Ia mengaku baru saja "turun" dari Krandegan, satu dusun terakhir sebelum puncak Gunung Sumbing Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang bakal menjadi lokasi Festival Lima Gunung XI, 30 Juni-1 Juli 2012.

"Pak Marno (Sumarno, pimpinan Sanggar Cahyo Budoyo Sumbing, red.) tadi siang nelepon, minta saya nengok instalasi desa untuk festival yang dikerjakan masyarakat Krandegan. Saya lalu dari pasar ke Krandegan," katanya.

Supadi yang ketua komunitas seniman petani lima gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Magelang itu adalah juragan sayuran dari Gunung Andong, Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak.

Setiap hari dengan mobil bak terbukanya ia menjual aneka sayuran panenan petani dari desa-desa di Gunung Andong ke Pasar Sayuran Bandungan di Kabupaten Semarang. Ia juga pemimpin komunitas seniman petani "Andong Jinawi" di dusunnya.

Di tengah pembicaraan di antara mereka, tiba-tiba dahi Supadi berkerut, seakan bersiap membicarakan ikhwal cukup serius menyangkut instalasi Dusun Krandegan di Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, sekitar 1.600 meter dari permukaan air laut. Puncak Gunung Sumbing sekitar 3.700 mdpl.

"Masih kurang meriah, makanya tadi saya memberikan masukan yang mungkin bisa menambah semarak suasana tempat festival," kata Supadi.

Masyarakat Krandegan terdiri atas 23 rukun tetangga dengan sekitar 400 kepala keluarga atau 1.500 jiwa. Di satu dusun itu saja terdapat puluhan ragam kesenian rakyat yang terus mereka hidupi dengan berbagai tradisi mereka berdasarkan kalender Jawa yang juga mereka dinaminasi hingga saat ini.

Siangnya, perangkat desa setempat yang juga seorang pemuka komunitas Cahyo Budoyo Sumbing, Sarwo Edhi, bersama tokoh masyarakat lainnya seperti Sumarno, Waryanto, dan Warsidi, berdiri di depan cungkup petilasan yang disebut Nyali Gadung Mlati dan Tledek Meyek. Tempat itu terdapat mata air dan masjid dusun dengan halamannya yang lumayan luas. Mereka berbicang-bincang membahas persiapan festival seniman petani Komunitas Lima Gunung.

Festival 2012 diselenggarakan di dua lokasi yakni Gunung Sumbing, Dusun Krandegan (30 Juni-1 Juni 2012) dan Gunung Merbabu Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis (4-15 Juli 2012).

Warga Krandegan lainnya siang itu, bergotong-royong terutama memasang instalasi dusun dari bahan-bahan alam seperti rumput, ilalang, bambu, dan batang kering tanaman cabai. Instalasi seni dusun itu mereka beri titel "Lelembut Gunung". Instalasi itu antara lain berbentuk kambing, kijang, burung rajawali yang oleh warga setempat biasa disebut "gaok", beberapa lainnya berupa boneka menggambarkan sosok-sosok petani.

"Setiap RT membuat instalasi dari bahan alam tentang apa saja yang dialami, dilihat, dimengerti," kata Sumarno.

Sarwo Edi menjelaskan melalui instalasi "Lelembut Gunung" terutama di sepanjang jalan dari halaman sekolah dasar yang bakal menjadi panggung utama FLG XI/2012 hingga gedung sanggar "Cahyo Budoyo Sumbing" di satu tebing, dekat petilasan cikal bakal Krandegan, Kiai Dipodrono, masyarakat ingin mengatakan bahwa hal-hal yang disebut sebagai lelembut bukan berarti menakutkan atau hantu.

Akan tetapi, katanya, setiap hari masyarakat setempat "hidup" berdampingan secara akrab dengan kehidupan lelembut di kawasan gunungnya.

"Kami tidak pernah merasa terganggu, kami juga menghormati mereka yang ada di jagat lelembut itu. Bisa dinalar kok," katanya.

Misalnya, katanya, masyarakat memiliki pemahaman bahwa berbagai pepohonan, mata air, sudut-sudut kampung memiliki penunggu dengan nama-nama tersendiri. Pada kesempatan itu ia menyebut pohon bambu di kampung itu dengan penunggu bernama Begawat Iket Wulung, pohon jubuk (Eyang Tunggul Kumoro), pohon kali nduwur (Nyai Wulandari), pohon genen (Kiai Tunggul Musti), pohon gemblek (Raden Kolo Pamungkas).

