Biksu Pannyavaro: Semangat Gus Dur tetap hidup di masyarakat
Rabu, 30 Desember 2020 18:07 WIB
guyon tetapi menusuk dan tidak semua orang bisa membuat 'guyon parikena'Magelang (ANTARA) - Kepala Sangha Theravada Indonesia Biksu Sri Pannyavaro Mahathera mengemukakan hingga saat ini semangat K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang antara lain berupa konsistensi, kemanusiaan, penghargaan dan penerimaan terhadap perbedaan, masih hidup di tengah-tengah masyarakat.
"Semangat Gus Dur tetap hidup di tengah-tengah masyarakat. Memang kita merasa kehilangan seorang Gus Dur, tetapi spirit, semangat Gus Dur itu tidak hilang, tidak ikut wafat, semangatnya masih ada," katanya di Magelang, Rabu.
Bante Pannyavaro yang salah satu sahabat dekat Gus Dur sejak sebelum menjadi Presiden Ke-4 RI itu, mengatakan hal tersebut saat Haul Ke-11 Gus Dur diprakarsai budayawan Magelang, perintis Komunitas Lima Gunung Magelang, dan juga penerima Gus Dur Award 2016, Sutanto Mendut.
Hadir pula dalam kegiatan dengan jumlah peserta terbatas dan menerapkan protokol kesehatan di halaman Wihara Mendut, dekat Candi Mendut Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu, budayawan Yogyakarta Emha Ainun Nadjib (Cak Nun).
Terkait dengan konsistensi Gus Dur, dijumpai biksu kharismatis yang juga pemimpin Wihara Mendut tersebut, baik dalam pertemuan langsung dan pergaulan dengan Gus Dur maupun dalam tulisan-tulisan di bukunya dan media massa.
Ia menyebut Gus Dur konsisten memegang prinsip, merangkul semua, menghargai, dan menerima keberagaman dengan ketulusan hati.
"Itu yang saya tangkap, (Gus Dur, red.) tidak hitung-hitung, tidak ragu-ragu, kalau ada kelompok, ada pihak yang merasa disingkirkan, dipojokkan, kemudian Gus Dur menyampaikan protes, kritiknya," ucapnya.
Bante Pannyavaro mengemukakan tentang cara Gus Dur menyampaikan kritik yang tidak menyakiti orang lain yang disebut sebagai "guyon parikena"
"Cara Gus Dur membuat koreksi, mengkritik yang tidak menyakiti, bahasa daerah mengatakan 'guyon parikena', guyon tetapi menusuk dan tidak semua orang bisa membuat 'guyon parikena'," katanya.
Baca juga: KNB: Masyarakat teruskan pemikiran Gus Dur
Terkait dengan semangat toleransi Gus Dur, kata dia, tidak terlalu banyak teori untuk mewujudkannya, tetapi melalui sikap dan perilaku. Hal itu sebagai cara Gus Dur membangun kebersamaan dan kerukunan tersebut.
Ia mengemukakan tentang pentingnya generasi penerus bangsa meneladan semangat Gus Dur untuk mewujudkan kehidupan bersama yang lebih baik, damai, dan tenteram.
"Tidak usah persis, kita bisa memetik hal hal yang baik, yang dicontohkan baik lewat ucapan yang 'guyon parikena', maupun perilaku. Kalau untuk persis ya tentu tidak bisa," katanya.
Selain bercerita tentang banyak pengalaman kemanusiaan bergaul dengan Gus Dur selama hidupnya, Cak Nun mengemukakan pentingnya penelitian mengenai riwayat, sejarah, watak, dan integritas K.H. Abdurahman Wahid, bagi kepentingan masa depan bangsa, negara, dan kemanusiaan.
"Kita harus kenal watak manusia. Anda jangan bayangkan pemimpin itu serem-serem, resmi, priyayi," katanya.
Baca juga: Yenny Wahid: Pemikiran Gus Dur perlu Dikembangkan
Gus Dur, katanya, antara lain sebagia sosok pendobrak tetapi juga luwes dan lentur, dan bermemori kuat.
"Gus Dur mengetahui banyak hal yang saya tidak ketahui. Gus Dur di satu pihak luwes, lentur, tetapi di lain pihak sangat keras. Gus Dur seorang pendobrak, kalau ada yang zalim tentu dilawan Gus Dur," katanya.
Pada kesempatan itu, Cak Nun juga mengemukakan tentang pentingnya dikembangkan terus-menerus semangat persaudaraan dan tolong-menolong sesama manusia dengan setiap orang memiliki keluasan berwawasan dan pemahaman akan nilai-nilai kebaikan.
Haul Ke-11 Gus Dur secara sederhana di tengah pandemi COVID-19 yang diprakarsai Sutanto Mendut itu, juga dilakukan di Studio Mendut --pusat aktivitas kebudayaan para seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang --tak jauh dari Wihara Mendut. Di tempat itu terdapat sejumlah patung dan lukisan tentang Gus Dur dengan berbagai inspirasi terkait dengan keteladanan dan semangat Gus Dur.
Kiai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur) lahir pada 7 September 1940 di Jombang, Jawa Timur, meninggal pada 30 Desember 2009 di Jakarta dan dimakamkan di kompleks Pesantren Tebuireng Kabupaten Jombang.
Baca juga: Pannyavaro: Borobudur Memperkaya Moral Spiritual Masyarakat
Baca juga: Memburu inspirasi Mendut
Pewarta : Hari
Editor:
Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024