Pencegahan radikalisme di kampus, menurut para calon rektor Untidar
Rabu, 12 Oktober 2022 15:08 WIB
jika memang sudah masuk kategori "lampu kuning" bisa saja melibatkan lembaga terkait yang memiliki data base bagus untuk melacak mana yang radikalMagelang (ANTARA) - Ruang komunikasi di sosial media yang sangat terbuka, memudahkan proses penyebarluasan paham intoleransi dan radikalisme. Karena itu, perlu upaya peningkatan daya tahan masyarakat, khususnya mahasiswa di lingkungan kampus, sebagai generasi yang akrab dengan dunia maya.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar menyatakan bahwa anak muda perlu diarahkan, diingatkan dan dibimbing agar tidak mudah menjadi bagian dari penyebarluasan paham-paham intoleransi dan radikalisme tersebut.
Generasi muda, khususnya mahasiswa, diharapkan mampu mengambil bagian dalam upaya kontra-narasi dari paham yang mengarah pada berkembangnya bibit intoleransi dan radikalisme yang berbahaya bagi keutuhan NKRI, katanya dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan jajaran pimpinan Universitas Brawijaya (Unibraw) dan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), belum lama ini.
Terkait dengan pencegahan radikalisme di kampus, tiga guru besar yang menjadi kandidat rektor Universitas Tidar (Untidar) Magelang periode 2022-2024 menyampaikan pandangan-pandangannya dalam visi, misi dan rencana program kerjanya. Mereka adalah Prof. Dr. Hadi Sasana, S.E., M.Si., Prof. Dr. Sugiyarto, M.Si., dan Prof. Sukirno, S.Pd., M.Si., Ph.D.
Berbicara mengenai kampus, para calon rektor tersebut sepakat bahwa tidak bisa dipungkiri para mahasiswa merupakan aset bangsa yang berharga, karena di pundak para pemuda itulah masa depan negeri ini bertumpu. Namun di sisi lain, kampus juga merupakan tempat yang rawan bagi penyebaran radikalisme.
Guna mencegah radikalisme sebagai upaya deradikalisasi di kampus bagi Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang, Prof. Dr. Hadi Sasana, menyampaikan bahwa aturan harus ditegakkan, jangan sampai melanggar norma atau aturan, apalagi mengibarkan bendera organisasi terlarang yang sudah jelas dilarang oleh pemerintah.
Menurut guru besar yang saat ini menjalankan tugas menjadi Dekan Fakultas Ekonomi Untidar ini, tidak boleh membiarkan masyarakat kampus terjerembap dalam kegiatan yang melanggar atau tidak sesuai dengan ideologi Pancasila.
Baca juga: Lima ciri ceramah radikal menurut BNPT
Selain aturan yang harus ditegakkan, juga rutin diberikan pendekatan secara etika, secara moral, karena memang di kampus ada pendidikan agama, ada kegiatan ekstrakurikuler yang itu semua mewadahi para mahasiswa untuk bisa lebih baik.
Tidak bisa dibiarkan paham radikalisme berkembang di kampus dan diharapkan hal-hal yang menyimpang itu bisa diminimalisir, karena memang mahasiswa ini rentan pada perkembangan atau situasi situasi tersebut.
Oleh karena itu, dosen tidak boleh bosan memberikan edukasi, termasuk juga memberikan contoh kepemimpinan sebagai akademisi. Sebagai dosen harus bisa memberikan contoh, sebagai panutan.
Selain dosen juga melibatkan tokoh masyarakat yang ada di Magelang, karena Magelang adalah lingkungan yang agamis dan lingkungan yang kondusif, sehingga sangat mendukung untuk proses yang lebih baik.
Pengendalian proses penerimaan
Guru Besar Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta yang saat ini menjalankan tugas sebagai Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Untidar Prof. Dr. Sugiyarto menyampaikan bahwa pencegahan radikalisme bisa dilakukan saat proses input atau penerimaan.
Pada saat mahasiswa masuk kampus, menggunakan pendekatan formalitas kelembagaan yang ada di Untidar, diseleksi sedemikian rupa sehingga mahasiswa tersebut memang mahasiswa-mahasiswa yang tidak memiliki paham membahayakan bagi yang bersangkutan, maupun bagi lembaga dan negara.
Baca juga: Bupati Kudus : Waspada radikalisme
Kalau di Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), dengan melibatkan unit yang dimiliki oleh negara untuk hadir di situ menyeleksi. Karena itu sudah bidangnya, sehingga bisa mengetahui apakah seorang calon penerima beasiswa ini akan memiliki perilaku radikal yang membahayakan atau tidak.
