Logo Header Antaranews Jateng

Memikirkan ulang budaya "ngidam" untuk memerangi stunting

Selasa, 14 April 2020 14:35 WIB
Image Print
Petugas kader kesehatan desa menimbang balita di Posyandu Desa Danupayan, Bulu, Temanggung, Jawa Tengah, Rabu (11/3/2020). ANTARA/Anis Efizudin
Salatiga (ANTARA) - Indonesia sampai hari ini masih bergelut dengan stunting atau keterlambatan pertumbuhan fisik dan kemampuan berpikir anak.

Masalah serupa juga dihadapi Kota Salatiga, Jawa Tengah, meskipun persentasenya jauh di bawah angka nasional.

Pemerintah Kota Salatiga menegaskan komitmennya   untuk terus menekan kasus stunting. Sejumlah upaya dilakukan, antara lain dengan menempatkan posyandu sebagai ujung tombak memerangi stunting   dan pelayanan kesehatan umum di tingkat akar rumput.

Hasilnya nyata. Kasus stunting di Kota Salatiga pada 2019 turun 25 persen. Data Dinas Kesehatan Kota Salatiga menunjukkan dari 11.374 balita pada 2018, tercatat yang mengalami stunting 1.660 anak atau 14,6 persen, sedangkan pada 2019 dari 11.155 balita, yang mengidap   stunting tercatat 1.227 anak atau hampir 11 persen.

Dibandingikan dengan persentase stunting di Indonesia, prevalensi stunting di Salatiga jauh lebih rendah. Berdasarkan hasil Riset  Kesehatan  Dasar  (Riskesdas),  prevalensi stunting  Indonesia memang menurun, namun tetap masih tinggi. Pada 2018 tercatat 30,8 persen, kemudian pada 2019 sedikit menurun menjadi 27,67 persen. 

Kendati persentase stunting di kota berhawa sejuk itu relatif rendah, Pemkot  Salatiga bertekad terus menurunkannya   melalui serangkaian kebijakan langsung dengan melibatkan masyarakat terutama di daerah dengan kasus stunting tinggi.

Salah  satu  daerah  dengan  angka  stunting  tinggi  di Salatiga adalah  Ledok,  Kecamatan Argomulyo. Di daerah ini tercatat 204 balita mengidap   stunting.

Sejumlah literatur menyebutkan bahwa stunting terjadi  karena  pemenuhan  gizi  tidak  sesuai dengan  kebutuhan  yang diperlukan. 

"Ngidam"

Kehamilan menjadi  bagian penting dalam pemenuhan gizi bagi jabang bayi dan ibu hamil. Sayangnya, tak jarang ketika mengandung, ibu menginginkan makanan berlebihan atau malah enggan makan secuil makanan dengan dalih sedang "ngidam". 

Kader Posyandu Melati Ledok RT 02 RW 12, Argomulyo Salatiga, Noersetiani, ketika ditemui pada 3 Maret 2020 menyatakan seharusnya  ibu hamil  tidak  hanya  menggunakan  perasaan, namun  selalu berpikir dengan logika. 

Budaya yang belum tentu terjamin kebenarannya, menurut dia, harus dipikirkan ulang, seperti kepercayaan ketika  "ngidam" tidak dituruti maka bayi akan “ngeces”, sehingga "ngidam"  untuk tidak makan pun harus dituruti.

Kadang, "ngidam" memang tidak masuk akal, namun karena sudah menjadi budaya, ibu hamil tetap menuruti keinginan aneh yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi bayi.

“Bayi di dalam kandungan juga membutuhkan nutrisi, kalau ibu hamil menuruti 'ngidam' tidak mau makan maka nutrisi bayi pun tidak akan terpenuhi," tutur Noersetiani.
Ilustrasi budaya "ngidam". Dok. Yosua
 
Nutrisi bayi yang tidak terpenuhi pada masa kehamilan menjadi faktor penting penyebab     stunting. Pada fase ini diperlukan  peran  suami  untuk  memastikan  ibu  hamil  memberikan  nutrisi  yang  cukup  bagi kandungannya.

“Dulu saya juga ngidam tidak mau makan, makan buah saja rasanya mual. Tapi suami menunggui saya sampai makanannya habis. Jika tidak mau makan lalu dituruti dan tidak dilawan mungkin anak saya juga bisa stunting,” terang Noersetiani

Kegiatan dalam posyandu dan Kelompok Sayang Ibu (KSI) juga berperan penting dalam menurunkan  stunting,  antara  lain  sosialisasi pemenuhan  gizi  bayi,  menyadarkan pentingnya pemenuhan nutrisi selama kehamilan,  pendampingan ANC (ante natal care)  untuk menjaga kesehatan mental dan fisik ibu hamil, penimbangan dan pengukuran tinggi badan rutin anak, serta pemberian makanan tambahan (PMT). 

Kebijakan tersebut membuahkan hasil. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari strategi kreatif kebijakan Dinas Kesehatan Kota Salatiga. Dinkes sadar bahwa anemia atau kekurangan sel darah merah pada ibu hamil menjadi salah satu penyebab utama terjadinya stunting. 

Untuk itu dilakukan pemberian tablet tambah darah bagi  semua  siswi  perempuan  di  SMP  dan  SMA  sederajat  seluruh  kota  Salatiga.  Dengan pemberian tablet tambah darah sedari masih muda, diharapkan akan makin banyak siswi yang  tidak  anemia  sehingga  ketika  nantinya  hamil  dapat  memenuhi  nutrisi  darah kandungan,  yang  akhirnya  mampu  menurunkan  jumlah pengidap    stunting.  

