Logo Header Antaranews Jateng

Fenomena "kerajaan-kerajaan baru" diduga terinspirasi pertemuan para raja

Selasa, 28 Januari 2020 15:52 WIB
Image Print
Dekan FISIB Universitas Pakuan, Agnes Setyowati, saat foto bersama 25 raja dan sultan se-Nusantara di Graha Pakuan Siliwangi (GSP) Unpak Kota Bogor, Jawa Barat. ANTARA/M Fikri Setiawan
Bogor (ANTARA) - Pengamat sosial dan budaya Universitas Pakuan, Bogor, Dr Agnes Setyowati H menduga fenomena kemunculan "kerajaan-kerajaan baru" karena terinspirasi dari pertemuan para raja dan sultan se-Nusantara yang dilaksanakan beberapa kali sejak 2 tahun silam.

"Dalam kasus Keraton Agung Sejagat, boleh jadi munculnya kerajaan baru tersebut terinspirasi dari peristiwa sering terjadinya pertemuan raja dan sultan se-Nusantara atau bahkan se-Asia, sehingga ada harapan eksistensi mereka pun kelak akan diakui," ujarnya kepada ANTARA di Bogor, Selasa (28/1).

Baca juga: Sejarawan sebut klaim Raja Keraton Agung Sejagat tidak sesuai sejarah

Dua tahun terakhir ini berita tentang raja dan sultan se-Nusantara memang terangkat ke permukaan, dimulai dengan pertemuan Presiden Jokowi yang mengundang para raja dan sultan di Istana Bogor pada Januari 2018, dengan dihadiri oleh 88 raja dan sultan dari seluruh Indonesia.

Kemudian, pertemuan lainnya yaitu pada Seminar Nasional Pemajuan Kebudayaan di Universitas Pakuan Bogor tanggal 17 Desember 2019, dengan dihadiri oleh 25 raja dan sultan se-Nusantara, salah satunya Raja Gowa, Andi Ichsan.

"Kehadiran kerajaan baru ini sebagai upaya meromantisasi kehidupan kerajaan yang agung dan ekslusif di masa lalu," terang Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Pakuan itu.

Baca juga: Ditemukan cabang Keraton Agung Sejagat di Klaten

Ia mengatakan, dalam sejarahnya keberadaan raja dan sultan yang kini masih ada di Indonesia diakui keberadaannya karena ada jejak-jejak sejarah yang menjadi bukti empiris.

Bukti empiris menurutnya menjadi aspek penting dalam ilmu pengetahuan yang tidak bisa dikesampingkan. Demikian pula sejarah kerajaan, memerlukan bukti empiris, adanya jejak-jejak, baik itu berupa tulisan dan prasasti.

"Kemudian memerlukan bukti tradisi lisan atau situs-situs peninggalan sejarah baik benda maupun tak benda lainnya yang bisa ditelusuri oleh para sejarawan, budayawan, arkeolog, dan ilmuwan terkait lainnya, dengan metodologi tertentu sehingga bisa membuktikan kebenaran sejarahnya (kerajaan)," tutur Agnes.

Menurutnya, kemunculan fenomena sosial dari kerjaan baru perlu disikapi dengan bijak, di antaranya dengan edukasi dan pemikiran kritis. Ia mengingatkan pentingnya literasi sejarah dan budaya lokal terhadap penduduk di setiap wilayah di Indonesia.

"Pengetahuan tentang sejarah Nusantara, sejarah kerajaan di Indonesia maupun sejarah lokal diperlukan agar pemikiran logis tetap bisa menjadi pegangan sebagai landasan hidup bermasyarakat," sebutnya.

Baca juga: Setelah Keraton Agung Sejagat ada lagi "Sunda Empire" di Bandung

Agnes mengatakan, critical thinking akan membuat masyarakat berpikir lebih rasional serta beralasan dan berdasarkan fakta, sehingga tidak mudah percaya dengan perkataan orang lain, dan tidak mudah tertipu atau ditipu oleh orang lain.

"Melalui cara berpikir kritis kita memproses suatu informasi apakah relevan atau sesuatu yang mustahil sehingga dapat disimpulkan sebagai sesuatu yang tidak benar atau mengandung unsur kebohongan," terangnya.

Pewarta :
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2024