Menurut Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Untidar ini, jika memang sudah masuk kategori "lampu kuning" bisa saja melibatkan lembaga terkait yang memiliki data base bagus untuk melacak mana yang radikal dan mana yang tidak untuk hadir dalam seleksi penerimaan mahasiswa.
Kemudian, di pengendalian proses. Ketika kampus sudah merekrut mahasiswa dan sudah masuk di kampus tentu peran kampus menjadi sangat kuat bagaimana memberikan perlakuan (treatment) mulai dari perlakuan di mata kuliahnya. Sebab, di mata kuliah itu ada penilaian sikap, selain keterampilan dan pengetahuan.
Sikap ini bisa saja dipakai sebagai salah satu indikator jika kampus bekerja bersama menentukan indikator radikal itu apa, dan itu diwajibkan pada semua mata kuliah. Indikator itu sebagai dasar penilaian dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Mahasiswa akan dinilai dari sisi keterampilan, pengetahuan, dan sikapnya.
Selain di dalam kelas, di luar kelas pun kampus menyiapkan mekanisme yang sangat kuat, mulai dari pencegahan terjadinya radikalisme, penanganan dengan menggunakan sanksi yang paling ringan hingga yang berat diserahkan kepada proses hukum.
Selanjutnya, kendali output juga harus dilakukan. Sebab, ketika mahasiswa sudah lulus dan memiliki pandangan keras, masuk melalui media sosial, melalui teman-teman yang masih kuliah, atau adik tingkatnya. Hal seperti ini juga harus ada pengawasan yang ketat.
Pengendalian kegiatan yang mengarah ke radikalisme di kampus tidak hanya dibebankan kepada semua dosen, tetapi memang ada unit pengendali yang khusus tugasnya untuk mendeteksi, memberikan saran mitigasi, sehingga kegiatan itu tidak mudah terjadi.
Tanggung jawab bersama
Sementara itu, Calon Rektor Untidar, Prof. Sukirno, menyampaikan radikalisme itu memang menjadi pekerjaan rumah di kalangan kampus, dan pencegahannya menjadi tanggung jawab bersama melalui penanaman karakter cinta Tanah Air.
Harus ada setrategi, karena mahasiswa itu kompleks dan berbeda-beda pemahamannya, maka harus dengan prinsip "ing ngarso sung tulodo".
Baca juga: Antisipasi radikalisme, Polres Sukoharjo gelar sarasehan lintas agama
Oleh karena itu, elemen dosennya sendiri harus bersih dulu dari paham tersebut. Dosen yang sudah bersih harus mau turun ke lapangan. Tidak bisa memantau para mahasiswa itu hanya di belakang meja. Dosen harus benar-benar turun ke lapangan ikut bergabung dengan mereka (mahasiswa). Dari ngobrol-ngobrol bisa jadi akan diketahui arah dan gerakannya.
Salah satu yang bisa dimanfaatkan untuk pengawasan melekat, dosen harus terlibat di kegiatan-kegiatan di luar yang seakan-akan tidak terkait dengan masalah radikalisme. Misalnya kegiatan budaya, syukur melalui ormas-ormas yang memang brandingnya antiradikalisme.
Hal itu akan menguatkan dosen bagaimana melakukan pengawasan melekat terhadap mahasiswa dan juga jaringan mana yang ada. Mahasiswa itu cerdas-cerdas. Mahasiswa berafiliasi ke suatu organisasi, dosen harus tahu meskipun itu di luar kampus.
Jadi, perguruan tinggi sebenarnya telah mengambil sikap jelas dan tegas dalam mencegah dan melawan radikalisme. Atas dasar pemikiran tersebut perguruan tinggi se-Indonesia bahkan menyampaikan Deklarasi Kebangsaan Melawan Radikalisme.
“Harus diajarkan toleransi, persaudaraan, jangan sampai menjadi ladang intoleransi. Tanamkan sejak penerimaan mahasiswa baru bahwa keberagaman adalah sumber kekuatan kita,” kata Presiden Joko Widodo ketika menghadiri Deklarasi Kebangsaan Melawan Radikalisme beberapa waktu silam.
Baca juga: Karyawan ditangkap Densus 88, Kimia Farma tegaskan tidak toleransi terorisme
Baca juga: Wagub Jateng: Kemakmuran masjid bisa tangkal radikalisme
Baca juga: Rektor Undip sebut pemimpin PT hanya cari aman picu radikalisme di kampus
Pewarta : Heru Suyitno
Editor:
M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024