Logo Header Antaranews Jateng

Akar Rumput, dari kelompok kecil berubah jadi pemasok bibit unggul kambing

Senin, 13 Januari 2025 07:56 WIB
Image Print
Ketua Koperasi Peternak "Akar Rumput" Putut Dwi Prasetyo memberi pakan untuk kambing dalam kandang megah yang dijadikan sebagai etalase di kantor Koperasi Peternak Akar Rumput, Desa Tayem Timur, Kecamatan Karangpucung, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Jumat (10/1/2025). ANTARA/Sumarwoto

Cilacap (ANTARA) - Jika berbicara kandang kambing, bayangan yang muncul umumnya adalah suatu tempat yang terkesan kumuh dengan bau tidak sedap yang ditimbulkan dari kotoran, pakan, maupun tubuh ternak tersebut.

Namun bayangan itu tidak akan ditemukan ketika datang ke kandang kambing milik Koperasi Peternak "Akar Rumput" di Desa Tayem Timur, Kecamatan Karangpucung, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

Kandang-kandang kambing di tempat itu tertata rapi, bersih, dan tidak menimbulkan bau yang kurang sedap. Demikian pula dengan kambing-kambing yang berada di dalam kandang terlihat bersih.

Bahkan, di bagian depan kantor koperasi itu terdapat bangunan megah dua lantai yang terbuat dari kayu, lantai 1 dijadikan sebagai kandang kambing, sedangkan lantai 2 untuk ruangan pengurus koperasi.

"Kandang di bangunan depan itu menjadi etalase bibit-bibit unggul kambing perah yang akan kami jual," kata Ketua Koperasi "Akar Rumput" Putut Dwi Prasetyo.

Ya, koperasi peternak tersebut memang fokus pada pembibitan kambing perah guna menghasilkan bibit-bibit unggul untuk dipasarkan ke sejumlah wilayah Indonesia.

Bagi warga luar daerah pasti akan menyangka, Koperasi Peternak "Akar Rumput" yang saat sekarang menjadi peternakan modern itu didirikan oleh sekelompok orang bermodal besar.

Padahal, koperasi yang digerakkan oleh Putut Dwi Prasetyo (42) itu berawal dari sebuah komunitas kecil yang beranggotakan pemuda-pemuda desa setempat.

Bahkan, Putut yang seorang sarjana hukum dan sempat menjadi dosen pada salah satu perguruan tinggi swasta di Cilacap itu pernah menjadi pedagang kambing di pasar dengan mengambil kambing-kambing yang dibudidayakan warga setempat.

Terbentuknya koperasi itu berawal dari obrolan Putut bersama beberapa teman sekampung sekitar tahun 2006 terkait dengan banyaknya pemuda di Desa Tayem yang tidak bekerja dan kalaupun ada yang bekerja, pekerjaan mereka di luar daerah.

Dalam obrolan tersebut, Putut mengajak teman-temannya untuk belajar beternak kambing dengan cara yang lebih baik.  Orang tua mereka selama ini telah beternak kambing lokal Jawa Randu dengan cara yang sangat tradisional tetapi bisa bertahan hidup di kampung dan menjadikan peternakan sebagai sektor unggulan di Desa Tayem Timur.

Berawal dari obrolan itu, Putut dan teman-temannya mengumpulkan warga desa setempat baik pemuda maupun orang tua hingga terkumpul 24 orang. Setiap pemuda membawa satu hingga dua ekor kambing. Dari situlah terbentuk kelompok atau komunitas dengan nama Perkumpulan Peternak Sengkala Hijau.

Memasuki bulan ketiga, ada anggota kelompok yang mempertanyakan kapan mereka akan mendapatkan bantuan setelah sekian lama dikumpulkan. Pertanyaan tersebut muncul karena dinamika di kampung, masyarakat beranggapan jika ada pembentukan kelompok akan ada bantuan dari pemerintah.

Atas pertanyaan tersebut, Putut mengatakan bahwa kelompok itu dibentuk bukan untuk mencari bantuan, melainkan untuk belajar. Hingga akhirnya pada bulan keempat, anggota kelompok yang datang hanya 14 orang karena anggota lainnya tahu bahwa mereka tidak akan menerima bantuan ternak, sehingga tidak lagi ikut pertemuan.