Terdapat beberapa kebijakan Dinkes Salatiga yang layak ditiru untuk menekan angka stunting, seperti pemberian makanan pendamping air susu ibu (MPASI) dan pemberian makanan tambahan (PMT),  lokakarya  pemulihan  gizi (konsultasi  anak  gizi  buruk  dengan  spesialis gizi), lokakarya air asi eksklusif (seminar  ibu hamil).

Kemudian sosialisasi  screening   hipotiroid  kongenital  (pemeriksaan darah bayi lahir), kampanye ASI,  pengadaan lomba balita untuk memancing semangat  disiplin  pemenuhan  gizi,  perawatan  ibu  hamil  anemia, dan  gizi  buruk  di  RS, menyediakan rumah  pemulihan  gizi,  serta  melakukan  koordinasi  program  gizi  (evaluasi kegiatan program gizi).

Serangkaian kebijakan terpadu untuk menanggulangi stunting di Salatiga tersebut membuahkan hasil. Memang belum mencapai satu digit, namun melihat pencapaian pada 2019, diperkirakan Salatiga bakal mampu menekan angka stunting satu digit dalam 3 tahun mendatang.

Kategori berat

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan angka stunting sebuah negara di atas 20 persen tergolong berat.  Itu artinya Indonesia masuk dalam kategori tersebut. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, angka stunting Indonesia sebesar 30,8 persen dan pada tahun 2019 menurun 3,1 persen menjadi 27,67 persen. 

Pernyataan tersebut disampaikan Nila F. Moeloek menjelang akhir masa jabatannya sebagai Menteri Kesehatan dalam soft launching Hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) di Kantor Kementerian Kesehatan pada 18 Oktober 2019. 

Stunting  sendiri  terjadi  akibat  kekurangan  gizi kronis  terutama  dalam  1.000  hari  pertama kehidupan (golden age).

Dosen Ilmu Gizi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Sarah Davidson mengatakan stunting bersifat tidak dapat diubah atau irreversible,  artinya masyarakat harus lebih mengenal penyebab maupun tanda stunting dalam rangka pencegahan. 

Stunting terjadi karena kurangnya pemenuhan gizi masa lampau dalam periode lama, kita tidak bisa  mengubah  tapi  berupaya  untuk mengoptimalkan  anak  yang  sudah  stunting dan berfokus pada pencegahan.” tutur Sarah.

Ia   juga menjelaskan dua faktor utama penyebab stunting layaknya lingkaran setan adalah nutrisi makanan yang masuk dan infeksi. 

Ibu hamil harus memenuhi asupan makanan lengkap selama masa kehamilan, mulai dari energi, protein, lemak, serat, dan mineral. Kalori yang dibutuhkan sekitar 350 – 400 kl tambahan dari jumlah kalori awal kebutuhan ibu hamil. 

Selain itu, ibu hamil juga harus melakukan pola hidup sehat (sanitasi) untuk menjaga kesehatan dan menghindari infeksi. 

Ketika sang ibu sakit maka nutrisi yang masuk akan digunakan terlebih dahulu untuk menyembuhkan ibu, artinya bisa saja kandungan tidak cukup memperoleh nutrisi yang mungkin habis untuk pemulihan sang ibu. 

Seorang  anak  dikatakan  stunting  apabila  badan  lebih  pendek  dibanding  anak  seusianya, proporsi tubuh cenderung normal tetapi anak tampak lebih kecil dibanding anak seusianya, berat badan rendah untuk anak seusianya, serta pertumbuhan tulang dan kemampuan berpikir (kognitif) lambat. 

Buktinya    masih banyak masyarakat yang belum sadar akan bahaya stunting. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Salatiga, praktik pola pengasuhan yang tidak baik masih banyak terjadi. 

Sekitar 60 persen dari bayi usia 0-6 bulan, misalnya, tidak mendapat ASI eksklusif. Kemudian 2 dari 3 bayi usia 0-24 bulan tidak menerima MPASI bergizi, 2 dari 3 ibu hamil belum mengonsumsi suplemen zat besi yang memadai, 1 dari 3 ibu hamil terkena anemia, 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun tidak terdaftar di pendidikan anak usia dini (PAUD), 1 dari 5 rumah tangga masih BAB di ruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih. 

Makin tinggi angka stunting Indonesia maka kian    besar pula bencana populasi negara. Keterlambatan kemampuan berpikir akan menyulitkan anak memperoleh prestasi belajar. 

Selain itu,  anak  yang  mengalami  stunting dapat  menurunkan  kekebalan  tubuhnya sehingga  bisa dengan  mudah  sakit  dan cenderung  memiliki  risiko  tinggi  terkena diabetes,  kegemukan, penyakit jantung, pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua. 

Jika makin banyak anak dengan kondisi tersebut maka kemajuan negara akan turut melambat mengingat anak-anak merupakan calon penerus bangsa. Padahal pada tahun 2030 Indonesia memasuki masa bonus demografi yaitu usia muda mendominasi struktur usia negara. 

Untuk  mencegah  stunting  diperlukan  usaha  bersama  dalam  menyadarkan  pentingnya pemenuhan gizi di masyarakat terkhusus optimalisasi intervensi pemerintah, berupa intervensi dengan  sasaran  ibu  hamil,  intervensi  dengan  sasaran  ibu  menyusui  dan bayi  0-6  bulan, intervensi dengan sasaran ibu menyusui dan anak 7-23 bulan. 

Berbagai intervensi gizi sensitif tersebut diperlukan untuk memastikan kebutuhan gizi anak terpenuhi sehingga nantinya tidak stunting, dan anak akan memiliki tumbuh kembang yang baik. ***

(Bahan dikumpulkan dan diolah oleh: Mulia, Lulu, Vira, Oliv, Lisa, Widya, Yosua, Hanan, Carlos, Bintang, Arya)





 

Pewarta :
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2024