Pakar: Susun peta jalan yang komprehensif menuju kedaulatan pangan
Rabu, 18 Oktober 2023 14:19 WIB
Pakar pertanian Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Totok Agung Dwi Haryanto. ANTARA/Dokumentasi Pribadi
Purwokerto (ANTARA) - Pakar pertanian dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Totok Agung Dwi Haryanto menilai peta jalan yang komprehensif dalam pertanian berkelanjutan harus disusun untuk menuju kedaulatan pangan.
Saat dihubungi di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu, dia mengatakan yang namanya pertanian berkelanjutan itu harus dibangun secara sistem, yakni tentang bagaimana tata kelola perbenihan, tata kelola tanah, dan tata kelola air.
Selain itu juga menyangkut dengan ketahanan terhadap iklim, ketahanan air, ketahanan mitigasi bencana, dan ketahanan teknologi. "Itu bersama-sama harus disusun di dalam sebuah perencanaan atau peta jalan yang komprehensif, sehingga yang dituju itu nantinya adalah kedaulatan pangan," tegas Guru Besar Fakultas Pertanian Unsoed itu.
Dalam hal ini, dia mencontohkan untuk permasalahan benih yang sampai sekarang belum mempunyai peta jalan benih. "Peta jalan benih Indonesia itu mau dibawa ke mana, apakah mau mendorong benih hibrida, benih impor, benih transgenik, ataukah benih lokal untuk menuju kedaulatan pangan, itu belum ada beritanya. Itu yang perlu diperkuat secara kelembagaan," ungkapnya.
Di sisi lain, kata dia, kelembagaan riset dalam membangun benih dan varietas unggul tanaman pangan terutama padi saat sekarang juga sedang ada kegalauan dengan adanya migrasi peneliti yang ada di Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Dengan demikian, lanjut dia, Balitbangtan yang mempunyai sumber daya hayati maupun sumber daya laboratorium dan sebagainya tidak bisa lagi difungsikan secara maksimal karena penelitinya migrasi ke BRIN.
"Nah ini juga menyangkut kelembagaan research and development perbenihan ini, juga perlu dipersiapkan untuk jangka panjang," jelas peneliti yang telah menghasilkan sejumlah karya seperti padi gogo aromatik itu.
Prof Totok mengatakan saat ini kondisi tanah pertanian di Indonesia banyak yang mengalami penurunan kesuburan akibat penggunaan pupuk anorganik dan bahan kimia lainnya.
Oleh karena itu, kata dia, perlu ada kegiatan atau upaya detoksifikasi sekaligus peningkatan kesuburan tanah yang berkelanjutan. "Kurangi pemanfaatan bahan-bahan kimia pabrik untuk proses produksi," tegasnya.
Terkait dengan masalah air, dia mengatakan saat ini belum ada kebijakan tata kelola air, sehingga ketika airnya berlebihan mengakibatkan gagal panen karena banjir, dan ketika kekurangan air juga gagal panen karena kekeringan.
"Jadi, semacam bagaimana mengelola air hujan, kemudian disimpan, dimanfaatkan pada musim kemarau. Atau mengelola air yang mengalir di permukaan tanah, run off, agar bisa tertahan masuk ke tanah menggunakan sumur resapan dan sebagainya, belum menjadi sebuah gerakan masif yang berjalan berkelanjutan," jelasnya.
Ia mengakui pemerintah telah banyak membangun waduk yang merupakan salah satu strategi berkelanjutan jangka panjang yang sangat penting. Akan tetapi dalam perawatannya, terlihat belum maksimal sehingga ada beberapa waduk, antara lain Waduk Sempor di Kabupaten Kebumen seperti tidak terpelihara, padahal sangat luar biasa.
"Atau Waduk Panglima Besar Soedirman di Kabupaten Banjarnegara itu justru bermasalah dengan adanya erosi. Tanah-tanah terbawa air dan mengakibatkan pendangkalan yang luar biasa," ungkapnya.
Dengan demikian, kata dia, perlu ada pemeliharaan waduk yang intensif dan berkelanjutan.
Di sisi lain, lanjut dia, rencana pembangunan waduk baru di sejumlah daerah sering kali mendapatkan pertentangan dari masyarakat setempat.
"Waduk itu 'kan luas, waduk luas ini untuk mendukung kehidupan, tetapi orang yang tinggal di situ 'kan jadi terancam kehidupannya ketika dia dipindahkan ke tempat lain. Jadi sering kali memecahkan masalah tapi memunculkan masalah baru," katanya.
Terkait dengan hal itu, dia mengatakan salah satu solusi untuk mengantisipasi permasalahan tersebut adalah dengan membangun embung yang ukurannya lebih kecil dari waduk.
Selain biayanya tidak sebesar dalam pembangunan waduk, kata dia, pemanfaatan embung bisa langsung terasa oleh petani yang ada di sekitarnya.
"Tentu saja waduk sangat penting. Mungkin lebih kecil dari waduk itu embung, yang ukurannya lebih sesuai untuk kawasan tertentu, untuk upaya panen air hujan itu lebih strategis," jelasnya.
Sementara itu dalam ketahanan teknologi, dia mengatakan hal itu perlu fokus pada teknologi-teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat khususnya petani produsen pangan.
"Jadi tidak harus menginduk atau mengacu kepada teknologi yang digunakan negara-negara maju, tetapi lebih kepada teknologi yang memang dibutuhkan oleh petani kita, misalnya yang ukurannya sesuai, bisa dioperasikan secara penguasaan skill, secara ekonomi tingkat petani, dan sebagainya," kata Prof Totok.
