Logo Header Antaranews Jateng

Pendidikan Karakter di antara Gemerlap Teknologi Informasi

Rabu, 3 Mei 2017 08:49 WIB
Image Print
Ilustrasi - Seorang anak membuang sampah ke tempatnya saat dilaksanakan acara Pendidikan Karakter Lingkungan dan pemecahan rekor Muri untuk kategori empat ribu anak Makan Jelly Terbanyak di Indonesia bersama Okky Jelly di Magelang, Jateng, Sabtu (15/
Soal kejujuran? Mereka rela korbankan demi angka-angka nilai mata pelajaran yang diujikan. Ini ditunjukkan oleh fenomena kecurangan yang selalu muncul saat ujian itu berlangsung
Purwokerto, ANTARA JATENG - Pendidikan karakter, satu kata yang belakangan ini banyak mengemuka.

Kampanye mengenai pendidikan karakter, terus dilakukan, karena membentuk generasi yang memiliki identitas, sangat diperlukan.

Terlebih pada saat ini, mau tidak mau, suka tidak suka, arus perkembangan teknologi informasi begitu deras.

Generasi muda dapat dengan mudah mengakses konten negatif, yang jauh dari karakter kebangsaan.

Hal tersebut, tentu saja menambah daftar panjang tantangan yang harus dihadapi, dalam mewujudkan generasi Indonesia yang berkarakter.

Pengamat Pendidikan dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Nanang Martono, mengatakan pendidikan karakter sangat penting, terutama di masa krisis identitas seperti sekarang ini.

"Ketika masyarakat kita lebih bangga pada hal-hal berbau luar. Kita harus membangun karakter siswa agar mereka mampu menjadi warga yang bersandar pada identitas dan karakter bangsa Indonesia," katanya.

Pendidikan karakter, menurut dia memang memiliki konsep yang sangat bagus namun hal itu membutuhkan peta yang jelas

"Peta yang jelas mengenai implementasi pendidikan karakter ini yang menurut saya harus diperhatikan pemerintah," katanya.

Padahal, para anak didik, yang menjadi sasaran pendidikan karakter, memiliki latar belakang sosial yang beragam dan berbeda.

Tentu saja, butuh pendekatan yang juga beragam untuk menanamkan pendidikan karakter.

"Sementara guru, sebagai garda terdepan dalam penanaman pendidikan karakter, perlu memiliki pemahaman yang sama dalam mengimplementasikan hal tersebut," katanya.

Namun demikian, Nanang mengingatkan bahwa yang juga tidak kalah penting, adalah peran dari orang tua.

Betapa tidak, orang tua merupakan "guru sejati" bagi anak-anak mereka.

Namun realitanya, kata dia, sebagian besar orang tua menganggap sekolah sebagai bengkel, dan mereka berharap sekolah mampu memperbaiki karakter anaknya.

"Orang tua merasa sudah membayar biaya pendidikan, mereka merasa tidak memiliki tanggung jawab untuk turut serta dalam pendidikan anaknya. Inilah kendala utamanya, belum ada integrasi atau kerja sama diantara pihak-pihak terkait terutama orang tua," katanya.

   Guru Sejati
Sementara itu, Deputi Bidang Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Agus Sartono menambahkan, pendidikan adalah rekayasa sosial untuk membentuk karakter peserta didik.

"Tanggung jawab pendidikan sebagai media untuk membangun karakter bangsa harus dimulai dari pendidikan keluarga, baru kemudian pendidikan formal disekolah, dan nonformal di masyarakat," katanya.

Peran guru, kata dia, menjadi sangat penting dalam memberikan keteladanan bagi anak-anak.

"Orang tua harus sadar bahwa mereka merupakan guru sejati bagi anak-anak dan bukan justru melepas tanggung jawab kepada orang lain atau guru di sekolah, Karena itu, mari jadilah guru sejati bagi peserta didik yang mengajar dengan hati" katanya.

Caranya, kata dia, dengan memberikan keteladanan dan membentuk karakter anak didik.

"Biarkan anak-anak tumbuh dan bermekaran dan kelak menjadi tunas bangsa," katanya.

Dia juga mengajak seluruh orang tua untuk ikut berperan aktif dalam menanamkan pendidikan karakter.

"Mari kita semua menjadi guru sejati bagi anak-anak dilingkungan keluarga kita. Semaikan nilai integritas sebagai tonggak utama kehidupan yang beradab," katanya.

Tidak Instan
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Fisip Unsoed, Edi Santoso menambahkan, karakter tak bisa dihasilkan secara instan melalui proses pendidikan.

"Apalagi sebatas teori yang diajarkan sebagaimana pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang hanya disampaikan di kelas," katanya.

Menurut dia, karakter itu dibentuk dalam proses yang panjang, tak semata melalui pengajaran tetapi juga pengalaman nyata.

"Misalnya, anak didik tak serta merta menjadi sopan hanya dengan diajarkan kaidah sopan santun, perlu ruang yang menjembatani antara teori dan sikap, yakni pelibatan," katanya.

Disitulah perlu contoh atau model, kata dia.

"Problem terbesar kita sebagai bangsa di sini. Kita semakin susah mencari model karakter luhur orang Indonesia," katanya.

Ditambah lagi, sistem pendidikan pada saat ini, menurut dia, masih berorientasi pada aspek kognitif, meskipun kurikulum terbaru mencoba mengakomodasi sisi lainnya.

"Ujian Nasional misalnya, masih menjadi momok. Sehingga semua siswa dan orang tua berorientasi pada capaian nilai terbaik. Soal kejujuran? Mereka rela korbankan demi angka-angka nilai mata pelajaran yang diujikan. Ini ditunjukkan oleh fenomena kecurangan yang selalu muncul saat ujian itu berlangsung," katanya.

Karena itu, menyoal pendidikan karakter, juga perlu menyoal bagaimana mewujudkan pendidikan karakter itu, sehingga tak semata berhenti di slogan atau kampanye pemerintah.

"Pendidikan karakter, saya kira tak ada yang menyangkal relevansinya. Setiap bangsa yang besar selalu ada karakter yang kuat pada orang-orang di dalamnya, namun saya belum melihat konsep yang jelas terkait hal tersebut," katanya.

Soal informasi yang deras dari internet, tambah dia, itu realitas yang tak terelakkan.

"Kita tak bisa mengingkari atau mengisolasi diri dari serbuan konten global itu," katanya.

Maka, tantangan para pendidik hari ini adalah bagaimana membangun daya imun atau resistensi pada konten negatif yang sangat deras.

"Bangun resistensi dari gemerlapnya perkembangan teknologi informasi, sembari, mengambil pelajaran positif dari banjir informasi itu, yang seperti air bah itu," katanya.



Pewarta :
Editor:
COPYRIGHT © ANTARA 2025