Logo Header Antaranews Jateng

Eks teroris bangun ponpes di Deli Serdang

Rabu, 8 Mei 2019 14:07 WIB
Image Print
Dokumentasi. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius (tengah) dan pendiri Pesantren Al Hidayah yang merupakan mantan terpidana kasus terorisme Khairul Ghazali (kiri), mendampingi Wakil Presiden Bundeskriminalamt (BKA) Jerman Michael Kretschmer (kanan), menyalami santri yang merupakan anak mantan teroris saat melakukan kunjungan, di Deli Serdang, Sumatera Utara, Rabu (11/7/2018). Kunjungan ke pesantren yang didirikan mantan terpidana terorisme tersebut merupakan studi banding pihak polisi kriminal federal BKA Jerman untuk melihat langkah BNPT dalam upaya pendekatan dan pencegahan terorisme. (ANTARA/Irsan Mulyadi)
Medan (ANTARA) - Pondok tersebut  Al-Hidayah, termasuk  satu model pondok pesantren yang terbilang unik di daerah Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. .

Didirikan pada tahun 2015 oleh seorang mantan pelaku bernama Khairul Ghazali alias Abu Ahmad Yasin, yang sempat divonis enam tahun atas tindak pidana perampokan Bank CIMB Niaga pada Agustus 2010 silam.

Pondok pesantren ini merupakan buah hasil keinginan kuat Ghazali untuk memutus mata rantai paham radikal.

Ia ingin membimbing anak-anak mantan teroris yang kerap menjadi korban atas perbuatan keji yang dilakukan oleh kedua orang tuanya sehingga menimbulkan rasa dendam lantaran ketidakpahaman dan dikucilkan dari lingkungan. Perasaan itu bergelut dalam batin setiap anak yang mengetahui bahwa orang tuanya adalah teroris.

"Melihat banyaknya anak eks teroris yang tidak sekolah atau putus sekolah bahkan menjadi buruh anak, ini membahayakan karena mereka bisa jadi mengikuti jejak langkah orang tuanya yang salah," ungkap Ghazali, Rabu .

Ghazali mengatakan tantangan yang dihadapi pada awal memulai pesantren ini datang dari masyarakat setempat. Banyak dari mereka yang curiga dengan didirikannya pesantren yang menampung anak-anak mantan teroris tersebut.

"Ketika kita sudah memulai tahun pertama, kita didukung dan diberikan support oleh pihak keamanan dan negara dalam hal ini oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Teroris) yang tertarik dengan ide-de yang kita buat sehingga mereka membantu sepenuhnya termasuk membangunkan kelas dan masjid," jelasnya

Pondok pesantren ini hanya memiliki dua ruang dengan jumlah santri sebanyak 25 orang yang merupakan anak dari eks teroris. Ditambah 6 orang anak dari masyarakat sekitar.

"Itu tujuannya untuk pembauran agar anak anak ini tidak terstigmalisasi dan tidak ada diskriminasi dalam pendidikan sehingga mereka berbaur dengan anak anak lainnya," tuturnya.

Proses belajar maupun sistem pendidikan di pondok pesantren ini sama saja dengan sistem pendidikan di sekolah-sekolah lainnya yang berbasis kurikulum dari Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama (Kemenag).

Hanya saja terdapat pelajaran tambahan yaitu Deradikalisasi dan Trauma Healing Centre. Kedua pembelajaran ini kata Ghazali bertujuan untuk menghilangkan memori ingatan anak-anak eks teroris tersebut terhadap kekerasan pasca penangkapan orang tua mereka.

"Ada juga orang tua mereka yang dibunuh, ada yang masuk penjara dan lain sebagainya. Sehingga sudah terpapar dengan paham radikal, dengan kekerasan dan dengan jihad yang salah, nah ini yang kita luruskan," ujarnya

Pewarta :
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2024