Candi Borobudur Pendarkan Kata-Kata Penyair
Senin, 2 April 2012 17:46 WIB
Ia membuka Forum Penyair Internasional-Indonesia (FPII) di Taman Lumbini, timur kaki Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah di bawah gerimis malam, hari pertama April 2012 dengan memberikan sekuntum bunga kepada setiap dari 27 penyair dunia.
Tak ada pejabat yang hadir sehingga kursi khusus berbalut kain putih di deretan paling depan yang biasanya untuk tamu kehormatan terlihat tanpa penghuni.
Sehari sebelumnya, pihak panitia sudah menyiapkan ratusan payung untuk berjaga jika turun hujan di Borobudur, saat hari pembacaan puisi oleh penyair dunia itu.
Puluhan mereka yang hadir malam itu malah seakan menjadikan payung-payung yang mereka buka sebagai bagian instalasi atas arena pembacaan puisi karena memang malam itu turun hujan di Borobudur.
Candi Borobudur bersaput kabut yang tersorot lampu mengarah stupa puncaknya sepanjang pembacaan puisi malam pertama itu.
Panggung berukuran sekitar 20X8 meter dengan beragam instalasi jerami dan bambu, garapan seniman petani Komunitas Lima Gunung Magelang (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Sujono terlihat mewarnai kekhasan tempat itu, sedangkan performa tarian "Isana Weda Buana" karya Supadi yang disuguhkan puluhan seniman petani Gunung Andong, Magelang, turut menanda kekhasan pembukaan acara tersebut.
Puisi penting untuk Indonesia, dan Candi Borobudur punya pustaka untuk itu. Karya sastra para pujangga Jawa yang lokal dan di gunung sampai sekarang masih tersimpan di masyarakat, ungkapnya.
"Ia menjadi harta tersembunyi. Dan malam ini di Candi Borobudur, saya bersaksi lima sampai 10 tahun yang akan datang, Candi Borobudur akan bersinar. Puisi ini hati," kata Sutanto yang juga pengukuh kelompok seniman petani Magelang yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung itu.
Forum penyair itu berlangsung di empat kota di Indonesia yakni Candi Borobudur, Kabupaten Magelang (1-3 April 2012), Pekalongan (4-6 April), Malang (7-9 April), dan Surabaya (10-12 April) dengan seluruhnya berjumlah 42 orang.
Mereka terdiri atas 17 penyair mancanegara antara lain berasal dari Jerman, India, Amerika Serikat, Afrika Selatan, Zimbabwe, Belanda, Denmark, Islandia, Australia, Selandia Baru, dan Makedonia, sedangkan 25 lainnya sejumlah kota di Indonesia seperti Bali, Madura, Bekasi,Yogyakarta, Surabaya, Ngawi, Jakarta, Rembang, Malang, Tangerang, Depok, Makassar, Bandung, dan Papua.
Berbagai karya puisi beragam makna dan tidak mewajibkan terkait dengan Candi Borobudur yang ditampilkan dalam pembacaan itu telah dikurasi oleh Afrizal Malna dan Saut Situmorang (Indonesia), Michael Augustin dan Silke Behl (Jerman), serta Indra Wussow (Afrika Selatan).
Karya mereka juga diterbitkan menjadi buku antologi puisi setebal 500 halaman dalam beberapa bahasa seperti Indonesia dan Inggris, dengan tajuk "What's Poetry?" "What's Poetry" adalah tema besar FPII 2012.
Penyair kelahiran Aceh yang kini tinggal di Bekasi, Fikar W. Eda, menerima daulat perdana dengan membaca karyanya pada 1999 berjudul "Seperti Belanda". Karya itu bertutur tentang Jakarta.
"Seperti Belanda, mereka atur siasat, membuat kami takluk, bertekuk lutut. Seperti Belanda, mereka rebut hati kami, dengan cahaya janji, sambil mengutip kitab suci"
"Seperti Belanda, mereka suguhi kami anggur, hingga kami mendengkur, lalu dengan leluasa, mengeruk perut kami, gas alam, minyak, emas, hutan, sampai akar rumput bumi. Seperti Belanda, mereka pun menghunus sangkur, dengan senapan siap tempur, rumah-rumah digempur, masjid, meunasah, dibuat hancur".
"Melebihi Belanda, mereka perkosa istri-istri kami, mereka tebas leher putra putri kami, mereka bunuh harapan dan cita-cita kami. Melebihi Belanda, itulah Jakarta!," demikian puisinya yang terdiri atas lima bait itu.
Penyair yang juga anggota Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar Surabaya, Ribut Wijoto, setelah membacakan puisi berbahasa Jawa berjudul "Bandosa" sambil duduk di satu anak tangga panggung artistik itu melanjutkannya dengan puisi kedua berbahasa Indonesia berjudul "Akuarium Kenangan".
"Di akuarium kenangan, ikan-ikan pada mati. Tubuhmu menjelma ikan. Air keruh menyumbat dadaku, kau pun merenanginya. Berenang tak bergerak. Kenangan yang berenang, kenangan dari bayanganmu. Ia menyibak-nyibak air, yang pedih, perih, bernanah meletup-letup, mengalir deras".
