Logo Header Antaranews Jateng

Energi "Sanak Kadang" di Lima Gunung

Senin, 25 Agustus 2014 18:57 WIB
Image Print
Sejumlah seniman menggelar ritual saat prosesi kirab Festival Lima Gunung XIII di kawasan Gunung Merbabu, Desa Warangan, Pakis, Magelang, Jateng, Minggu (24/8). FLG kali ini menampilkan berbagai seni tradisional dan kontemporer dari berbagi komunitas

Remaja bernama Atika Sekar (17) tersebut, saat ini murid kelas XII SMA Negeri 1 Kota Mungkid dan sehari-hari tinggal di Studio Mendut, dekat sekolahnya, setelah sebelumnya tinggal bersama keluarganya yang sederhana di Desa Sirahan, Kecamatan Salam, satu daerah yang diterjang banjir lahar Merapi pada akhir 2010-pertengahan 2011.

Oleh karena tinggal di Studio Mendut yang menjadi pusat pergulatan kebudayaan Komunitas Lima Gunung, Atika seakan menjadi tahu secara mendalam dan menangkap ruh spiritual yang menghidupi komunitas itu.

Komunitas Lima Gunung dengan pusat-pusat kelompoknya di Dusun Krandegan dan Wonolelo (Gunung Sumbing), Studio Mendut (Menoreh), Tutup Ngisor (Merapi), Gejayan dan Warangan (Merbabu), Keron (Merapi-Merbabu), dan Mantran (Andong) dibangun dalam proses bersama secara natural para seniman petani dengan jejaringnya, oleh Sutanto Mendut.

Saat ini, Sutanto yang pemimpin tertinggi komunitas dan sering dengan akrab disebut "Presiden Lima Gunung" itu, juga menjadi bapak asuh Atika.

Bakat Atika berpuisi ditangkap komunitas itu, selagi dia dengan terpaksa hidup di pengungsian korban banjir lahar hujan Gunung Merapi, relatif dekat dengan Studio Mendut.

Bersama anak-anak lainnya pada 18 Juni 2011, dia turut berproses dalam pergelaran "Merapi Masih Tersenyum", diprakarsai budayawan dan kawan dekat Sutanto Mendut, Arswendo Atmowiloto.

Cukup banyak karya puisinya hingga saat ini yang telah dibacanya dalam berbagai kesempatan pergelaran seni budaya Komunitas Lima Gunung, baik di Magelang maupun di berbagai kota lainnya.

Saat puncak Festival Lima Gunung XIII di bawah rindang pepohonan cengkih kawasan Gunung Merbabu, Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Minggu (24/8), dia bacakan puisi terbarunya berjudul "Sanak Kadang" (persaudaraan dan kekeluargaan).

Puisinya yang kemudian mendapat respons Sutanto itu, menyiratkan betapa energi "sanak kadang" orang desa dalam Komunitas Lima Gunung, dirasakan telah mengukir jalan hidupnya selama ini, pascabencana lahar hujan dari Gunung Merapi.

"Hatiku terjerumus dalam padang ilalang. Tangisku terhapus tiupan angin. Nyanyianku diiringi derit bambu. Tarianku bertabur bunga. Langkahku terkait sanak. Terbelenggu 'kadang'. Ikatanku bukan darah. Sanakku bukan trah. 'Kadangku' bukan marga. Namun, mendaging dalam tubuhku. Menyatu dalam keinginanku. Lihat aku. Terpatri dalam kemanjaan. Yang nyaris abadi. Terperosok keindahan Lima Gunung. Menyatu 'sanak kadang'. Berbaur di padang ilalang," begitu puisi karyanya yang dibaca Atika dalam suara "dingin".

Pembacaan puisi tersebut bagian dari peluncuran buku berjudul "Sanak Kadang", kumpulan tulisan karangan khas tentang berbagai aktivitas Komunitas Lima Gunung selama beberapa terakhir (2011-2014) yang disiarkan Kantor Berita Antara.

