Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono berpendapat bahwa hal itu sesuai dengan semangat dan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945. "Saya juga berharap kewenangan pengawasan ini tidak kembali digugurkan ketika dibawa kembali ke MK (Mahkamah Konstitusi)," kata Presiden di Kantor Presiden, Jakarta, Sabtu (5/10).

Penerbitan Perpu MK dan pemberhentian sementara Akil Mochtar sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi pascapenangkapan yang bersangkutan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada hari Rabu (2/10) merupakan langkah tepat dalam keadaan yang genting seperti sekarang ini.

Setidaknya langkah tersebut merupakan keran untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi. Ibarat tikus di lumbung padi jangan dibakar lumbungnya, apalagi pembentukan lembaga negara itu sesuai dengan amanat UUD 1945.

Keran pemulihan citra MK makin terbuka lagi menyusul kabar pengunduran diri Akil sebagai hakim MK. Bahkan, seperti yang diwartakan, perihal pengunduran diri tersangka kasus suap terkait dengan Pilkada Gunung Mas dan Lebak itu diumumkan melalui sebuah konferensi pers di Kantor Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Sabtu (5/10) malam hingga Minggu (6/10) dini hari.

Kasus suap tersebut sempat mengguncangkan dunia peradilan di Tanah Air hingga mendorong penerbitan perpu yang berlandaskan Pasal 1 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Pasal tersebut menjelaskan bahwa peraturan pemerintah pengganti undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.

Lepas dari situasi genting tersebut, ada hal yang menarik jika Perpu MK ini jadi diterbitkan, yakni perpu tersebut akan menganulir Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 yang merupakan putusan terhadap perkara permohonan pengujian UU No. 22/2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) dan pengujian UU No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK) yang diajukan oleh 31 hakim agung pada Mahkamah Agung (MA).

Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang dipimpin oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. pada hari Rabu, 23 Agustus 2006, menyatakan Pasal 1 Angka 5 UU KY sepanjang mengenai kata-kata "hakim konstitusi", kemudian frasa "dan/atau Mahkamah Konstitusi" dalam Pasal 24 Ayat (1), Pasal 25 Ayat (3), dan Pasal 25 Ayat (4) tidak berlaku lagi karena bertentangan dengan UUD 1945.

Begitu pula, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 Ayat (1) Huruf e, Pasal 22 Ayat (5), Pasal 23 Ayat (2), Pasal 23 Ayat (3), dan Pasal 23 Ayat (5) UU No. 22/2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Berkaitan dengan UU No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358), MK menyatakan Pasal 34 Ayat (3) UU KK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pasal 34 Ayat (3) yang berbunyi, "Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang". Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ini, menurut amar putusan MK, bertentangan dengan UUD 1945.

MK berpendapat bahwa pasal tersebut tidak sesuai dengan rumusan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 berbunyi, "Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim".

Oleh karena itu, segala ketentuan UU KY yang menyangkut pengawasan harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid), demikian amar putusan tersebut.

Tujuh tahun kemudian, Presiden berencana menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang akan mengembalikan kewenangan KY soal pengawasan terhadap hakim, termasuk hakim MK. Atau, bertolak belakang dengan amar Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006.

Setelah diajukan ke DPR RI, "bola" berada di tangan wakil rakyat apakah menerima atau menolak Rancangan Undang-Undang tentang Perpu tentang MK menjadi undang-undang.

Jika DPR RI menerima Perpu MK menjadi UU, Undang-Undang tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi ini terancam dianulir oleh MK. Apalagi, berdasarkan ketentuan Pasal 24C UUD 1945, MK dapat mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD.

Dengan demikian, menjadikan lembaga negara terjebak lingkaran setan. Hal ini tidak bakal terjadi bila penegak hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya selalu berlandaskan keyakinan bahwa Tuhan itu ada. Maha Pengawas selalu melihat apa saja yang mereka perbuat.

Jika anak bangsa ini berkeyakinan bahwa Tuhan itu ada, jangankan berbuat, berpikir untuk memberi uang sogok kepada hakim konstitusi agar perkaranya menang di MK pun tidak berani karena tidak bakal lolos dari Maha Pengawas.

Kasus suap pun tidak mewarnai lagi lembaga peradilan, apalagi sampai mendorong sejumlah lembaga negara saling menganulir produk perundang-undangan di Tanah Air yang berujung pada lingkaran setan, yang terkesan sulit untuk menyelesaikannya.