Malu karena sebagai sesama orang Magelang, Dedy yang kini pelukis berciri objek apel dan tinggal di kawasan Candi Borobudur, tidak tahu nama besar seniman Sutanto Mendut di jagat seniman ibu kota, ketika itu.

"Ketika mereka tahu saya dari Magelang, mereka menyebut nama Tanto Mendut. Saya malu karena ketika itu tidak tahu," kata Dedy malam itu di Pendopo Duniatera Borobudur, saat peluncuran buku "Berlayar Bersama Jalaluddin Rumi".

Buku itu kumpulan tulisan Tanto, era 1995-2004, di sejumlah media massa. Peluncuran buku itu sekaligus sekelumit acara seniman Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, Menoreh) merayakan HUT ke-58 Tanto yang sebenarnya jatuh pada 5 Februari 2010. Selama ini Tanto menginspirasi dan menghidupi gerakan kebudayaan komunitas seniman petani lima gunung yang mengelilingi Magelang itu.

Peluncuran buku "Berlayar Bersama Jalaluddin Rumi" oleh sahabat Tanto yang datang dari Jepang, Profesor Yoshimi Miyake (Pengajar Sosiolinguistik Jurusan Studi Komunikasi Internastional Universitas Akita Jepang).

Rangkaian acara itu juga diwarnai pemotongan tumpeng, pembacaan puisi, dan lantunan tembang geguritan oleh para seniman petani komunitas itu. Mereka antara lain Atika (Inspiratorku), Sarwo Edi (Cahyaning Sutanto), Pangadi (Manungso), Endah Pertiwi (SMS Lima Gunung), Joko dan Nana Ayom (Asmaradana), Darmanto (Berlayar Bersama Jalaluddin Rumi), Riyadi (Guru Gunung), dan Taufik (Rumah).

Sekitar 30 tulisan dalam buku "Berlayar Bersama Jalaluddin Rumi" dengan Penerbit Waktoe dan Studio Mendut itu terutama menyangkut sabetan pisau bedah pemikiran Tanto atas seni musik dunia yang direguk dan dijumpainya.

Tanto muda pernah kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta satu semester dan Akademi Musik Indonesia (AMI) Yogyakarta lima tahun. Kuliahnya waktu itu tidak pernah dirampungkan, tapi selama beberapa tahun terakhir ia yang juga sering disebut Presiden Lima Gunung itu menjadi dosen tamu Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Berbagai tulisan dalam buku "Berlayar Bersama Jalaluddin Rumi" nampaknya buah tangan perjalanannya, setidaknya selama masa itu, melanglang ke berbagai negara seperti Eropa, Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Timur, dan tentunya perjalanannya dari desanya di Kelurahan Mendut, sekitar 3,5 kilometer timur Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ke ibu kota di Jakarta, yang selalu tak lepas dari agenda kesenian dan kebudayaan.

Misalnya, tulisan bertajuk "Temu Seniman Internasional di Thailand", di Chiangmai dan Bangkok, Februari-Maret 1996, dengan hampir seratus persen diikuti para seniman yang datang dari empat benua.

Pergelaran itu disebut Tanto sebagai acara banyak makan energi, fisik, pikiran, imajinasi, komunikasi, dan totalitas kreatif yang penuh pergulatan. Namun, acara itu betul-betul dari seniman untuk seniman.

"Meski sungguh melelahkan, para peserta cukup tampak bergairah baik dalam diskusi, debat, duel ide, pertunjukan, 'workshop', pameran, menonton, ataupun kerja-kerja lain yang mendukung," katanya dalam tulisan di halaman 104 buku itu.

Buku dengan halaman sampul depan rancangan Damtoz Andreas berupa lukisan grafis kapal kayu, penyunting Dorothea Rosa Herliany, dan foto orasi Tanto di sampul belakang karya Anis Efizudin (pewarta foto Kantor Berita ANTARA) tersebut diedarkan secara "indie".

Hanya di bagian akhir buku setebal 172 halaman itu berupa tulisan budayawan Sujiwo Tejo berjudul "Meditasi 'Cangkem'" yang berbicara menyangkut sosok Sutanto Mendut.

Sujiwo mengutip ulasan khusus pengamat musik Suka Hardjana yang dimuat Kompas 30 Desember 1979 menyangkut heboh jagat musik oleh Tanto saat Pekan Komponis Muda Dewan Kesenian Jakarta 1979 melalui karya berjudul "Sketsa Ide".

Ia menggarisbawahi karya itu dengan menyebut tercatat dalam sejarah musik TIM Jakarta. Karya tersebut menggunakan berbagai alat bunyi dan mainan sehari-hari yang paling sukses sebagai tontonan dan melibatkan seluruh audiens.

