Logo Header Antaranews Jateng

Pakar hukum: Pencabutan aduan terkait rudapaksa istri harus ada batasan

Kamis, 17 Juni 2021 09:42 WIB
Image Print
Ketua Prodi Doktor Hukum Unbor Prof. Dr. H. Faisal Santiago, S.H., M.H. ANTARA/Dokumentasi Pribadi
Semarang (ANTARA) - Pakar hukum dari Universitas Borobudur (Unbor) Jakarta Faisal Santiago memandang penting ada batas pencabutan aduan terkait dengan tindak pidana rudapaksa (perkosa) terhadap istri/suami sehingga ketentuan ini perlu masuk dalam RUU KUHP.

"Kalau berkali-kali melapor ke polisi, kemudian dicabut berulang-ulang, perlu perlindungan terhadap istrinya," kata Ketua Prodi Doktor Hukum Unbor Prof. Dr. H. Faisal Santiago, S.H., M.H. menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Kamis pagi.

Ia mengemukakan hal itu ketika merespons pasal perkosaan terhadap suami/istrinya yang sah, persetubuhan dengan anak, atau persetubuhan dengan seseorang, padahal diketahui bahwa orang lain tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.

Baca juga: Direktur Institut Sarinah setuju rudapaksa istri dipidana

Namun, dalam RUU KUHP Pasal 132 Ayat (1) Huruf f disebutkan bahwa kewenangan penuntutan dinyatakan gugur jika ditariknya pengaduan bagi tindak pidana aduan.

Prof. Faisal menegaskan bahwa pencabutan tindak pidana aduan ini adalah hak setiap masyarakat karena merupakan delik aduan. Akan tetapi, pertanyaannya bagaimana kalau perbuatan itu berulang-ulang.

Oleh karena itu, Prof. Faisal memandang perlu ada frasa "tidak mengulangi perbuatan" dalam ketentuan yang mengatur gugurnya kewenangan penuntutan dalam Bab IV RUU KUHP agar pelaku tidak melakukan kembali rudapaksa terhadap korban (suami/istri).

Dengan demikian, lanjut dia, jika memerkosa kembali suami/istri, proses hukum tetap berlanjut hingga pengadilan, bahkan pelaku terancam pidana penjara paling lama 12 tahun sebagaimana ketentuan di dalam Pasal 479 Ayat (1) RUU KUHP.

Prof. Faisal mengemukakan bahwa pada zaman sekarang pasal yang mengatur hubungan suami/istri perlu mendapat perhatian. Misalnya, ada unsur paksaan dari suami untuk minta dilayani tetapi ditolak istri karena sedang haid, capek, atau hal lainnya.

"Dalam hukum Islam istri memang tidak boleh menolak. Namun, dalam persepsi hukum nasional perlu dimasukkan dalam KUHP, apalagi dilakukan dengan unsur paksaan dan kekerasan, bahkan dengan cara pemerkosaan," kata Guru Besar Unbor Faisal Santiago.

Baca juga: Guru Besar Unbor sependapat pasal penghinaan presiden masuk RUU KUHP
Baca juga: Eva Sundari: Tidak perlu bahas semua pasal RUU KUHP


Pewarta :
Editor: Mahmudah
COPYRIGHT © ANTARA 2024