Pengusaha pengemplang PPN di Batang divonis 2 tahun penjara
Semarang (ANTARA) - Kantor Wilayah (Kanwil) DJP Jawa Tengah I merilis hasil sidang putusan atas perkara pidana pajak yang dilakukan oleh tersangka JP, pengusaha di Batang, Rabu (21/2 /2024).
Oleh majelis hakim, JP dinyatakan secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana perpajakan sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum.
Terdakwa JP yang merupakan Direktur PT WWWP dijatuhi vonis penjara selama 2 tahun dan denda sebesar Rp883.006.470.
JP melalui PT WWWP dipersangkakan telah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai Pasal 39 ayat (1) huruf i (tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut) jo. Pasal 43 ayat (1) Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan jo. Pasal64 ayat (1) KUHP. JP melakukan tindakan ini dilakukan dalam kurun waktu Januari 2017 sampai dengan Desember 2017.
Perbuatan JP terswbut mengakibatkan negara mengalami kerugian pada pendapatan negara sekurang-kurangnya sebesar Rp959.642.310.
Atas tindakan terdakwa, majelis hakim PN Batang menjatuhkan vonis bersalah dengan hukuman pidana dan denda.
Secara terpisah, Kepala Kanwil DJP Jawa Tengah I Max Darmawan menyampaikan bahwa DJP akan menindak tegas apabila ada yang melanggar aturan perpajakan.
“Kami menyampaikan bahwa DJP akan menindak tegas para pengemplang (pajak) ini sesuai dengan aturan yang ada,” ungkapnya.
“Jika memang harus diambil langkah tegas penegakan hukum, termasuk pidana, maka akan kami lakukan sesuai prosedur,” pungkasnya.
Namun, ia juga menyampaikan bahwa sampai dengan tahap penyidikan, wajib pajak masih diberikan kesempatan untuk mengakui kesalahannya dan dan melunasi kerugian negara.
“Sampai dengan tahap penyidikan masih ada kesempatan untuk tersangka mengajukan permohonan penghentian penyidikan sesuai pasal 44B UU KUP dengan melunasi kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 UU KUP ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara,” ungkapnya.
“Namun, tersangka tidak menggunakan kesempatan tersebut sehingga proses penyidikan hingga peradilan terus bergulir,” lanjut Max.
Penegakan hukum ini juga diharapkan memberikan efek jera kepada wajib pajak lainnya. Pasalnya, DJP sebagai institusi pemungut pajak memiliki fungsi law enforcement sebagai bentuk ketegasan bahwa pajak bersifat memaksa.
Di sisi lain, diharapkan wajib pajak juga menggunakan haknya serta melaksanakan kewajiban perpajakan yang ada. Karena, lebih dari 70 persen penerimaan negara pada APBN berasal dari pajak. ***
Pewarta : Adv/Nur Istibsaroh
Editor:
Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2024