Baca juga: TPID Surakarta distribusi pangan untuk kendalikan inflasi
Saat dihubungi di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu, dia mengatakan yang namanya pertanian berkelanjutan itu harus dibangun secara sistem, yakni tentang bagaimana tata kelola perbenihan, tata kelola tanah, dan tata kelola air.
Selain itu juga menyangkut dengan ketahanan terhadap iklim, ketahanan air, ketahanan mitigasi bencana, dan ketahanan teknologi. "Itu bersama-sama harus disusun di dalam sebuah perencanaan atau peta jalan yang komprehensif, sehingga yang dituju itu nantinya adalah kedaulatan pangan," tegas Guru Besar Fakultas Pertanian Unsoed itu.
Dalam hal ini, dia mencontohkan untuk permasalahan benih yang sampai sekarang belum mempunyai peta jalan benih. "Peta jalan benih Indonesia itu mau dibawa ke mana, apakah mau mendorong benih hibrida, benih impor, benih transgenik, ataukah benih lokal untuk menuju kedaulatan pangan, itu belum ada beritanya. Itu yang perlu diperkuat secara kelembagaan," ungkapnya.
Di sisi lain, kata dia, kelembagaan riset dalam membangun benih dan varietas unggul tanaman pangan terutama padi saat sekarang juga sedang ada kegalauan dengan adanya migrasi peneliti yang ada di Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Dengan demikian, lanjut dia, Balitbangtan yang mempunyai sumber daya hayati maupun sumber daya laboratorium dan sebagainya tidak bisa lagi difungsikan secara maksimal karena penelitinya migrasi ke BRIN.
"Nah ini juga menyangkut kelembagaan research and development perbenihan ini, juga perlu dipersiapkan untuk jangka panjang," jelas peneliti yang telah menghasilkan sejumlah karya seperti padi gogo aromatik itu.
Prof Totok mengatakan saat ini kondisi tanah pertanian di Indonesia banyak yang mengalami penurunan kesuburan akibat penggunaan pupuk anorganik dan bahan kimia lainnya.
Oleh karena itu, kata dia, perlu ada kegiatan atau upaya detoksifikasi sekaligus peningkatan kesuburan tanah yang berkelanjutan. "Kurangi pemanfaatan bahan-bahan kimia pabrik untuk proses produksi," tegasnya.
Terkait dengan masalah air, dia mengatakan saat ini belum ada kebijakan tata kelola air, sehingga ketika airnya berlebihan mengakibatkan gagal panen karena banjir, dan ketika kekurangan air juga gagal panen karena kekeringan.
"Jadi, semacam bagaimana mengelola air hujan, kemudian disimpan, dimanfaatkan pada musim kemarau. Atau mengelola air yang mengalir di permukaan tanah, run off, agar bisa tertahan masuk ke tanah menggunakan sumur resapan dan sebagainya, belum menjadi sebuah gerakan masif yang berjalan berkelanjutan," jelasnya.
Ia mengakui pemerintah telah banyak membangun waduk yang merupakan salah satu strategi berkelanjutan jangka panjang yang sangat penting. Akan tetapi dalam perawatannya, terlihat belum maksimal sehingga ada beberapa waduk, antara lain Waduk Sempor di Kabupaten Kebumen seperti tidak terpelihara, padahal sangat luar biasa.
"Atau Waduk Panglima Besar Soedirman di Kabupaten Banjarnegara itu justru bermasalah dengan adanya erosi. Tanah-tanah terbawa air dan mengakibatkan pendangkalan yang luar biasa," ungkapnya.
Dengan demikian, kata dia, perlu ada pemeliharaan waduk yang intensif dan berkelanjutan.
Di sisi lain, lanjut dia, rencana pembangunan waduk baru di sejumlah daerah sering kali mendapatkan pertentangan dari masyarakat setempat.
"Waduk itu 'kan luas, waduk luas ini untuk mendukung kehidupan, tetapi orang yang tinggal di situ 'kan jadi terancam kehidupannya ketika dia dipindahkan ke tempat lain. Jadi sering kali memecahkan masalah tapi memunculkan masalah baru," katanya.
Terkait dengan hal itu, dia mengatakan salah satu solusi untuk mengantisipasi permasalahan tersebut adalah dengan membangun embung yang ukurannya lebih kecil dari waduk.
Selain biayanya tidak sebesar dalam pembangunan waduk, kata dia, pemanfaatan embung bisa langsung terasa oleh petani yang ada di sekitarnya.
"Tentu saja waduk sangat penting. Mungkin lebih kecil dari waduk itu embung, yang ukurannya lebih sesuai untuk kawasan tertentu, untuk upaya panen air hujan itu lebih strategis," jelasnya.
Sementara itu dalam ketahanan teknologi, dia mengatakan hal itu perlu fokus pada teknologi-teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat khususnya petani produsen pangan.
"Jadi tidak harus menginduk atau mengacu kepada teknologi yang digunakan negara-negara maju, tetapi lebih kepada teknologi yang memang dibutuhkan oleh petani kita, misalnya yang ukurannya sesuai, bisa dioperasikan secara penguasaan skill, secara ekonomi tingkat petani, dan sebagainya," kata Prof Totok.
Baca juga: TPID Surakarta distribusi pangan untuk kendalikan inflasi
Pewarta : Sumarwoto
Editor : Edhy Susilo
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Dukung agrowisata berkelanjutan, Tim Dosen Unsoed beri pelatihan produk olahan stroberi
31 October 2024 15:26 WIB
Implementasi K3 berkelanjutan, PLN Icon Plus borong 4 Penghargaan di IQSA 2024
15 October 2024 15:46 WIB