Spirit bekerja dengan ikhlas yang dilakukan burung pipit, bahkan dikisahkan sebagai tidak lagi mengalkulasi risiko keselamatan diri sehingga usahanya memadamkan kebakaran hutan dimaknai sebagai perjuangan secara total untuk suatu nilai kemuliaan.

Panel kisah burung pipit yang reinkarnasi dari bodhisatwa itu ditahtakan di relief lorong pertama, dinding langkan kiri deret atas, sisi selatan candi Buddha terbesar di dunia yang dibangun di antara aliran Kali Elo dan Progo Kabupaten Magelang.

Relief burung pipit di Candi Borobudur yang warisan budaya dunia, peninggalan sekitar abad ke-8 masa Dinasti Syailendara tersebut, menjadi bagian dari cerita Jataka.

Selain berupa pahatan menggambarkan kobaran api, di panel tersebut juga terpahat wujud seekor monyet, tiga kijang, dan 10 burung pipit.

Gambaran yang mewakili berbagai makhluk hidup itu, dikisahkan meninggalkan hutan yang dilalap si jago merah, sedangkan seekor burung pipit di dalam pahatan berbentuk lingkaran, diceritakan berupaya sekuat tenaga memadamkan api.

"Umumnya kepada wisatawan, ceritanya adalah burung pipit yang memadamkan kebakaran hutan," kata pemandu wisata Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Muhammad Hatta di depan panel relief tersebut, siang itu.

Burung pipit itu terbang ke telaga yang dalam bagian panel lain menandakan sebagai telaga suci. Ia membasahi tubuhnya dengan air telaga, lalu kembali terbang menuju hutan yang terbakar.

Ia terbang di atas hutan yang terbakar. Dia kibas-kibaskan sayapnya agar air yang menempel di tubuh kecilnya itu jatuh dengan harapan kobaran api bisa padam. Berulang kali, usaha keras mengatasi si jago merah dilakukan burung mungil tersebut, hingga dia teramat kelelahan dan akhirnya mati.

"Yang dikenang dalam relief burung pipit itu, bukan soal gagal memadamkan api, tetapi usaha keras dan tulus untuk mengatasi berbagai persoalan, dalam gambaran hutan yang terbakar. Itulah pesan moral kebangsaan untuk para calon presiden kita saat ini," kata budayawan Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Sutanto Mendut.

Hanya dua pasangan kandidat dengan dukungan koalisi partai politik masing-masing, yang mendaftar untuk mengikuti Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 9 Juli 2014. Dua pasangan calon presiden dan wakil presiden itu, Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Pasangan Jokowi-JK diusung koalisi PDI Perjuangan, Partai Nasional Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Hati Nurani Rakyat, sedangkan Prabowo-Hatta diusung Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Golkar.

Masa pendaftaran Pilpres di Komisi Pemilihan Umum selama tiga hari yang lalu, dibuka pada tanggal 18 Mei 2014. Hari penutupannya pada tanggal 20 Mei 2014, bertepatan dengan rakyat Indonesia melakukan tradisi kebangsaan berupa peringatan Hari Kebangkitan Nasional.

Setidaknya selama masa pendaftaran itu, perpolitikan negeri diwarnai dengan "akrobat" para elitenya untuk memutuskan sikap parpol, membangun koalisi, dan mengusung pasangan kandidat untuk disuguhkan pada pesta demokrasi, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI mendatang.

Gonjang-ganjing politik setidaknya selama tiga hari terakhir itu, seakan terfokus kepada para elite yang mengupayakan langkah mereka dengan partai politik masing-masing, memasuki pintu ruang pesta memperebutkan kursi kepresidenan dengan menyuguhkan para pasangan kandidatnya.

Begitu dua pasangan kandidat, Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta, berada di ruangan pesta untuk meraih kursi kepresidenan, seakan-akan inspirasi kisah burung pipit dari relief Candi Borobudur disuguhkan secara terkini oleh Komunitas Lima Gunung kepada mereka.

Burung pipit itu seolah-olah dikisahkan terbang mengirim surat kebudayaan kepada mereka, sebagai yang akan melakukan tugas mulia dan memadamkan api yang berkobar membakar hutan jika kelak memenangi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Surat terbuka dengan kalimat judul cukup panjang, "Lima Surat Burung Pipit di Ranting Pohonan Sungai Lembah Lereng Lima Gunung 2014" dibaca oleh Taufik, seorang pegiat komunitas yang umumnya beranggota kalangan seniman petani kawasan lima gunung setempat.

Pembacaan surat itu, dalam rangkaian peringatan Hari Kebangkitan Nasional 2014 yang secara sederhana diselenggarakan oleh Komunitas Lima Gunung, Selasa (20/5) malam, dengan performa utama berjudul "Inong Ajar Monolog" di ruang terbuka bernama "Sendang Pitutur", kompleks Studio Mendut, sekitar 3,5 kilometer timur Candi Borobudur.

Sebanyak lima poin isi surat kebudayaan itu, antara lain menyangkut keserakahan karena batas duit dengan nilai hidup sebagai anak bangsa yang tidak paralel, tata ekonomi politik namun nirsosial-budaya yang berakibat karma akar budaya nusantara dengan kesaksian sejarahnya yang selalu disebut kemerosotan.

Selain itu, tentang teks dan wancana linguistik kontemporer, baik tulis, lisan, maupun gerak visual di media massa dan sosial yang memprihatinkan karena jauh dari refleksi peningkatan kepribadian.

Dalam surat terbuka yang dibacakan oleh Taufik dengan diselingi suara tiruan berbagai satwa dari mulutnya tersebut, juga berisi tentang kedaulatan rakyat yang belum terejawantah proses sejati, tetapi masih titipan kekuatan penguasa sektoral dan jauh dari partisipasi murni sosial.

Selain itu, menyangkut kemerosotan mental, harga diri, dan kerohanian yang tak mampu ditangani penguasa selama ini, yang mudah dipotret di sembarang tempat dan waktu, serta menyangkut berbagai kalangan, baik sebagai korban maupun pelaku.

"Apakah itu, termasuk sejarah kecacatan rentetan penguasa sekian dekade, hingga hari ini, 20 Mei 2014, menjelang presiden baru?" demikian kalimat bernada refleksi yang menjadi bagian dari surat terbuka tersebut.

Pembacaan surat kebudayaan itu tampaknya sebagai kiriman sinyal pengingat kepada presiden yang akan terpilih mendatang agar melakukan peran tulus sebagai burung pipit atas kondisi karut-marut bangsa saat ini, sebagaimana tafsir bebas terhadap relief hutan berkobar api di Candi Borobudur.