Logo Header Antaranews Jateng

Wafatnya Yesus Bibit Kehidupan Umat Merapi

Jumat, 6 April 2012 23:26 WIB
Image Print
Sejumlah remaja mengikuti prosesi jalan salib pada Jumat Agung melintasi perladangan di kawasan lereng Gunung Merapi Dusun Grogol, Mangunsoko, Dukun, Magelang, Jawa Tengah, Jumat (6/4). Drama jalan salib yang dilakukan oleh kaum Muda Katholik eGSPI (

Prosesi jalan salib itu mereka selenggarakan secara takzim, untuk merefleksikan peristiwa wafat Yesus di kayu salib, yang diimani umat kristiani sebagai momentum pembebasan manusia dari dosa.

Ratusan umat memulai prosesi jalan kaki sepanjang sekitar satu kilometer dari Gereja Gubug Selo Merapi (GSPi) di Dusun Grogol, Desa Mangunsoka, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang menuju tanah lapang di tepi desa itu, untuk selanjutnya menyusuri alur Sungai Senowo, dan kembali ke gereja setempat.

Aliran air sungai itu berhulu di Gunung Merapi. Pascaerupsi Merapi 2010, sungai itu sebagai salah satu jalur banjir lahar saat turun hujan cukup deras. Namun, sejak beberapa waktu terakhir, tidak ada lagi banjir lahar meskipun bencana itu masih mengancam pada masa mendatang. Batu Merapi berbagai ukuran dan tumpukan material pasir memenuhi alur sungai tersebut.

Langit kawasan barat puncak Merapi di desa itu terlihat mendung putih. Seakan umat tak mengkhawatirkan turunnya hujan, mereka mengemas prosesi jalan salib Jumat Agung itu di tepi Sungai Senowo.

Susanto, seorang pemuda setempat mengenakan pakaian ala petani dengan baju motif lurik dan bertutup kepala, caping, keluar dari gereja itu bersama puluhan pemuda dan pemudi lainnya yang umumnya berkaos warna hitam dan membalut tubuhnya dengan kain warna putih.

Lelaki yang juga koreografer prosesi itu berjalan paling depan membawa wadah berisi bunga mawar dengan hiasan beberapa batang hio menyala dan mengeluarkan asap.

Ia menaburkan bunga mawar itu di sepanjang jalan prosesi, sedangkan seorang lainnya membawa salib terbuat dari gedebok setinggi sekitar satu meter dengan hiasan bunga berwarna ungu.

Empat pemuda lainnya masing-masing Yunianto, Meri Wijayanto, Deni Novianputra Andiyanto, dan Budi Wiyono mengusung peti terbuka yang berbalut kain putih dan hiasan bunga-bunga. Di dalam peti itu diletakkan belasan batang bibit pohon gaharu.

Seluruh umat baik laki-laki, perempuan, anak-anak, maupun orang dewasa yang masing-masing mengenakan pakaian tampak bersih dan rapi, mendaraskan doa paten "Bapa Kami" dan "Salam Maria" secara terus menerus sepanjang prosesi.

Di lapangan tepi dusun setempat, seluruh umat berjongkok. Empat belas pemuda dan pemudi memegang salib dari bambu setinggi sekitar tiga meter.

Seorang pemudi membacakan doa di perhentian pertama dari 14 perhentian dalam prosesi jalan salib itu dan membacakan kisah singkat tentang Yesus yang dihukum mati melalui penyaliban.

"Kami menyembah Dikau ya Tuhan dan bersyukur kepada-Mu," demikian kata-kata doa itu yang kemudian dijawab secara bersama-sama oleh umat, "Sebab dengan salib suci-Mu, Engkau telah menebus dunia".

Salib bambu ditancapkan dan kemudian mereka menanam bibit pohon gaharu di tempat itu.

Mereka melanjutkan prosesi jalan salib itu melewati pematang areal pertanian hortikultura menuju alur Kali Senowo, di bawah cekdam Grogol hingga sekitar 200 meter di belakang GSPi.

Umat berjalan di atas material banjir lahar di sungai tersebut saat menjalani prosesi jalan salib tersebut dengan mengusung peti berisi bibit gaharu dan sejumlah salib bambu.

