saat ini merupakan momen dan 'timing' yang tepat untuk penyusunan UU Perkoperasian," katanya.
Ia mengatakan ada beberapa hal krusial yang harus diperhatikan dalam penyusunan draf RUU Perkoperasian yang baru, salah satunya terkait definisi koperasi.
"Di mana koperasi adalah orang yang bersatu secara sukarela dan bersifat otonom untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, berasaskan kekeluargaan, dan gotong royong," katanya.
Selain itu, menurut dia, koperasi bisa ekspansif dalam dunia bisnis yang modern. Hal krusial lain adalah terkait modal koperasi yang di dalamnya mencakup iuran pokok, modal anggota, penyertaan modal, pembagian SHU, hingga dana hibah.
"Jangan sampai penyertaan modal justru untuk mengakuisisi koperasi tersebut," katanya.
Terkait pengawasan koperasi, ia tidak setuju jika pengawasan dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Idealnya, harus membuat satu lembaga otoritas tersendiri untuk mengawasi koperasi simpan pinjam (KSP) sehingga dengan pengawasan secara 'realtime' terhadap KSP, serta mengatur arus simpan dan pinjam yang dilakukan koperasi, maka para anggota merasa aman berkoperasi. Saya meyakini saat ini kepercayaan terhadap koperasi, khususnya KSP masih terbilang tinggi," katanya.
Kepala Biro Hukum dan Kerja Sama Kemenkop dan UKM Henra Saragih saat membuka acara Pengumpulan Aspirasi dan Sosialisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian di Solo, Rabu, mengakui pengelolaan koperasi yang bertentangan dengan asas dan prinsip koperasi kini marak terjadi.
Menurut dia, kondisi tersebut terjadi karena oknum-oknum koperasi melihat adanya celah kelemahan dalam peraturan perundangan yang ada, dan selanjutnya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok oknum pendiri koperasi tersebut.
"Bahkan, UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian sudah tidak dapat mengakomodasi cepatnya perkembangan, serta dinamika di bidang perkoperasian, ekonomi, dan sosial," katanya.
Sebetulnya, Kemenkop dan UKM pada tahun 2012 sudah membentuk UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian untuk memperbarui pengaturan di bidang perkoperasian. Meski demikian, UU tersebut dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, UU Nomor 25 Tahun 1992 dinyatakan berlaku kembali.
"Karena UU 25/1992 dianggap sudah tidak dapat mengakomodasi dan mengatasi banyak permasalahan perkoperasian dewasa ini, maka pada awal 2022 Kemenkop UKM kembali menyusun RUU Perkoperasian," katanya.
Ia mengatakan saat ini draf Naskah Akademis serta RUU Perkoperasian sedang dalam proses pembahasan untuk dilakukan finalisasi.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Aria Bima mengatakan UU Perkoperasian yang baru ini harus dirumuskan secara tepat sesuai perkembangan dan dinamika yang ada.
"Saat ini merupakan momen dan 'timing' yang tepat untuk penyusunan UU Perkoperasian," katanya.
Ia mengatakan ada beberapa hal krusial yang harus diperhatikan dalam penyusunan draf RUU Perkoperasian yang baru, salah satunya terkait definisi koperasi.
"Di mana koperasi adalah orang yang bersatu secara sukarela dan bersifat otonom untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, berasaskan kekeluargaan, dan gotong royong," katanya.
Selain itu, menurut dia, koperasi bisa ekspansif dalam dunia bisnis yang modern. Hal krusial lain adalah terkait modal koperasi yang di dalamnya mencakup iuran pokok, modal anggota, penyertaan modal, pembagian SHU, hingga dana hibah.
"Jangan sampai penyertaan modal justru untuk mengakuisisi koperasi tersebut," katanya.
Terkait pengawasan koperasi, ia tidak setuju jika pengawasan dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Idealnya, harus membuat satu lembaga otoritas tersendiri untuk mengawasi koperasi simpan pinjam (KSP) sehingga dengan pengawasan secara 'realtime' terhadap KSP, serta mengatur arus simpan dan pinjam yang dilakukan koperasi, maka para anggota merasa aman berkoperasi. Saya meyakini saat ini kepercayaan terhadap koperasi, khususnya KSP masih terbilang tinggi," katanya.
Pewarta : Aris Wasita
Editor : M Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024