Mereka rupanya penghuni Balai Rehabilitasi Sosial Mandiri II Semarang. Sekilas tak ada yang mengira kalau bocah-bocah remaja itu ternyata pernah bersentuhan dengan narkotika dan obat/bahan berbahaya (narkoba).

"Ayo shalat dulu," kata salah satu petugas balai yang membuat obrolan mereka terhenti. Mereka segera mencari sarung, peci, dan mengambil air wuduk, sementara perempuan setengah baya yang menjadi petugas itu nampak menunggu.

Setelah itu, para bocah berusia belasan tahun itu segera diajak ke masjid yang berada di kompleks itu untuk menunaikan shalat zuhur berjamaah. Ruangan asrama yang dinamai "Wisma Gadjah Mada" itu pun langsung terlihat lengang.

Mohammad Rofiq (35), pengasuh Wisma Gadjah Mada Balai Rehabilitasi Sosial Mandiri II Semarang mengungkapkan ruangan itu memang digunakan khusus untuk menampung pencandu narkoba yang menjadi anak binaan balai tersebut.

"Setiap semester rata-rata kami menerima 10 anak yang menjadi korban narkoba. Kebetulan, pada semester ini hanya ada tujuh anak yang ditampung. Mereka menjalani pembinaan di balai ini selama enam bulan," katanya.

Pria yang sudah bergelut dengan rehabilitasi korban narkoba sejak 2004 itu mengakui bahwa para anak binaan yang ditampung di balai rehabilitasi itu merupakan pencandu narkoba yang belum berada pada taraf berat.

Tingkatan kecanduan, katanya, menentukan proses penyembuhan para korban sehingga para anak binaan balai rehabilitasi itu yang belum terlalu dalam "bermain" dengan narkoba memiliki potensi sangat besar disembuhkan.

"Kalau sudah pencandu berat, apalagi yang sudah terserang syarafnya kami rujuk ke Panti Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Lido, Bogor, Jawa Barat. Kalau yang di sini (Semarang, red.) pencandu baru," katanya.

Meski demikian, para bocah penghuni balai rehalibitasi itu tetap harus mendapatkan perhatian dan pembinaan lebih agar terbebas dari jerat narkoba, apalagi mereka kebanyakan masih berada dalam usia produktif.

Rofiq yang mengaku pernah menangani pencandu narkoba dari tahap berat hingga ringan itu memastikan bahwa keberadaan mereka di balai rehabilitasi itu atas kemauan sendiri dan tidak ada paksaan dari pihak mana pun.

"Kalau tidak atas kemauan sendiri (si pecandu, red.) untuk sembuh ya berat, tidak bisa. Di sini kami bina mental mereka, bekali dengan agama, ajarkan keterampilan. Tujuannya, mereka kelak bisa berubah dan mandiri," katanya.

Para alumni balai rehabilitasi itu yang sudah berhasil dalam usaha juga kerap diundang untuk memberikan motivasi kepada para anak binaan, misalnya alumni yang sudah memiliki bengkel sendiri, atau sudah punya toko sendiri.

Salah satu anak binaan, Ro (20) asal Demak mengaku ingin sembuh dari ketergantungannya terhadap narkoba sehingga dia mau tinggal di balai rehabilitasi yang beralamat di Jalan Amposari II Kelurahan Sendangguwo Semarang itu.

"Saya tinggal di sini atas kemauan sendiri. Orang tua pun tahunya saya ke Semarang untuk kursus, karena mereka juga tidak tahu kalau saya pencandu narkoba. Saya hanya ingin sembuh dan menjadi lebih baik lagi," katanya.

Remaja lulusan SMP itu mengaku mengenal narkoba mulai usia 16 tahun. Pil dextro yang pertama kali dicicipinya merupakan pemberian temannya, kemudian meningkat ke nipam, hingga bermacam obat terlarang pernah dikonsumsinya.

Pekerjaan sambilannya sebagai pengamen turut memperparah keterjeratan hidupnya dengan narkoba, sebab banyak temannya di jalanan yang juga mengonsumsi narkoba dan membuatnya semakin berani "bermain api".

"Saya ke sini ingin sembuh. Saya yakin bisa, sebab semua bergantung dengan keinginan dan doa. Saat awal-awal berhenti mengonsumsi narkoba memang terasa sulit, tetapi lama-lama ternyata ya bisa juga," katanya.

Stigma negatif bagi pencandu
Kepala Balai Rehabilitasi Sosial Mandiri II Semarang Wibowo mengungkapkan pihaknya tidak hanya menangani pencandu, tetapi juga anak nakal dan anak jalanan dengan jumlah total anak binaan saat ini mencapai 80 orang.