Selain itu, sudut tenggara dusun ditunggu Putri Suruh Ayu, barat daya (Kiai Iket Wulung), barat laut (Nyai Sumber Pangestu), timur laut (Joyo Katon), sedangkan mata air Si Jago di Dusun Butuh, Desa Temanggung, Kecamatan Kaliangkrik yang airnya antara lain dialirkan untuk kebutuhan masyarakat Kradegan (Raden Subroto) dan mata air Kebon Lor di Krandegan (Eyang Sadrono).

Ia juga menyebut beberapa istilah untuk lelembut dusun setempat lainnya dengan berbagai gambaran beragam seperti genderuwo, wewe kantong, setan egrang, sundel bolong, tuyul, mintok, rambut geni, onclong, dan jolanges.

Satu pengalaman warga, katanya, ketika beberapa tahun lalu dua orang menebang pohon jeruk di petilasan Nyai Gadung Mlati, sekitar dua bulan kemudian mereka mendadak meninggal dunia. Dan warga setempat umumnya percaya bahwa lelembut yang menunggu pohon itu tidak berkenan pohon itu ditebang. Hingga saat ini pun pohon jeruk pengganti yang ditanam warga tak bisa hidup lagi.

Pengalaman lainnya, seorang warga yang hendak membersihkan lumut yang menempel di pohon jubuk di dusun setempat, tiba-tiba gatal-gatal badannya sehingga urung.

"Kami pahami bahwa warga tidak boleh menebang pohon sembarangan, harus merawat sumber air, dan menjaga alam dusun kami. Kalau kami memelihara lingkungan alam ini, mereka yang penunggunya juga bersahabat dengan kami. Merawat lingkungan ini juga menghormati penunggunya. Alhamdulilah kami selama ini bebas dari bencana," katanya.

Ia juga bercerita tentang contoh kondisi dedaunan di pepohonan besar setempat terkait dengan kehidupan ekonomi masyarakat. Jika dedaunan cukup banyak dan rimbun, satu pertanda bahwa warga berlimpah hasil pertanian, lainnya yang bekerja menjadi buruh juga padat agenda pekerjaan, sedangkan warga yang berdagang juga mendapatkan keuntungan melimpah.

"Nalarnya, kalau daun rimbun berarti cuaca bagus, kalau daun sedikit atau bahkan kering, cuaca sedang kemarau, air sedikit, pertanian susah. Orang juga tidak banyak permintaan bekerja sebagai buruh pertanian, sedikit hasil pertanian yang bisa dijual. Intinya kalau daun pepohonan sedikit atau pohon kering, tanaman tidak bisa tumbuh dengan baik, dan ekonomi warga sedang sulit. Begitu sebaliknya," katanya.

Warsidi yang juga penari beberapa kesenian rakyat setempat seperti kuda lumping dan beberapa nomor tari lengger mengatakan, setiap kali grup kesenian setempat hendak mementaskan keseniannya selalu "pamitan" terlebih dahulu dengan datang ke cungkup petilasan Nyai Gadung Mlati.

"Intinya itu berdoa, supaya pentas lancar dan baik, menghibur penonton," kata Warsidi yang juga satu pelanggan kesurupan setiap kali komunitas seniman petani setempat pentas kesenian rakyat baik di dusunya maupun di berbagai tempat.

Warga setempat yang hendak menjalani tradisi mitoni, cukur rambut bajang, atau supitan juga terlebih dahulu datang ke petilasan itu.

Sedangkan Waryanto (64) yang juga juru kunci Dusun Krandegan mengaku cukup banyak orang yang singgah ke tempatnya terlebih dahulu sebelum ziarah ke petilasan Kiai Dipodrono, Nyai Gadung Mlati, atau hendak ke puncak Gunung Sumbing untuk berziarah ke makam Kiai Makukuhan.

Festival Lima Gunung XI/2012 di kawasan Gunung Sumbing memberikan inspirasi warga Krandegan untuk menunjukkan keseharian mereka yang bergaul akrab dengan jagat lelembut gunungnya. Inspirasi mereka itu dituangkan secara polos melalui instalasi seni petani yang dibuatnya menggunakan berbagai bahan alam setempat dan kemudian mereka namai "Lelembut Gunung".

"Boleh percaya boleh tidak. Bagi kami, lelembut bukan menakutkan, tidak mengganggu kami, bukan untuk disingkirkan. Tetapi, untuk salah satu dasar kami berpikir arif tentang lingkungan. Kami berdampingan dan juga bergaul dengan lelembut gunung, untuk menjaga lingkungan alam kami. Setiap hari," kata Sarwo Edhi.