Ke-14 anggota kelompok yang masih tersisa itu berusia muda dan selanjutnya mereka mulai menekuni budi daya kambing lokal sekitar dua-tiga ekor. Setelah mempelajari literasi, mereka mengetahui bahwa ada beberapa ras kambing unggulan, salah satunya mampu menghasilkan susu dalam jumlah yang banyak.

Mereka pun tertarik untuk membudidayakan kambing tersebut dengan harapan bisa mendapatkan hasil tambahan dari susu perah walaupun saat itu masyarakat belum lazim minum susu kambing.

Oleh karena itu, Putut dan teman-temannya berupaya mencari kambing Saanen yang diketahui mampu menghasilkan susu dalam jumlah banyak meskipun populasinya di Indonesia sangat jarang dan berdasarkan literasi, kambing asal Swiss itu tercatat masuk ke Tapos pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Setelah berusaha mencari, akhirnya mendapatkan anakan kambing Saanen dari salah satu peternakan di Sukabumi, Jawa Barat. Kambing Saanen tersebut selanjutnya disilangkan dengan kambing lokal, yakni satu pejantan Saanen dikawinkan dengan banyak betina yang merupakan kambing lokal, dan kambing hasil persilangan itu lebih produktif.

Perkumpulan Peternak Sengkala Hijau selanjutnya berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian untuk meminta akses import kambing dari Australia guna mendapatkan genetik baru dan menghindari kawin sedarah pada kambing-kambing yang dibudidayakan.

Dalam perkembangannya, Perkumpulan Peternak Sengkala Hijau yang semula hanya beranggotakan 14 pemuda Desa Tayem akhirnya berkembang hingga ke beberapa desa. Bahkan di desa-desa itu sekarang telah terbentuk kelompok-kelompok baru dengan tetap menginduk ke Desa Tayem sebagai pusat kegiatan dan hingga saat ini jumlah anggota secara keseluruhan telah mencapai 248 orang dengan populasi kambing yang dibudidayakan sekitar 3.600 ekor.

Selain itu, Perkumpulan Peternak Sengkala Hijau membina dan mendampingi kelompok-kelompok tani di desa dalam budi daya kambing.


Dirikan koperasi

Setelah mengalami perkembangan yang cukup pesat, Putut berkesempatan bertemu dengan Agus Santoso yang merupakan Staf Khusus Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Dalam pertemuan tersebut, Agus Santoso mengatakan bahwa Perkumpulan Peternak Sengkala Hijau sudah selayaknya menjadi sebuah koperasi.

Dari pertemuan tersebut, Putut mulai berpikir untuk mendirikan koperasi meskipun sebenarnya Perkumpulan Peternak Sengkala Hijau selama ini telah berjalan layaknya sebuah koperasi.

Ketua Koperasi Peternak "Akar Rumput" Putut Dwi Prasetyo menunjukkan kambing pejantan di kompleks kandang Koperasi Peternak Akar Rumput, Desa Tayem Timur, Kecamatan Karangpucung, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Jumat (10/1/2025). ANTARA/Sumarwoto

 

Hingga akhirnya pada tahun 2020, Perkumpulan Peternak Sengkala Hijau membentuk koperasi peternak dengan nama Akar Rumput dan saat itu membina 5 kelompok peternak. Nama Akar Rumput digunakan karena anggota koperasi berasal dari kalangan masyarakat desa.

"Nama ini kami gunakan dengan harapan walaupun kami kecil dan rendah sebagai ekosistem bisnis, tetapi punya ketahanan seperti rumput," kata Putut.

Hal itu berkaitan dengan keberadaan rumput yang pertama tumbuh saat musim hujan namun masih tetap bertahan hidup ketika musim kemarau.

Selain itu, Sengkala Hijau yang selama ini menjadi nama perkumpulan dinilai tidak mewakili keberadaan koperasi yang anggotanya tersebar di sejumlah wilayah karena nama tersebut berasal dari nama sebuah gunung kecil di Desa Tayem Timur, yakni Gunung Sengkala.

Kendati demikian, hingga saat ini Perkumpulan Peternak Sengkala Hijau tetap ada dan menjadi salah satu unit bisnis Koperasi Peternak Akar Rumput yang menangani pembuatan pupuk kotoran hewan (kohe). Dalam hal ini, kohe dari ternak kambing milik anggota koperasi diolah menjadi pupuk organik siap pakai.

