Kedua orang yang masing-masing mengenakan pakaian adat Jawa, berupa surjan, belangkon, dan bebet itu, kira-kira berumur 80 tahun. Mereka adalah warga Dusun Sudimoro, Desa Baleagung, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Lokasi dusun itu relatif tidak jauh dari Gunung Andong, tetapi cukup jauh dari pusat keramaian kawasan setempat di Kota Magelang, terutama mereka yang masih muda-muda, ada yang ke Jakarta, Yogyakarta, dan Semarang.

"Ada juga yang di Kalimantan. Kalau sudah pergi, tidak kembali," kata Muhsari, satu di antara lelaki tua itu.

Dalam percakapan dengan bahasa Jawa, dia juga menyebut sejumlah daerah lainnya yang menjadi tempat warga setempat merantau, yang dianggap sebagai jauh dari dusun itu. Parmadi, lelaki satunya, seakan "mengamini" Muhsari.

Perbincangan mereka pada hari Minggu (11/5) pagi itu pun merambah tentang Kiai dan Nyai Moro, cikal bakal dusun yang dimakamkan di pekuburan setempat.

Namun, kedua laki-laki itu kemudian berpandangan sejenak, saling mencari jawab tentang asal usul cikal bakal dusun tersebut karena mereka ternyata sama-sama tidak tahu. Ihwal yang diketahui mereka tentang Kiai dan Nyai Moro, sebatas cerita turun temurun bahwa "Moro" kemudian menjadi nama dusun "Sudimoro" yang artinya bersedia hadir.

Mereka juga bercerita tentang air untuk pertanian dusun itu yang mengalir melalui Sungai Bolong. Aliran air kali itu berhulu di Gunung Andong. Akan tetapi, cukup banyak juga ditemukan sumber air relatif kecil-kecil bertebaran di dekat areal pertanian dusun setempat.

"Tidak pernah kami kesulitan air di sini, untuk yang sawah, airnya dari mata air dan Sungai Bolong, yang di rumah-rumah ada yang pakai sumur dan dari PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum)," kata Parmadi.

Umumnya warga setempat yang hidup bertani, mengolah areal mereka dengan tanaman padi, palawija, dan beberapa komoditas hortikultura. Pekarangan rumah warga juga ditanami buah-buahan. Sebagian warga lainnya bekerja sebagai pedagang, pegawai baik negeri maupun swasta di daerah sekitar. Jumlah warga dusun itu 63 kepala keluarga atau 222 jiwa.

"Dulu, kalau musim hujan, susah untuk orang sampai dusun ini karena jalannya berlumpur, sekarang sudah makadam dan semen," kata Kepala Dusun Sudimoro Daryosutopo (55) menimpali perbincangan mereka.

Saat ini, jalan dusun yang totalnya sepanjang sekitar 1.000 meter itu telah disemen dan sebagian kecil berupa makadam, melalui gotong-royong warga.

Di tengah perbincangan tentang dusun mereka makin terkesan hangat, tabuhan gamelan dengan gending "Manyar Sewu" dari tempat upacara tradisi "Merti Bumi Sudimoro", di tanah lapang belakang rumah warga setempat, Sih Agung Prasetyo, terdengar.

Tempat itu, telah didirikan panggung untuk penabuh gamelan dan tempat mementaskan "Wayang Gunung". "Wayang Gunung" yang berupa belasan karakter serangga adalah karya Sujono, seorang petinggi kelompok seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang. Pentas wayang itu dengan dalang Sih Agung Prasetyo yang juga pegiat Komunitas Lima Gunung.

Tempat di kiri dan kanan panggung berupa instalasi dua gunungan terbuat dari anyaman janur, sedangkan berbagai tempat lainnya juga dihias rangkaian janur dengan berbagai corak.

Suara gending yang dimainkan oleh anak-anak dusun setempat dalam kelompok "Karawitan Sudilaras" itu, menjadi penanda prosesi "Merti Bumi Sudimoro" setiap Minggu Kliwon dalam Rajab oleh masyarakat setempat, hendak dimulai.

Mereka melakukan prosesi dengan arak-arakan warga sambil mengusung, antara lain sejumlah tandu isi tumpeng, gunungan hasil bumi (palawija, sayuran, buah-buahan, dan padi), satu tandu lainnya berupa alat-alat pertanian (cangkul, arit, dan garu).

Sejumlah warga menuntun beberapa ekor kambing, lainnya membawa "Wayang Gunung", sedangkan para lelaki lainnya membawa "ambeng" (nasi, sayuran, dan lauk-pauk) sebagai sarana kenduri "Merti Bumi Sudimoro".

Puluhan anak, masing-masing membawa seutas anyaman janur dalam bentuk yang mereka namakan "keris-kerisan". Mereka semua dengan "cucuk lampah" (pemimpin) Topo "Kucir" yang menari-nari, berjalan kaki melewati jalan-jalan dusun dalam prosesi itu diiringi tabuhan gong, kempul, dan kentongan, hingga tiba lagi di tempat utama upacara tradisi "Merti Bumi Sudimoro".

Warga kemudian duduk bersila di atas tikar di depan panggung sambil menghadap "ambeng" masing-masing. Imam Masjid Al Mutaqim Dusun Sudimoro Suharno memimpin doa "Merti Bumi Sudimoro" secara islami.

"Kita bersama mengucapkan syukur atas dusun ini, bersyukur kepada Allah SWT atas hasil panenan padi dan palawija setahun ini. Juga memohon kelancaran dan keselamatan dalam bertani, berdagang, dan bekerja lainnya. Untuk anak-anak, semoga rajin belajar untuk menjadi anak pandai," kata Suharno dalam pengantar doanya menggunakan bahasa Jawa itu.

Mereka juga diajak untuk bersyukur atas cikal bakal dan pendahulu Dusun Sudimoro karena telah mewariskan kesuburan sawah, tegalan, dan alam dusun.

"Karena kepandaian leluhur, kita menikmati warisan dusun ini sampai sekarang. Mari kita mendoakan arwah nenek moyang, dan melanjutkan kearifan mereka," katanya.

Usai doa yang takzim itu, warga bersama-sama menyantap kenduri sambil mengikuti dialog para tokoh "Wayang Gunung" yang dimainkan dalang Sih Agung Prasetyo.

Rangkaian perayaan tradisi mereka, juga dimeriahkan dengan pentas kuda lumping leak dari Dusun Legetan, Desa Banaran, Kecamatan Grabak dan Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak.
"Merti Bumi Sudimoro" telah menjadi waktu spesial mereka, secara guyub mensyukuri dusunnya.