Logo Header Antaranews Jateng

Wakil Rektor Undip: Industri sulit diajak jadi mitra riset

Selasa, 10 Desember 2019 15:50 WIB
Image Print
Pemred Suara Merdeka Gunawan Permadi (kiri), Prof. Budi Setiyono (tengah), dan Teguh Hadi Prayitno (kanan). ANTARA/Achmad Zaenal M
Semarang (ANTARA) - Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Prof. Budi Setiyono menilai sampai saat ini perguruan tinggi (PT) masih sulit mengajak industri jadi mitra riset sehingga sukar melakukan hilirisasi hasil-hasil penelitian.

"Industri kita itu predatoris. Dalam hal riset, mereka tidak mau menjadi mitra perguruan tinggi," katanya dalam diskusi bertajuk "Peran Jurnalisme pada Era Society 5.0" di kampus Undip Tembalang, Semarang, Selasa.

Tampil sebagai narasumber dalam diskusi yang dipandu Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Jateng Dr. Teguh Hadi Prayitno itu Pemimpin Redaksi Suara Merdeka Gunawan Permadi, MA.

Baca juga: Kemenristek alokasikan Rp15 triliun untuk hilirisasi riset

Menurut Budi, alih-alih industri-industri besar tersebut bermitra dengan perguruan tinggi, mereka malah mendirikan perguruan tinggi sendiri. Dengan demikian tidak ada hilirisasi riset.

"Bagaimana perguruan tinggi bisa 'melempar' hasil riset kalau tidak ada mitra, kecuali universitas mendirikan industri sendiri," lanjutnya.

Ia menegaskan perguruan tinggi tidak bisa terus menunggu hasil riset digunakan oleh industri atau perusahaan. Sejauh ini yang bisa dilakukan setelah riset yakni mengirimkan hasilnya ke jurnal, agar mendapatkan sitasi (citation).

"Kita tidak bisa menunggu jika perguruan tinggi memang tidak punya sinergi yang predictable dengan industri. Itu akan terlalu lama menunggu. Sifat industri kita itu predatoris," sebutnya.

Budi menambahkan masih seringnya terjadi duplikasi objek penelitian padahal seharusnya bisa dihindari bila ada komunikasi.

Budi juga menilai bahwa masyarakat Indonesia saat ini masih parokial, yakni cenderung menunggu perintah atau belum memiliki prakarsa yang cukup untuk menciptakan masyarakat yang partisipasi tinggi.

"Masyarakat parokial biasanya berada di level pendapatan per kapita sekitar 3.500 dola AS, sedangkan kita banyak meniru mode pembangunan dari masyarakat maju dengan pendapatan di atas 20.000 dola AS," jelasnya.

Ia memberi contoh studi banding perundangan ke negara-negara maju padahal di balik terciptanya regulasi tersebut kondisi sosiologis dan antropologisnya sangat beda dengan Indonesia.

"Bisa jadi sebelum undang-undang di negara maju sebelum terbit itu berdarah-darah, bahkan melalui perang. Jadi, kita tidak bisa meniru begitu saja produk undang-undang dari negara maju karena kondisi sosiologis dan antropologisnya beda," terangnya.

Teguh menyatakan banyak perkerjaan saat ini yang membutuhkan soft kompetensi, bukan sekadar berlatar belakang akademik Sekarang, katanya, adalah era di mana ijazah tidak terlalu dibutuhkan dibandingkan dengan kompetensi.

Gunawan Permadi menyatakan media arus utama saat ini dituntut mampu berkolaborasi dengan industri sejenis agar tetap eksis di tengah kian menjamurnya konten bersumber dari media sosial.

"Kami bersama tiga media di Jawa sebulan lalu baru declare kolaborasi dalam jaringan Fakta Media Network," kata Pemred Suara Merdeka tersebut.

Baca juga: Peneliti harapkan Menristek dorong peningkatan anggaran riset
Baca juga: Akademisi ingatkan pentingnya riset rumah tahan gempa

 

Pewarta :
Editor: Mahmudah
COPYRIGHT © ANTARA 2024