Tautan tentang nama Rumi ada di tulisan Tanto berjudul "Berenang Bersama Jalaluddin Rumi" di halaman 35 buku tersebut. Nama panjangnya Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri, penyair sufi kelahiran Balkh atau sekarang Afghanistan, pada 30 September 1207.

Tanto menuturkan perjalanannya dari Mendut ke Jakarta, pada April 1996, untuk nonton Forum Musik Jakarta dan secara kebetulan bertemu penyair yang sekaligus pemusik Emha Ainun Nadjib. Ketika itu ia mengaku gandrung dengan Rumi yang disebutnya penyair sekaligus komponis luar biasa.

"Karena saya sedang berenang dengan Jalaluddin Rumi tentu saja tanpa sengaja saya memberi nasihat kepada Emha Ainun Nadjib. 'Ayolah mulai, ayolah masuki babak baru ber-Jalaluddin Rumi'," demikian sepenggal tulisannya itu.

Ketika ditanya Fajar Purnomo Sidi (Direktur Museum Haji Widayat) pada sesi tanya jawab peluncuran buku malam itu terkait dengan judul "Berlayar Bersama Jalaluddin Rumi", Tanto awalnya berkelebat kata melalui jawabannya bahwa penerbitan buku bukan ambisinya tetapi menghormati masyarakat Indonesia yang miskin dokumen tertulis.

Ia pun membandingkan dengan kehebatan catatan tertulis oleh masyarakat di sejumlah negara seperti Jepang, China, Thailand, dan Vietnam.

Catatan tertulis di negara-negara itu, katanya, banyak dibuat oleh masyarakat biasa yang ternyata pada waktunya menjadi sumber sejarah penting, orisinil, dan menarik atas perjalanan kehidupan bangsa mereka.

"Saya merangsang siapapun menulis, jangan takut dengan linguistik, jangan takut soal benar-salah menurut pak guru bahasa. Mungkin ini sulit dipahami, tetapi tulis saja," katanya.

Ia mengatakan, sebenarnya banyak pilihan untuk calon judul buku itu, tetapi akhirnya diputuskan mengunggah "Berlayar Bersama Jalaluddin Rumi".

Tetapi memang ia mengaku kagum atas penyair besar dengan karya kumpulan puisi berjudul Almatsnawi Almaknawi tersebut.

Wikipedia menyebut kumpulan puisi Rumi itu konon suatu revolusi terhadap ilmu kalam yang kehilangan semangat dan kekuatannya. Isinya juga mengeritik langkah dan arahan filsafat yang cenderung melampaui batas, mengebiri perasaan, dan mengultuskan rasio.

Salah satu isi karya terkenal Rumi, "Jangan tanya apa agamaku, aku bukan Yahudi, bukan Zoroaster, bukan pula Islam, karena aku tahu, begitu suatu nama kusebut, kau akan memberikan arti yang lain daripada makna yang hidup di hatiku".

Kumpulan puisi Rumi itu, kata Tanto, mengingatkan tentang sastra gending pada zaman Sultan Agung (Kerajaan Mataram).

"Sastra yang bergending dan gending yang bersastra. Pikiran yang berhati dan hati yang berpikiran," katanya.

Buku "Berlayar Bersama Jalaluddin Rumi" agaknya membuat Yoshimi yang sahabat Tanto bertahun-tahun itu kagum dengan menyebut Tanto dalam dunia penulisan sebagai satu di antara dua sisi uang logam.

Perkataan harian ataupun dalam berbagai pidato kebudayaan Tanto, banyak kali tidak mudah segera dipahami lawan bicara atau pendengarnya karena terkesan kuat meloncat-loncat dan tidak karuan. Yoshimi pun semula tidak yakin bakal terbit buku itu dan mengira sekadar lelucon Tanto.

Setelah dirinya menerima dan membaca tulisan dalam buku itu, Yoshimi menilai, tata bahasa tulis Tanto sangat teratur dan banyak informasi yang enak serta lancar dibaca.

Ia pun menyebut buku itu sebagai "Magic Tanto".

"Ini menjadi pedoman yang baik untuk tahu dunia. Saya rasakan, ini kota kecil Mendut, pelosok. Memang dunia ketiga ini, tetapi langsung berhubungan dengan seni internasional. Kalau bisa buku ini juga internasional," katanya.

Kalau toh buah tangan Tanto Mendut "Berlayar Bersama Jalaluddin Rumi" berlabuh di mana pun. Kenapa tidak?