Di setiap perhentian, mereka menancapkan satu salib bambu dan menanam sebatang bibit gaharu di bantaran Sungai Senowo, lalu mendaraskan doa jalan salib yang isinya kisah tentang Yesus memanggul salib dan merenungkan maknanya.

"Beban Yesus semakin berat kalau kita sering jatuh dalam dosa, atau kalau kita menjatuhkan orang lain. Dengan jatuh dan bangun lagi, Yesus mengajar kita untuk tidak putus asa. Kalau kita jatuh dalam dosa, kita bangun lagi," demikian satu renungan di perhentian kesembilan jalan salib yang dibacakan seorang umat, Elfridha Joice Wahyuningtyas. Perhentian kesembilan mengisahkan Yesus jatuh ketiga kalinya saat memanggul salib dari Kota Yerusalem ke Bukit Golgota.

Doa paten "Bapa Kami" dan "Salam Maria" secara berulang-ulang mereka daraskan diselingi syair-syair lagu jalan salib yang terus mereka lantunkan sepanjang prosesi di tengah iringan gemericik suara air yang mengalir di sungai tersebut.

Mereka mengusung peti itu hingga masuk Gereja GSPi lagi dan meletakkannya di depan altar, tempat ibadat Jumat Agung. Pemimpin umat Katolik setempat, Romo Yohanes Maryono, dengan didampingi tiga prodiakon, masing-masing Sabar, Suharto, dan Sholeh, serta sejumlah misdinar melanjutkan prosesi itu dengan ibadat penghormatan salib dan penerimaan komuni.

"Sore ini kita merayakan Jumat Agung, merenungkan Yesus yang wafat melalui jalan penyaliban untuk menebus dosa-dosa manusia. Yesus berani mengambil risiko hingga disalib. Ia mengorbankan diri agar umat Allah terbebas dari dosa, karena salib Yesus itu maka kita hidup dan merasakan cinta Allah dengan penuh tanggung jawab," kata Romo Maryono.

Perayaan Jumat Agung sebagai rangkaian Tri Hari Suci Paskah, katanya, memberikan makna keteladanan Yesus kepada murid-murid-Nya.

Setiap umat Allah, katanya, dipanggil untuk memanggul salib masing-masing dalam kehidupan sehari-hari. Setiap umat dipanggil menjadi pengikut setia Yesus.

"Sebagaimana Yesus berani memanggul salib, kita juga tidak takut menghadapi kehidupan ini. Kita juga berani menghadapi risiko dan tulus berkorban untuk sesama," katanya saat berkhutbah.

Selain untuk simbol pentingnya penghijauan bantaran Sungai Senowo yang selama ini gersang akibat banjir lahar Merapi beberapa waktu lalu, kata koreografer prosesi itu, Susanto, doa jalan salib tersebut menjadi suatu capaian atas perenungan umat kawasan Gunung Merapi menyangkut Jumat Agung 2012.

Pada kesempatan itu, Susanto yang juga petani setempat tersebut mengutip Mazmur 1:3 yang berbunyi "Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya. Apa saja yang diperbuat-Nya berhasil".

Ia mengatakan, kematian terkadang menjadi suatu peristiwa yang menakutkan.

Namun, katanya, kematian Yesus melalui jalan salib sebagai peristiwa pengorbanan yang menakjubkan dan menjadi teladan pengabdian secara total umat manusia kepada sesama, alam, serta Allah.

"Pengorbanan Yesus sampai mati begitu istimewa. Ia merelakan nyawa-Nya untuk banyak orang dan karena itulah yang membuat manusia menjadi hidup, terbebas dari dosa, dan dekat kembali dengan Allah. Sebagaimana benih meninggalkan benihnya atau 'mati', untuk hidupnya tumbuhan," katanya.

Peristiwa wafatnya Yesus melalui jalan salib itu, dimaknai umat kristiani Gunung Merapi kali ini sebagai bibit yang menghidupkan spiritualitas mereka.

Pewarta :
Editor: Kliwon
COPYRIGHT © ANTARA 2025