"Di akuarium diriku, ikan-ikan hanya kenangan. Sisik-sisiknya adalah wajahmu gelibat ekornya adalah ketawamu. Ketawa yang berkecipak, melingkar-lingkar. Menggelepar. Akuarium pun pecah. Ikan-ikan pada mati, membusuk dalam pikiranku. Pikiran tentang tubuh yang membusuk, mengapung dalam kenangan," demikian puisinya itu.
Pada termin pembacaan kedua, penyair Afrika Selatan Vonani Bila menyuguhkan tiga karyanya masing-masing berjudul "Inilah Laut", "Babi", dan "Mandela Pernahkan Kau Bertanya?"
"Aku periksa sepatunya. Kasar dan liar. Kuku-kukunya. Panjang dan dekil. Moncongnya. Besar dan kotor. Aku periksa matanya. Membelalak padahal tidur. Begitulah celeng. Bahkan di parlemen. Rakus sekali. Bahkan ia mangsa anak-anaknya," itulah puisi pendek enam bait berjudul "Babi" karya Bila yang juga pemimpin Timbila Poetry Project di Provinsi Limpopo, Afrika Selatan itu.
Penyair Belanda Hagar Peeters membacakan beberapa karyanya yang salah satunya berjudul "Orang Usiran". Puisi itu disuguhkannya di atas panggung dalam bahasa Indonesia dengan improvisasi tabuhan gamelan para seniman petani Gunung Andong, di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang pimpinan Supadi.
"Mereka usir aku dengan maksud-maksud terbaik, dikuatkan dengan persetujuan illahi, kami tanam kau di rumah kami di sini".
"Penahananmu memungkinkan, sedemikian banyak khaul sejak kejadian itu, namun tetap tak ada alasan mengizinkan kau masuki kehidupan kami yang terdalam. Kita sendirian, sepuas sebelah. Yang tak pernah mengenal belahan satunya. Seketika setelah membelah diri kulitnya tumbuh kembali, membungkus daging kita. Kami utuh, jadi dalam apa kau menemani kami? Kau buat kami terlibat, maksud baik, keadaan berlebih yang tak terumuskan, keturunan." demikian sebagian bait puisi itu.
Sebagian bait lainnya dari puisi itu, "Namun fakta nyata bahwa kau sedemikian lama. Setelah kejadian yang hanya sekali itu, yang padanya semua ini bergantung terus ada, tidaklah cukup. Apa disebabkan sekali pandang? Sebuah kata asal? Bagaimana kau meyakinkan diri, bahwa dirimu hendaknya diterima, sampai hari-hari kematian kita, tanpa lanjutan upacara, dengan sebuah gerak yang memantik diri? Enyah".
Sejumlah penyair lain yang membacakan karyanya pada malam pertama itu adalah Rustum Kozain dan Carl-Pierre Naude (Afrika Selatan), Ari M.P. Tamba (Jakarta), Nikola Madzirov (Makedonia), Gerdur Kristny (Islandia), Courtney Sina Meredith (Selandia Baru).
Penyair senior yang juga ahli filsafat Universitas Indonesia, Toeti Heraty, mengemukakan ketidakpercayaannya bahwa pertemuan penyair dunia di Candi Borobudur bisa terselenggara.
"Saya tadinya tidak percaya, tetapi akhirnya saya kagum dan gembira dan sangat mendukung. Apalagi karena saya dikasih tahu oleh Rosa (Dorothea Rosa Herliany, Ketua Penyelenggara FPII 2012 Magelang, red.) bahwa ada dua peserta yang saya sudah kenal dari tahun 1984 yaitu dari pertemuan penulis internasional di Iowa (Amerika Serikat, red.)," katanya.
Ia menyebut FPII 2012 sebagai unik karena terkesan kuas terbebas dari kepentingan komersial.
Mereka yang terlibat pembacaan puisi di Candi Borobudur itu, katanya, berdialog sehingga menjadi inspirasi bersama terutama untuk perkembangan dunia kepenyairan internasional pada masa mendatang.
"Ini unik karena banyak terkait dengan inisiatif pribadi. Ini mengundang dari luar untuk dialog dengan yang di sini sehingga menjadi inspirasi bersama. Mereka menikmati kebersamaan di sini," katanya.
Pada kesempatan itu ia mengaku terkesima karena para penyair dunia yang bertemu di Borobudur itu justru banyak yang tidak diketahuinya, namun mereka dibawa ke pentas FPII 2012 sehingga menjadi dikenal.
Mereka yang baru, kata Heraty yang kelahiran Bandung 27 November 1933 itu, juga harus mendapat kesempatan menggelar puisinya dan jangan sampai membentuk kelompok-kelompok untuk kemudian merasa puas dengan kelompoknya.
Ia mengemukakan, setiap penyair sebetulnya unik dan mereka tidak perlu berkompetisi.
"Karena setiap suara unik dan hanya harus ada penunjang misalnya tempat menulis, pembacaan puisi, dan upaya menerbitkan buku puisi mereka," katanya.
Ia mengemukakan, waktu akan berbicara kepada para penyair itu bahwa karyanya dapat menyentuh anak-anak muda kelak, karena puisi mereka terpatri.
Dan, melalui keagungan Candi Borobudur, kata-kata para penyair dunia itupun berpendar.
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor:
Mahmudah
COPYRIGHT © ANTARA 2024