Wirabeasiswa Kambing Memperkaya Pembelajaran Anak Merapi
Senin, 1 Oktober 2012 12:44 WIB
Anak bernama Imanuel Puput Haryanto itupun seorang diri secara spontan menguber-uber untuk menangkap anak kambing milik seorang kawannya yang satu kelompok sebagai peserta program Wirabeasiswa Kambing.
Program Wirabeasiswa Kambing untuk anak-anak lereng Gunung Merapi pascaletusan 2010 itu bagian dari kerja sama Lembaga Pendamping Usaha Buruh Tani Nelayan (LPUBTN) Keuskupan Agung Semarang, Kongregasi Abdi Kristus, dan Paroki Santa Maria Lourdes Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Upaya Puput menangkap anak kambing milik kawannya bernama Agustinus Istiarto (15) itu baru berhasil ketika beberapa orang dewasa yang warga setempat di Dusun Tangkil, Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, datang dan turut membantu.
Agus tidak berada di tempat karena siang itu masih perjalanan pulang dari sekolah.
Puput kemudian memasukkan anak kambing itu ke bilik kandang milik kelompok peserta program wirabeasiswa tersebut. Kandang kambing bersama itu terbuat dari bambu dengan atap genting dan berbentuk kandang panggung setinggi sekitar satu meter, panjang 10 meter dan lebar 2,5 meter, terdiri atas beberapa bilik.
Anggota kelompok peserta Wirabeasiswa Kambing di dusun yang juga satu pemukiman terakhir, berjarak sekitar enam kilometer barat daya puncak Gunung Merapi tersebut, adalah Fian Prasetyo (15), Imanuel Puput Haryanto (10), Dion Pratama (17), Agustinus Istiarto (15), dan Revo Singgih Sanyoto (13).
Sejak pertengahan 2011, melalui program itu, mereka masing-masing menerima seekor kambing betina jenis "kacang" dalam kondisi bunting. Namun, di kelompok itu juga terdapat satu kambing pejantan jenis peranakan etawa yang ditempatkan di bilik paling ujung kandang bersama tersebut.
"Kambing saya, saya beri nama 'Sepon', sudah sekali beranak, yang punya Revo diberi nama 'Matronas', anaknya sudah dua," kata Puput sambil membersihkan tempat makan kambingnya dari rumput yang telah kering.
Sesekali tangan kanan anak pasangan Prihatin (34) dengan Sumiyati (31) yang sehari-hari hidup bertani itu mengelus-elus kepala satu anak kambing yang mendekatinya dari bilik kandang.
Di sela kedua orang tuanya bersama ayah Dion, Sismadi (48), di dekat kandang kambing setempat bercerita tentang keikutsertaan sejumlah anak setempat bersama keluarganya masing-masing dalam program Wirabeasiswa Kambing itu, Puput telah muncul lagi dengan buku catatan berbagai ikhwal pengalaman dan pembelajaran memelihara kambing dalam program itu.
Beberapa catatan yang terlihat tak teratur dalam bukunya itu antara lain menyangkut penerimaan kambing betina, penyakit yang dialami kambing dan penanganannya, hasil penjualan kotoran kambing atau biasa disebut "inthil", dan pertemuan pendampingan program tersebut.
Adonan Sarapan Kambing
Setiap pagi, sekitar pukul 05.30 WIB, Puput membuat "komboran" berupa adonan parutan ketela dengan bekatul untuk sarapan kambingnya, siangnya atau sepulang sekolah ia merumput di areal pertanian hortikultura di dusunnya, dan sore sekitar pukul 17.00 WIB, ia berikan rumput itu sebagai makanan ternaknya.
Dua hingga tiga minggu sekali, dia mengumpulkan "inthil" dari bilik kandang kambingnya. Rata-rata dia memperoleh dua karung "inthil" yang kemudian dijual kepada para tetangga untuk pupuk tanaman sayuran. Satu karung berisi 50 kilogram "inthil" dengan harga Rp20.000.
"Uangnya ditabung, untuk uang saku, untuk membantu keperluan dapur, dan rumah," kata Puput yang juga siswa SD Kanisius Prontakan, Desa Ngargomulyo itu.