Pupuk yang dihasilkan tersebut selanjutnya dijual sebanyak 70 persen melalui koperasi dengan harga Rp20.000 per karung, sedangkan 30 persen diberikan kepada peternak untuk memupuk tanaman yang mereka budidayakan di kebun.

Hingga saat ini, Koperasi Peternak Akar Rumput membina 11 kelompok peternak di sejumlah wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Selain itu, Akar Rumput juga menyuplai kebutuhan bibit kambing untuk sejumlah peternakan di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali dengan rata-rata pengiriman sekitar 160 ekor per bulan.

Kambing-kambing tersebut dijual dengan harga berkisar Rp25 juta hingga Rp30 juta per ekor untuk bibit utama, sedangkan harga kambing siap produksi berkisar Rp7 juta hingga Rp8 juta per ekor. "Namun kebanyakan, sekitar 90 persennya, yang siap produksi," kata Putut.


USG Kambing

Seiring dengan berjalannya waktu, berbagai bantuan untuk pengembangan Koperasi Peternak Akar Rumput yang awalnya dikelola secara swadaya pun mengalir. Kendati demikian, Putut mengatakan pihaknya sejak awal pihaknya tidak ingin seperti kelompok lainnya yang berharap adanya bantuan ternak.

Dalam hal ini, ketika ada pihak yang menawarkan untuk memberikan bantuan kepada Akar Rumput, pihaknya mengharapkan bantuan tersebut berupa peningkatan kualitas sumber daya manusia maupun peralatan karena salah satu indikator kesuksesan adalah sarana dan prasarana yang baik.

Beberapa bantuan yang diterima, antara lain kegiatan sekolah lapang yang diselenggarakan oleh dinas terkait untuk mengedukasi dan memberikan pendampingan teknis bagi pengurus maupun anggota koperasi.

Sementara untuk bantuan peralatan di antaranya berupa mesin pasteurisasi susu kambing dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Meskipun produk utama koperasi berupa bibit unggul kambing perah, susu kambing yang diproduksi sekitar 100 liter per hari dan merupakan sisa laktasi dari kambing betina yang anaknya sudah berusia 4 bulan serta akan dikawinkan lagi dengan pejantan.

Oleh karena masih mengeluarkan susu, sisa-sisa laktasi tersebut diperah dan selanjutnya dipasteurisasi serta dibekukan untuk dijual di wilayah Cilacap dan Banyumas. Bahkan dalam 8 tahun terakhir, Koperasi Peternak Akar Rumput membagikan susu kambing sebanyak 200 botol secara gratis kepada anak-anak setiap hari Jumat.

"Kami juga baru mendapatkan bantuan PSBI (Program Sosial Bank Indonesia) berupa alat USG (Ultrasonografi) untuk kambing," kata Putut.

Menurut dia, alat USG tersebut sangat dibutuhkan untuk mengetahui apakah ternak kambing itu bunting atau tidak. Sebelum adanya alat USG, peternak sering kali terlambat mengetahui jika kambing betina itu tidak jadi bunting meskipun telah dikawinkan dengan pejantan.

Bagi peternak yang sudah berpengalaman, mungkin bisa mengetahui apakah kambing tersebut bunting atau tidak bunting tanpa menggunakan alat USG. Akan tetapi bagi peternak yang belum berpengalaman, membutuhkan alat tersebut karena jika kambing betina tersebut tidak bunting, akan segera dikawinkan lagi dengan pejantan hingga bunting.

Dengan adanya bantuan alat dari Bank Indonesia tersebut, peternak tidak lagi mengeluarkan biaya sewa USG kambing sebesar Rp20.000 untuk satu kali pemakaian pada 1 kambing yang diperiksa. Juga dapat meminimalkan kerugian petani, khususnya komponen biaya pakan untuk kambing yang diduga bunting namun ternyata tidak bunting.

Bahkan melalui dukungan dari Program Sosial Bank Indonesia, Koperasi Peternak Akar Rumput terus berkembang menjadi pemasok utama bibit unggul kambing untuk wilayah Jawa dan sekitarnya.




Editor: Teguh Imam Wibowo
COPYRIGHT © ANTARA 2025