Peluncuran buku yang ditandai pembacaan puisi Atika "Sanak Kadang" itu, saat puncak festival tahunan Komunitas Lima Gunung yang diselenggarakan tanpa meminta bantuan sponsor, donatur, dan pemerintah, termasuk tanpa berembuk duit.

Kemandirian penyelenggaraan festival mereka dalam semangat "sanak kadang" seperti itu, mungkin ihwal yang menjadi kekuatan pesta tahunan seni budaya kerakyatan komunitas tersebut.

Festival Lima Gunung XIII pada 23-24 Agustus 2014, antara lain menggelar sedikitnya 31 kesenian tradisional, modern, dan kontemporer, serta kolaborasi seni, baik oleh seniman petani dari berbagai kelompok di Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang maupun jejaringnya di berbagai kota, seperti Kendal, Kota Magelang, Yogyakarta, Solo, Malang, Kediri, dan Surabaya. Sejumlah kelompok penyaji lainnya, adalah kalangan pelajar SLTP dan SLTA di Kabupaten dan Kota Magelang.

Selain itu, pameran lukisan dan topeng oleh para pekerja seni dari kawasan Candi Borobudur, kuliner desa oleh warga Dusun Warangan, performa seni, kirab budaya dan prosesi ritual dipimpin sesepuh Dusun Warangan, Mbah Jumo, serta orasi budaya.

Hadir pada festival tersebut, antara lain sutradara Garin Nugroho, Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko Lailly Prihatiningtyas, Direktur Borobudur Writers and Cultural Festival Yoke Darmawan, dan penari asal Jepang Kaori Okado.

Selain itu, pengajar Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta yang juga pendiri kelompok "Sahabat Lima Gunung" Kota Surakarta Joko Aswoyo, pengajar kebudayaan Institut Kesenian Jakarta Johann Mardjono, Koordinator Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI) Umar Chusaeni, dan Ketua Dewan Kesenian Kota Magelang Susilo Anggoro.

Selama dua hari pergelaran, arena panggung festival di bawah rimbun pepohonan cengkih yang diintalasi dengan bahan alami seperti jerami, bambu, dan dedaunan, dipadati penonton, baik warga desa-desa sekitar maupun mereka yang datang dari berbagai kota, termasuk pengunjung dari mancanegara.

Dusun Warangan yang juga tuan rumah Festival Lima Gunung pertama dan kedua pada 2002 dan 2003, pada festival ke-13 berhias penjor dari jerami dan berbagai instalasi jerami menjadi berbagai bentuk yang dikerjakan secara gotong-royong warga setempat selama sebulan terakhir.

Keramahan warga dusun terasa saat mereka menyambut kedatangan para pengunjung festival. Warga juga menyiapkan rumah-rumah mereka yang sederhana desa tersebut, untuk menginap para tamu festival.

"Puisi Atika, saya kira bagus. Itulah 'nucleus family'. Anak korban banjir lahar itu merumuskan puisinya sangat bagus. Tentang 'sanak kadang' bukan sekadar darah, bukan hereditas, bukan sekadar trah, tapi hubungan antarmanusia," ucap Sutanto dalam pidato kebudayaannya pada puncak Festival Lima Gunung XIII.

Ia mengemukakan bahwa sebutan "sanak kadang" pertama kali untuk Komunitas Lima Gunung ditorehkan oleh Bre Redana yang juga budayawan, penulis budaya, dan Ketua Pengurus Dewan Pelatih Persatuan Gerak Badan Bangau Putih.

Tentang Komunitas Lima Gunung dengan para tokoh dan pegiatnya yang bermacam karakter personal dan kelompok, keadaan riil kehidupan harian, dan pekerjaan, yang koeksistensi itu, menurut dia, disebut Bre sebagai cermin atas hubungan antara raga, spirit, dan pikiran yang menjadi praktik harian komunitas.

"Proses Lima Gunung sampai 13 tahun festival. Komunitas Lima Gunung yang sudah 17 tahun, embrionya dengan para tokoh dan para perintis serta relasinya selama 20 tahun. Guyonan kita adalah 'sanak kadang'. Itu saya kira tepat hubungan 'sanak kadang', persaudaraan," tuturnya.