Lain lagi dengan Dion. Ia hanya merumput dan mengurus ternaknya itu saat libur sekolah karena setiap hari, waktunya telah habis untuk sekolah. Perawatan ternaknya setiap hari, sebagian besar dikerjakan oleh ayahnya yang juga petani sayuran di lereng Gunung Merapi itu.
"Kalau anak saya kalau libur saja bisanya mencari rumput dan mengurus kambingnya, karena pagi-pagi harus ke sekolah di Muntilan dan pulangnya sudah sore," kata Sismadi, ayah Dion. Dion kelas II di SMK Pangudi Luhur Muntilan, cukup jauh dari dusun setempat.
Beberapa penyakit yang sering dialami ternak itu seperti koreng dan masuk angin, bisa diatasi oleh mereka sesuai dengan pelatihan yang telah diikuti sebelum program tersebut dimulai.
Prihatin menyebut program tersebut membuat anaknya belajar mengatur waktu setiap hari antara bermain, belajar, dan merawat ternaknya.
Dirinya sebagai orang tua, katanya, memang tidak lepas dari keikutsertaan merawat ternak itu, sedangkan hasil beternak bisa membantu meringankan biaya kebutuhan untuk mendukung sekolah anaknya itu.
"'Kangge sinau tanggel jawab, mboten namung dolan mawon' (Untuk belajar tanggung jawab, tidak hanya bermain saja, red.)," katanya.
Hidup Baru
Seorang Pendamping Program Wirabeasiswa Paroki Sumber, Suster Dionisia Sri Suisti, mengatakan, program itu tak hanya membutuhkan keterlibatan anak, tetapi juga kerja sama orang tua mereka dan proses pendampingan secara berkelanjutan.
Program yang dikerjakan di kawasan setempat pascaletusan Merapi 2010 dengan semangat dasar "Urip Anyar Nganggo Nalar" (Hidup baru secara rasional, red.) itu menjangkau lima kelompok anak yakni di Dusun Dadapan, Selosari, Tangkil, Berut, dan Grogolan Dhuwur. Setiap kelompok membuat kandang bersama, maksimal untuk lima ekor kambing.
Pihaknya memberikan bantuan kambing betina kepada setiap anak dan menyiapkan beberapa ekor pejantan, untuk selanjutnya akan digulirkan kepada peserta baru di kawasan itu, setelah kambing dua kali beranak. Ketika itu, pengelola program membeli kambing betina yang sudah bunting di Pasar Hewan Muntilan dan Borobudur dengan harga bervariasi antara Rp850.000 hingga Rp1.250.000 per ekor.
"Dengan pemberian kambing yang sudah bunting, untuk memotivasi anak-anak merawat secara lebih baik ternaknya. Kalau kambingnya segera beranak, anak-anak itu tentu senang dan ingin terus melanjutkan merawatnya," katanya.
Akan tetapi, katanya, sasaran utama program tersebut bukan sekadar membantu biaya pendukung sekolah anak-anak Merapi melalui beternak kambing, melainkan menanamkan secara nyata melalui praktik keseharian tentang berbagai nilai pendidikan budi pekerti kepada mereka.
"Maka pendampingan menjadi penting supaya anak-anak dan orang tuanya menyadari tentang pendidikan yang sedang dijalani melalui beternak kambing itu," kata Suster Dion yang juga Kepala Rumah Biara Kongregasi Abdi Kristus Desa Sumber, Kecamatan Dukun itu.
Merawat kambing sendiri, katanya, sudah satu materi pembelajaran untuk anak desa. Belum lagi pembelajaran yang lain seperti semangat bekerja bersama dalam kejujuran karena ternaknya dalam bentuk kandang bersama, menyayangi binatang, mengatur waktu antara bermain, mencari rumput, dan belajar.
Selain itu, menabung dengan tekun dan rajin serta memanfaatkan uang tabungan secara tepat sebagai bagian tersendiri dari pembelajaran yang mereka jalani.
"Itu menjadi materi yang dibicarakan. Mereka diajak saling berbagi dalam pertemuan pendampingan untuk pembelajaran kepada anak-anak. Namanya memang bukan sekadar beasiswa, tetapi wirabeasiswa karena ada usaha-usaha kebaikan yang harus dijalani anak-anak melalui ternak kambingnya," katanya.
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor:
M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024