Optimistis berdampak positif, Apindo Jateng: beri kesempatan UU Cipta Kerja berjalan dulu
Rabu, 7 Oktober 2020 08:19 WIB
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Provinsi Jawa Tengah Frans Kongi optimistis pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja oleh pemerintah dan kalangan legislatif akan memberikan dampak positif bagi Indonesia.
"Saya yakin UU Cipta Kerja akan berdampak pada masuknya investasi yang besar ke Indonesia dan akan menyerap tenaga kerja yang cukup besar bagi warga Indonesia," pada acara webinar bertema "Mogok Kerja, Pandemi, UU Cipta Kerja" di Semarang, Senin malam.
Ia mengungkapkan bahwa pada dunia usaha, para pengusaha selalu mengeluh mengenai peraturan yang berbelit-belit, mengenai biaya mahal yang harus dikeluarkan, mengenai perizinan, juga mengenai pesangon.
Menurut dia, hal itu sudah berkali-kali diajukan para pengusaha kepada pemerintah sejak Undang-Undang 13 tahun 2003 disahkan karena melihat pesangon ini tidak masuk akal sehingga tidak mungkin perusahaan bisa melaksanakan.
Pemerintah dengan DPR sebagai wakil rakyat, lanjut dia, tidak mungkin mau menyusahkan rakyat termasuk menyengsarakan para pekerja.
"Coba bayangkan, orang mau dirikan perusahaan sudah dibayangi dengan pesangon yang begitu banyak. Mana ada uang? Kalau kita mau jujur sekarang, kenyataan sekarang, banyak perusahaan yang bangkrut, perusahaan yang karyawannya 2.000 orang 3.000 orang lalu tutup, karyawannya tidak mendapat apa-apa.
Undang-undang hanya berlaku di kertas saja, terus mau apa kita sekarang?" ujarnya.
Frans Kongi mengingatkan kembali kepada hakekat pengusaha dan buruh serta UU Cipta Kerja yang akan memberi angin segar bagi dunia usaha dan kesejahteraan pekerja.
"Kita lihat Vietnam, dulu saat kita sudah bisa ekspor tekstil, bisa ekspor ini itu, Vietnam itu belum mulai, tapi tiba-tiba sekarang mereka sudah lebih dari kita dalam waktu 15-20 tahun. Ekspor tekstil mereka sekarang itu secara nasional dua kali lho dari kita. Karena apa? mereka punya semacam Omnibus Law. Di sana mereka itu sepakat untuk bekerja sama, sedangkan kita terlalu banyak politikus," katanya.
Indonesia, lanjut dia, butuh banyak investasi sebab dengan demikian akan membutuhkan banyak tenaga kerja sehingga "bargaining position" buruh sangat besar, pertumbuhan ekonomi meningkat, upah buruh juga akan ikut naik.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Ristadi yang juga menjadi pembicara pada webinar itu mengatakan ada dua karakter umum tenaga kerja di Indonesia yang berbeda cukup tajam.
"Yang pertama, mereka berpikir bagaimana mendapatkan upah minimum, bagaimana jaminan sosialnya tercover, dan bagaimana bekerja dengan siklus menerima gaji tiap bulan sesuai dengan undang-undang.
Sementara tenaga kerja yang lain tidak peduli jaminan sosialnya akan 'dicover' atau tidak, bahkan mereka tak peduli status hubungan kerjanya," ujarnya.
Bagi mereka, lanjut dia, yang terpenting adalah bisa tetap bekerja daripada tidak berbuat apa-apa dan jadi beban keluarga, apalagi bagi yang sudah berkeluarga.
Menurut Ristadi, tenaga kerja yang berprinsip yang penting bekerja itu jumlahnya puluhan juta orang, bahkan jumlahnya semakin masif saat ini.
Ristadi merasakan hal ini ketika dia melakukan kunjungan ke pabrik-pabrik untuk menemui para anggotanya dalam tiga bulan terakhir untuk menerima masukan langkah yang diambil KSPN terkait aksi mogok nasional jika RUU Cipta Kerja jadi disahkannya.
Saat kunjungan itu ada pertanyaan dari anggotanya terus terngiang di telinganya yakni jika mereka mogok kerja pada 6 dan 7 Oktober 2020, lalu pada hari berikutnya, ketika mereka masuk kerja, pabriknya ditutup atau digembok oleh perusahaan, apa yang akan dilakukan pimpinan KSPN.
"Kami jawab, kami akan memberi bantuan advokasi," tegasnya.
Atas dasar itu, KSPN memutuskan tidak ikut bergabung dalam aksi mogok nasional dan Ristadi melihat para anggotanya yang kebanyakan bekerja di sektor padat karya banyak yang mengalami kondisi sulit di masa pandemi saat ini, terlebih penyebaran COVID-19 belum menunjukkan tingkat penurunan.
Dalam kesempatan tersebut, Ristadi juga menyayangkan hubungan antara pengusaha, tenaga kerja, dan pemerintah yang dibangun di atas rasa tidak saling percaya sehingga situasi ini membuat solusi yang ditawarkan salah satu pihak menjadi perdebatan panjang yang tidak selesai-selesai.
"Pengusaha apriori terhadap serikat pekerja/buruh. Serikat pekerja/buruh beserta pimpinannya tidak percaya kepada pengusaha. Pun demikian, pemerintah tidak percaya serikat pekerja/buruh karena sekarang 'berstatement' A besok bisa 'berstatement' B, sebaliknya, serikat pekerja/buruh kurang, bahkan, tidak percaya kepada pemerintah," katanya.
Di satu sisi pemerintah mengklaim, RUU Cipta Kerja diniatkan untuk mendatangkan dan mengembangkan investasi di Indonesia dengan harapan ketika investasi datang dan berkembang akan banyak industri tumbuh, dampaknya banyak tenaga kerja yang akan terserap, banyak warga yang akan bisa diterima bekerja.
"Saya melihat hal positif dalam Omnibus Law ini. Saya kira tidak ada yang tidak sepakat dan tidak ada yang tidak mendukung jika itu niatan serius pemerintah," ujarnya.
Kendati demikian, Ristadi melihat banyak serikat pekerja/buruh yang tidak memandang positif UU Cipta Kerja.
"Karena itu, pemerintah jangan mengabaikan soal perlindungan, keberlangsungan, dan kesejahteraan pekerja," katanya.
Pewarta : Wisnu Adhi Nugroho
Editor:
Antarajateng
COPYRIGHT © ANTARA 2024