Kalau dalam Islam, katanya, ada ukhuwah islamiah, "ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah", yakni persaudaraan antarsesama umat Islam, sesama bangsa, dan sesama manusia.

Ia juga menyebut bahwa hubungan "sanak kadang" juga menjadi bagian penting dari kekuatan untuk membangun ketahanan bangsa.

"Ketahanan bangsa itu, ketahanan spiritual, ketahanan ragawi, ketahanan lingkungan," ucapnya.

Garin menyebut "sanak kadang" sebagai kekuatan Komunitas Lima Gunung, termasuk kekuatan mereka untuk membangun regenerasi yang bersumber dari kodrat gunung. Ia menggambarkan letusan gunung sebagai siklus kehidupan alam dan manusianya.

"Sifat 'sanak kadang' menjadi persaudaraan Lima Gunung, modal besar masyarakat gunung. Gunung selalu luar biasa dalam sejarah Indonesia. Wayang ada gunungan untuk memulai dan menutup pementasan. Teman-teman Lima Gunung mempunyai berkah yang luar biasa," ujarnya.

Mbah Jumo saat memimpin ritual ketiga, berupa prosesi "Ondo Kencono Sanak Kadang Lima Gunung" di arena Festival Lima Gunung 2014, dalam bahasa Jawa mengucapkan doa secara kejawen untuk berkah, keselamatan, dan kebahagiaan mereka semua bersama keluarga masing-masing, yang hadir pada pesta kesenian dan budaya Lima Gunung.

Ritual pertama dalam rangkaian kirab seniman Komunitas Lima Gunung di perempatan jalan dusun setempat, kedua di pendapa sederhana Sanggar Warangan Merbabu, dan ketiga di arena panggung festival di bawah pepohonan cengkih.

Kata-kata "sanak kadang" berulang-ulang meluncur dengan lancar dari mulut lelaki berumur 57 tahun yang mengenakan pakaian adat Jawa itu, mengiring penyebutan para cikal bakal Dusun Warangan, seperti Kiai Dalem Pendek, Kiai dan Nyai Sindusekti, Kiai dan Nyai Rumput, dan Kiai Sriyun yang dimakamkan di kolam dusun setempat.

"'Mugi kasuwun berkahipun, kasuwun donganipun kangge para sanak kadang saking Lima Gunung. Mugi-mugi tinebihing sambekala, kacaketna rahayu slamet saking kersaning Gusti, ngawontenaken tumbasing peken, kangge lelampahan saben dintenipun para sanak kadang saking Lima Gunung'," katanya yang kira-kira maksudnya memohon berkah dan doa untuk Komunitas Lima Gunung agar terjauhkan dari marabahaya dan mendapatkan rahayu serta keselamatan dari Tuhan.

Doa kejawen berupa permohonan berkah dari Tuhan untuk semua yang hadir dalam festival itu juga terucap dalam kalimat Mbah Jumo.

"'Mugi-mugi anggepinun pados pangupo jiwa sedaya Lima Gunung lan sumrambah dhateng para pengunjung, tamu saking pundi papan dumugi mriki, kulo nyuwunaken kaliyan Gusti, mugi-mugi Gusti maringi berkah, dipun paringi rejeki ingkang manfangat kangge kecekapan kluwarga samangke, dipun tularaken dhateng putra wayah. Mugi-mugi dipun paringi adhem, ayem, tentrem anggenipun bale wisma, tuwuh anggenipun karang kitri, pertanian, dagang, Mas wartawan sedaya dipun paringi lancar sedaya, ampun ngantos wonten saru, siku. Sedaya dipun paringi wilujeng'," paparnya.

Maksud ungkapan doa itu kira-kira berupa permohonan agar para tamu festival yang datang ke Warangan Merbabu mendapatkan berkah keselamatan, lancar dalam menjalani pekerjaan sehari-hari, dan beroleh rezeki yang cukup serta bermanfaat untuk keluarga masing-masing.

"'Rahayu.... rahayu... Slamet! Saking kersanipun (Dari kehendak, red.) Gusti'," kata Mbah Jumo.


Pewarta :
Editor: Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024