Logo Header Antaranews Jateng

'Biaya Siluman' Penghambat Serapan Anggaran

Sabtu, 19 September 2015 21:22 WIB
Image Print
ilustrasi
Supadi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah karena dinilai perusahaan jasa konstruksinya telah menerima kelebihan bayar atas proyek yang dibiayai APBN 2013 tersebut.

Selain Supadi, ada pula pimpinan perusahaan penyedia jasa konstruksi yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan pidana korupsi oleh Kejaksaan Tinggi dalam perkara pembangunan kolam retensi Muktiharjo Kidul, Pedurungan, Semarang, senilai Rp33,7 miliar.

Ketiga orang tersebut masing-masing Direktur dan Komisaris PT Harmony International Technology Handawati Utomo dan Tri Budi Purwanto, serta direktur CV Prima Design Tyas Sapto Nugroho.

Ketiganya bahkan telah ditahan dengan alasan untuk memudahkan proses penyidikan.

Sejumlah nama tersebut merupakan sedikit dari banyak penyedia jasa konstruksi yang tersangkut dalam dugaan korupsi pembangunan berbagai proyek yang dibiayai dengan uang negara.

Sangkaan yang dikenakan kepada para penyedia jasa konstruksi tersebut tidak jauh dari hasil pekerjaan yang diduga tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan.

Ketua Gabungan Pengusaha Konstruksi Seluruh Indonesia wilayah Jawa Tengah Joko Oryxahadi angkat bicara terkait dengan banyaknya penyedia jasa konstruksi yang tersangkut perkara pidana korupsi tersebut.

Ia prihatin dengan banyaknya kontraktor yang menjadi rekan kerja pemerintah dalam pembangunan infrastruktur namun justru menjadi tersangka.

Ia menilai para pekerja konstruksi yang bekerja atas perjanjian kerja sama dua belah pihak tersebut dikriminalisasi.

"Dalam melaksanakan proyek pemerintah ini kontraktor terikat perjanjian yang masuk dalam ranah hukum perdata," katanya.

Oleh karena itu, lanjut dia, jika di kemudian hari terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak atas perjanjian tersebut, maka upaya yang ditempuh seharusnya hukum perdata.

"Kalau kurang pekerjaan ya dilengkapi, kalau kelebihan bayar yang dikembalikan," tambahnya.

Namun, menurut dia, yang terjadi justru semakin memberatkan kontraktor, karena selain harus melengkapi dan membayar kelebihan, mereka juga harus dipidana.

Ia menilai jika kondisi tersebut terus terjadi, maka para penyedian jasa konstruksi tidak akan bisa bekerja dengan tenang.

Kondisi tersebut diakui praktisi hukum di Semarang, Josep Parera.

Pengacara yang sering mendampingi penyedia jasa konstruksi yang tersangkut pidana korupsi tersebut menilai pelanggaran hukum yang dilakukan para kontraktor tersebut berkaitan dengan tidak sesuainya hasil pekerjaan dengan spesifikasi yang ditentukan.

Menurut dia, hal tersebut merupakan akibat dari tuntutan penyedia jasa konstruksi menutupi beban biaya yang harus ditanggung agar tidak rugi.

"Biaya Siluman"
Josep menjelaskan selain biaya yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan pekerjaan serta perhitungan keuntungan, penyedia jasa konstruksi harus menyisihkan sejumlah anggaran proyek untuk memenuhi "fee" tersembunyi.

"'Fee' ini muncul saat pembahasan anggaran proyek antara DPRD dengan pemerintah daerah," katanya.

"Fee" tersembunyi yang diduga biasa dibagikan ke oknum di pemerintahan itu, lanjut dia, besarnya bisa mencapai 20 persen dari nilai proyek yang akan dikerjakan.

Akibat adanya "fee" tersebut, kata dia, pelaksana proyek terpaksa mengurangi volume pekerjaan agar tidak mengalami kerugian.

"Mereka ini sebenarnya bukan kontraktor nakal, namun justru jadi korban," katanya.

Keberadaan "biaya siluman" tersebut juga diamini oleh analis politik Universitas Diponegoro Semarang M Yulianto.

Yulianto menilai adanya "biaya siluman" menyebabkan penyerapan anggaran daerah, khususnya di bidang infrastruktur, menjadi seret.

"'Biaya siluman' ini justru menyebabkan terjadinya birokrasi biaya tinggi," katanya.

Ia menjelaskan "biaya siluman" yang muncul menyebabkan keengganan penyedia jasa konstruksi untuk ikut serta dalam pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur pemerintah daerah.

Menurut dia, "biaya siluman" yang sudah lama terjadi tersebut muncul saat pelaksanaan tender berbagai proyek yang dibiayai dengan uang rakyat.

"Ada 'fee' tersembunyi bagi oknum birokrasi dalam proyek-proyek infrastruktur tersebut," tambahnya.

Hal itu, lanjut dia, sering kali menyebabkan penyedia jasa konstruksi tidak mau berhubungan dengan proyek pemerintah.

"Dampaknya bisa berakhir dipidana," katanya.

Pangkas Regulasi Menghambat
Menurut Yulianto, untuk kembali mendorong penyerapan anggaran maka harus ada kepastian dihapuskannya perilaku birokrasi yang menghambat serta deregulasi yang berkaitan dengan penyedia jasa konstruksi serta PNS yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan proyek.

"Harus ada kebijakan yang melindungi pelaksana proyek agar tidak dengan mudah dipidana," katanya.

Menurut dia, serapan anggaran daerah di wilayah Jawa Tengah ini baru mencapai sekitar 52 persen.

"Untuk anggaran infrastruktur masih di bawah angka itu," katanya.

Oleh karena itu, menurut dia, harus ada inovasi dan kreativitas untuk mengatasi birokrasi berbiaya tinggi ini.

Pendapat serupa disampaikan Josep Parera mengenai petingnya deregulasi aturan yang berkaitan dengan keberadaan penyedia jasa konstruksi sebagai rekanan pemerintah.

Ia menilai terdapat dua aturan yang bisa mengatur perilaku para penyedia jasa sektor konstruksi ini, yakni Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Menurut dia, penyedia jasa konstruksi tidak serta merta harus dijerat langsung dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Perbuatan merugikan bukan semua karena kesengajaan. Tetapi kalau sejak awal disengaja, bisa dipidana," katanya.


Pewarta :
Editor: M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025