"Dari 80 anak binaaan kami, pencandu narkoba hanya berjumlah tujuh orang. Mereka ditempatkan khusus di Wisma Gadjah Mada di bawah tanggung jawab dua orang, yakni satu petugas pembimbing dan satu pengasuh," katanya.

Sebenarnya, balai rehabilitasi itu memiliki 10 wisma yang masing-masing memiliki pembimbing dan pengasuh, Wisma Gadjah Mada dipilih untuk pencandu narkoba karena letaknya yang berjauhan dari sembilan wisma lain.

Pemilihan Wisma Gadjah Mada, diakuinya, untuk memudahkan pengawasan karena letaknya yang dekat dengan kantor dan mengantisipasi terjadinya komunikasi aktif anak binaan yang pencandu dengan anak binaan yang lain.

"Kalau dijadikan satu, kami khawatir mereka-mereka ini bisa mengajak anak jalanan dan anak nakal yang dibina di sini ikut menjadi pengguna narkoba. Meski terpisah, tidak ada pembedaan pelayanan dan fasilitas," katanya.

Wibowo menjelaskan seluruh anak-anak binaan harus menjalani proses rehabilitasi selama enam bulan (satu semester), berupa pembenahan mental, pembinaan kedisiplinan, pembekalan agama, dan pelatihan keterampilan.

Untuk pembenahan mental dilakukan para petugas balai rehabilitasi secara rutin melalui berbagai kegiatan, salah satunya bimbingan sosial dan "jumpa pagi", atau semacam "sharing" antara petugas dengan para anak binaan.

Pembekalan agama kepada anak-anak binaan juga dilakukan oleh internal balai rehabilitasi, sementara pembinaan kedisiplinan dilakukan bekerja sama Polri dan TNI secara rutin melalui kegiatan apel malam.

Pelatihan keterampilan dilakukan bekerja sama dengan Balai Latihan Kerja Industri (BLKI) Semarang, meski ada beberapa pelatihan keterampilan yang digelar di balai, seperti kendaraan roda dua, roda empat, dan las.

"Anak-anak binaan kami boleh memilih bidang keterampilan yang diminatinya, terserah mereka. Ada yang suka automotif dan las, ada pula memilih elektronika, seperti servis telepon seluler dan AC (air conditioner)," katanya.

Proses rehabilitasi yang hanya berlangsung enam bulan, diakuinya memang singkat dan kemungkinan tidak cukup untuk membina mereka dari seluruh aspek, tetapi itu sudah tertuang dalam petunjuk teknis rehabilitasi.

Seluruh kebutuhan hidup para anak binaan, seperti pakaian, makan, dan sebagainya ditanggung balai rehabilitasi, termasuk paket alat keterampilan sesuai bidang keahlian yang diberikan selepas mereka selesai direhabilitasi.

Wibowo mengakui masyarakat selama ini masih melabelkan stigma negatif kepada para pencandu narkoba, padahal mereka seharusnya dirangkul dan dibina untuk menjadi baik, bukan kemudian dicaci dan dicap negatif.

"Kalau mereka (pecandu, red.) sudah direhabilitasi ya harus diterima kembali di masyarakat. Namanya saja Balai Rehabilitasi, tempat untuk merehabilitasi perilaku yang semua negatif menjadi positif," katanya.

Selama ini, banyak alumni balai rehabilitasi itu yang membuka usaha mandiri dan berhasil sehingga mereka menjadi pemancing motivasi para anak binaan yang masih menjalani rehabilitasi di tempat tersebut.

"Kalau ditanya dari mana saja anak-anak binaan kami, selama ini hampir merata dari seluruh wilayah Jateng, misalnya Demak, Rembang, dan Cilacap. Bahkan, dari Kota Semarang sendiri juga ada," kata Wibowo.

Menanggapi hal itu, pakar hukum pidana Universitas Diponegoro Semarang Prof Nyoman Sarikat Putrajaya mengatakan Undang-Undang tentang narkotika telah mengatur bahwa pencandu yang menjadi korban mendapat rehabilitasi.

Perlu ada pembedaan antara pengedar dan penyalahguna atau pencandu sebagai korban, sebab penyalahguna sesuai UU Narkotika lebih ditekankan berhak untuk mendapat rehabilitasi, baik secara medis maupun sosial.

"Kalau untuk pengedar atau gembong narkoba pantas diancam hukuman mati. Namun, penyalahguna narkoba yang menjadi korban sebaiknya diharuskan menjalani rehabilitasi," kata Guru Besar Fakultas Hukum Undip itu.